Mohon tunggu...
ASEP TOHA
ASEP TOHA Mohon Tunggu... Relawan - Orang biasa

Orang biasa yang berupaya menjadi luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kepala Daerah Dipilih Lagi DPRD Analgesik Kerusakan Demokrasi Daerah

17 Desember 2024   01:50 Diperbarui: 17 Desember 2024   01:50 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sayangnya, rekomendasi dukungan dari partai politik tidaklah gratis. Sebelum adanya putusan MK tersebut, harga rekomendasi biasanya dihitung berdasarkan jumlah kursi di DPRD, dengan kisaran Rp 100 juta hingga Rp 500 juta per kursi. Maka, untuk mendapatkan rekomendasi partai saja, calon kepala daerah harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Dana tersebut umumnya disetorkan ke DPP partai, meskipun sebagian kecil mungkin digunakan untuk mendukung biaya kampanye. Sayangnya, sebagian besar dana justru berhenti di tingkat DPP.

Sebagai contoh, pada Pilkada serentak 2024 yang melibatkan 514 kabupaten/kota, terdapat 17.340 kursi DPRD. Jika setiap kursi dihargai Rp 200 juta saja, total dana yang mengalir ke elit parpol melalui rekomendasi mencapai Rp 3,468 triliun. Angka ini mencerminkan bagaimana Pilkada telah menjadi ajang pesta pora para elit partai politik, jauh dari semangat demokrasi yang ideal.

Triliunan Uang Paslon dan Uang Negara Mubazir

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengumumkan bahwa Pilkada Serentak 2024 akan digelar di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota, dengan total 1.553 pasangan calon (Paslon) kepala daerah. Berdasarkan rata-rata pengeluaran anggaran pemenangan sebesar Rp 20 miliar per Paslon, terdapat total pengeluaran sekitar Rp 31,060 triliun yang habis dalam waktu maksimal lima bulan.

Jika saja proses demokrasi di Indonesia bersih, jujur, dan adil, maka anggaran maksimal sebesar Rp 5 miliar per Paslon sebenarnya sudah mencukupi untuk membiayai kampanye secara efektif. Namun, kenyataannya, biaya yang tidak wajar ini membengkak akibat adanya pengeluaran untuk kebutuhan tambahan seperti "belanja suara" dan biaya operasional lainnya.

Sementara itu, dari sisi anggaran negara, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebutkan bahwa Anggaran Pilkada Serentak 2024 diperkirakan lebih dari Rp 41 triliun. Angka ini diambil berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri hingga 8 Juli 2024 dan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masing-masing daerah.

Jika kedua pengeluaran ini digabungkan, yaitu anggaran pemenangan Paslon dan anggaran Pilkada yang dikeluarkan negara, maka lebih dari Rp 72 triliun hilang dalam waktu singkat, hanya untuk menggelar pesta demokrasi yang seharusnya lebih efisien dan bermakna.

Pemborosan ini menjadi cerminan dari masalah mendasar dalam sistem politik dan demokrasi di Indonesia, yang masih perlu perbaikan untuk mengurangi praktik yang tidak sehat dan mengoptimalkan penggunaan anggaran demi kepentingan masyarakat luas.

Menghasilkan Pemimpin Tidak Berkualitas

Pilkada langsung sejatinya merupakan instrumen untuk meningkatkan demokrasi partisipatif dan memenuhi semua unsur yang diharapkan. Pilkada dirancang sebagai wahana demokrasi yang ideal bagi kehidupan politik suatu daerah, dengan tujuan menciptakan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur. Prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, dan keterbukaan menjadi landasan utama dalam praktik demokrasi tersebut.

Namun, kalimat-kalimat indah ini sering kali hanya menjadi pemanis belaka. Realitasnya, Pilkada kerap kali ibarat buah kelayar atau makal—terlihat manis dan menggiurkan dari luar, tetapi menyimpan racun di dalamnya. Dalam praktiknya, kini muncul adagium yang meresahkan: "Biar curang asal menang." Adagium ini bahkan didukung oleh celah aturan, seperti Pasal 158 UU Pilkada, yang memberikan toleransi terhadap selisih suara selama memenuhi batas minimal yang disyaratkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun