Mohon tunggu...
ASEP TOHA
ASEP TOHA Mohon Tunggu... Relawan - Orang biasa

Orang biasa yang berupaya menjadi luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kepala Daerah Dipilih Lagi DPRD Analgesik Kerusakan Demokrasi Daerah

17 Desember 2024   01:50 Diperbarui: 17 Desember 2024   01:50 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kerusakan Demokrasi Foto : Edit Asto

Orang Gila Menang Dalam Pilkada

Presiden Prabowo Subianto kembali menggulirkan wacana agar pemilihan kepala daerah kembali dilakukan melalui DPRD. Saya sebagai bagian dari masyarakat sangat mendukung gagasan ini, setidaknya sebagai langkah sementara sambil memperbaiki berbagai instrumen untuk memastikan pelaksanaan Pilkada yang benar-benar jujur, adil, dan bebas dari kecurangan.

Dalam pidatonya pada peringatan HUT ke-60 Partai Golkar (12 Desember 2024) di Sentul International Convention Center (SICC), Jawa Barat, Presiden Prabowo berargumen bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD dapat menghemat uang negara.

Namun, menurut pandangan saya, persoalannya tidak hanya sebatas penghematan anggaran. Ada hal yang jauh lebih penting dan mendesak, yakni moralitas demokrasi yang semakin terdegradasi. Politik uang yang semakin masif dan brutal telah menjadi momok sejak Pilkada langsung diterapkan. Fenomena ini tidak hanya merusak proses demokrasi, tetapi juga mengancam integritas moral para pelaku politik serta masyarakat.

Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, karena dalam praktik Pilkada langsung, tidak jarang kita mendengar kabar bahwa kandidat dengan "uang lebih" justru lebih berpeluang memenangkan Pilkada, tanpa mempertimbangkan kompetensi atau integritasnya. Bahkan, dalam beberapa kasus, mereka yang dianggap "tidak layak" justru memenangkan kontestasi.

Sistem yang rusak ini harus segera diperbaiki. Pemilihan melalui DPRD, meskipun memiliki kelemahan, setidaknya dapat menjadi solusi sementara untuk menekan pengaruh buruk dari politik uang. Dengan catatan, sistem pengawasan dan akuntabilitas DPRD harus diperkuat agar mereka dapat menjalankan tugas dengan baik dan tidak menyalahgunakan wewenang.

Keputusan untuk kembali ke mekanisme lama ini bukanlah langkah mundur, melainkan sebuah upaya untuk menyelamatkan demokrasi dari kehancuran moral yang semakin nyata. Jika dibiarkan, kita hanya akan melahirkan pemimpin yang tidak berkompeten dan mengorbankan masa depan bangsa. Semoga gagasan ini menjadi langkah awal menuju demokrasi yang lebih bermartabat.

Ajang Pesta Pora Para Elit Parpol

Meski Pilkada memungkinkan calon maju melalui jalur independen, tingginya biaya tetap menjadi kendala utama. Untuk menggalang dukungan masyarakat saja, pengeluaran besar sulit dihindari. Mayoritas masyarakat enggan memberikan tanda tangan dan KTP secara cuma-cuma sebagai bentuk dukungan. Sebagai gambaran, untuk mengumpulkan dukungan minimal, biaya administrasi bisa mencapai Rp 2 miliar.

Saat ini, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No. 60/PUU-XXII/2024 telah mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah. Partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD Provinsi kini dapat mencalonkan kepala daerah, asalkan memenuhi persyaratan perolehan minimal 20 persen dari total suara sah dalam pemilu DPRD di daerah tersebut. Namun, tetap saja ada mekanisme administratif berupa rekomendasi dukungan dari partai politik yang harus dipenuhi.

Sayangnya, rekomendasi dukungan dari partai politik tidaklah gratis. Sebelum adanya putusan MK tersebut, harga rekomendasi biasanya dihitung berdasarkan jumlah kursi di DPRD, dengan kisaran Rp 100 juta hingga Rp 500 juta per kursi. Maka, untuk mendapatkan rekomendasi partai saja, calon kepala daerah harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Dana tersebut umumnya disetorkan ke DPP partai, meskipun sebagian kecil mungkin digunakan untuk mendukung biaya kampanye. Sayangnya, sebagian besar dana justru berhenti di tingkat DPP.

Sebagai contoh, pada Pilkada serentak 2024 yang melibatkan 514 kabupaten/kota, terdapat 17.340 kursi DPRD. Jika setiap kursi dihargai Rp 200 juta saja, total dana yang mengalir ke elit parpol melalui rekomendasi mencapai Rp 3,468 triliun. Angka ini mencerminkan bagaimana Pilkada telah menjadi ajang pesta pora para elit partai politik, jauh dari semangat demokrasi yang ideal.

Triliunan Uang Paslon dan Uang Negara Mubazir

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengumumkan bahwa Pilkada Serentak 2024 akan digelar di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota, dengan total 1.553 pasangan calon (Paslon) kepala daerah. Berdasarkan rata-rata pengeluaran anggaran pemenangan sebesar Rp 20 miliar per Paslon, terdapat total pengeluaran sekitar Rp 31,060 triliun yang habis dalam waktu maksimal lima bulan.

Jika saja proses demokrasi di Indonesia bersih, jujur, dan adil, maka anggaran maksimal sebesar Rp 5 miliar per Paslon sebenarnya sudah mencukupi untuk membiayai kampanye secara efektif. Namun, kenyataannya, biaya yang tidak wajar ini membengkak akibat adanya pengeluaran untuk kebutuhan tambahan seperti "belanja suara" dan biaya operasional lainnya.

Sementara itu, dari sisi anggaran negara, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebutkan bahwa Anggaran Pilkada Serentak 2024 diperkirakan lebih dari Rp 41 triliun. Angka ini diambil berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri hingga 8 Juli 2024 dan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masing-masing daerah.

Jika kedua pengeluaran ini digabungkan, yaitu anggaran pemenangan Paslon dan anggaran Pilkada yang dikeluarkan negara, maka lebih dari Rp 72 triliun hilang dalam waktu singkat, hanya untuk menggelar pesta demokrasi yang seharusnya lebih efisien dan bermakna.

Pemborosan ini menjadi cerminan dari masalah mendasar dalam sistem politik dan demokrasi di Indonesia, yang masih perlu perbaikan untuk mengurangi praktik yang tidak sehat dan mengoptimalkan penggunaan anggaran demi kepentingan masyarakat luas.

Menghasilkan Pemimpin Tidak Berkualitas

Pilkada langsung sejatinya merupakan instrumen untuk meningkatkan demokrasi partisipatif dan memenuhi semua unsur yang diharapkan. Pilkada dirancang sebagai wahana demokrasi yang ideal bagi kehidupan politik suatu daerah, dengan tujuan menciptakan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur. Prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, dan keterbukaan menjadi landasan utama dalam praktik demokrasi tersebut.

Namun, kalimat-kalimat indah ini sering kali hanya menjadi pemanis belaka. Realitasnya, Pilkada kerap kali ibarat buah kelayar atau makal—terlihat manis dan menggiurkan dari luar, tetapi menyimpan racun di dalamnya. Dalam praktiknya, kini muncul adagium yang meresahkan: "Biar curang asal menang." Adagium ini bahkan didukung oleh celah aturan, seperti Pasal 158 UU Pilkada, yang memberikan toleransi terhadap selisih suara selama memenuhi batas minimal yang disyaratkan.

Pemikiran seperti ini adalah racun yang berbahaya, dengan daya rusak yang sangat besar terhadap demokrasi di daerah. Dampaknya sudah jelas terlihat: pemimpin yang dihasilkan dari proses semacam ini sering kali tidak berkualitas. Parameter kemenangan bukan lagi kapasitas, integritas, atau rekam jejak, melainkan siapa yang memiliki uang lebih banyak atau siapa yang lebih pandai mengelola kecurangan. Akibatnya, tujuan luhur Pilkada—menciptakan masyarakat yang adil dan makmur—hanya menjadi angan-angan tanpa kenyataan.

Orang Gila Bisa Menang Dalam Pilkada

Saya berani katakan, orang gila saja bisa menang dalam Pilkada langsung. Bagaimana caranya? Bekali dia dengan anggaran besar untuk biaya pemenangan. Anggaran ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan, seperti mendandani calon agar terlihat pantas dan menarik saat dipajang di alat peraga kampanye, seperti baliho, banner, dan iklan di media massa.

Langkah selanjutnya adalah menyebarkan alat peraga kampanye sebanyak-banyaknya ke seluruh pelosok daerah. Jangan lupa bayar orang-orang yang pandai berbicara dan membual untuk mengkampanyekan pasangan calon (Paslon). Selain itu, bayarlah rekomendasi dukungan dari partai politik (Parpol) sesuai syarat yang diperlukan. Pastikan pula seluruh penyelenggara Pilkada dan perangkat terkait lainnya “diatur” menggunakan kekuatan uang.

Ketika masa pemilihan tiba, langkah terakhir adalah membeli suara pemilih. Targetkan sekurang-kurangnya 80 persen dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT). Toh, saat ini mayoritas masyarakat tidak peduli siapa yang mereka pilih. Siapa yang memberi uang, dialah yang akan dipilih.

Belum Ada Solusi Yang Tapat dan Akurat

Demokrasi dalam Pilkada semakin rusak, berdampak pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik uang yang marak telah menyebabkan pemerintahan korup, merusak prinsip demokrasi, dan menghasilkan kepala daerah yang kurang berkualitas. Kerusakan ini sulit diungkap, diberantas, dan diperbaiki karena berbagai faktor.

Meskipun ada argumen hukum dan ancaman pidana terus diproduksi, praktik politik uang semakin marak meskipun ada ancaman dari lembaga seperti KPK. Hingga saat ini, belum ada solusi yang bisa mengatasi praktik kotor dalam Pilkada. Jika ada solusi, tolong sampaikan kapan solusi itu bisa diterapkan dengan baik.

Demokrasi dalam Pilkada semakin terancam oleh politik uang yang merajalela. Dampaknya tidak hanya terasa dalam pemerintahan yang korup, namun juga merusak prinsip demokrasi dan menghasilkan pemimpin daerah yang kurang berkualitas. Kerusakan ini sulit untuk diatasi, meskipun upaya hukum seperti ancaman pidana terus dilakukan.

Meskipun lembaga seperti KPK juga berusaha melawan politik uang, namun praktik tersebut tetap marak dan masif. Dengan kondisi ini, tampaknya belum ada solusi konkret yang mampu memberantas praktik kotor dalam Pilkada langusung. Masyarakat pun ditantang untuk menyampaikan ide dan solusi untuk masalah ini, serta kapan solusi tersebut bisa diwujudkan dengan baik.

Untuk Sementara Kembalikan Dulu dipilih DPRD 

Wacana pengembalian sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung dipilih kembali oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) disebut sebagai analgesik demokrasi, yang menjadi obat sementara sampai demokrasi pulih. Langkah-langkah yang harus dipenuhi mencakup Pasangan Calon yang menolak praktik kecurangan dan mementingkan integritas, kualitas, dan profesionalisme; penyelenggara pemilihan yang jujur dan mematuhi regulasi; masyarakat yang cerdas dalam berdemokrasi dan menentang politik uang; lembaga yudikatif yang tegas dalam menegakkan aturan tanpa adanya persekongkolan; pemerintah pusat yang tidak campur tangan; serta partai politik yang menilai kualitas Pasangan Calon dengan baik. Apabila keenam kriteria tersebut terpenuhi, barulah sistem Pilkada langsung dapat dijalankan. Dengan adanya kriteria-kriteria tersebut, diharapkan Pilkada dapat menghasilkan kepala daerah yang berkualitas, daerah menjadi maju, dan rakyat meraih impian kesejahteraan mereka.

Penulis : Asep Toha, Direktur Politic Social and Local Goverment Studies (Poslogis)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun