Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Einstein, Tesla, dan Edison di Warteg Mbak Ayu

5 Januari 2025   10:50 Diperbarui: 5 Januari 2025   10:50 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di tengah hiruk-pikuk ibu kota, sebuah warteg sederhana di pojok jalan sedang ramai seperti biasa. Warteg Ayu, tempat favorit warga sekitar, dikenal dengan masakannya yang sedap dan suasananya yang hangat. Siapa sangka, pagi itu, tiga jenius dunia, Albert Einstein, Nikola Tesla, dan Thomas Edison, duduk di meja kayu panjang dekat jendela besar khas warteg, menikmati hidangan khas Indonesia.

"Mbak Ayu, teh manis saya tambah dong, tapi kali ini lebih panas," pinta Einstein dengan senyuman ramah. Mbak Ayu, pemilik warteg, tersenyum sambil membawa teh manis untuk si ilmuwan teoretis. "Ini, Pak Albert. Teh manisnya hangat, biar nggak masuk angin," katanya. Einstein menyesap perlahan, wajahnya terlihat lega setelah gigitan pertama nasi goreng kornet yang sebelumnya terasa terlalu pedas untuk lidahnya.

Di seberang meja, Tesla sibuk mencari tisu. "Mbak Ayu, pedas sekali sambal jengkol balado ini! Saya rasa lidah saya terbakar," katanya dengan aksen Eropa Timur yang kental. Tesla, yang biasanya begitu tenang dan fokus, terlihat agak kacau. Wajahnya merah, dan dia terus meniup-niup mulutnya.

Mbak Ayu tertawa kecil sambil membawa sepiring tambahan kerupuk. "Lha, Pak Nikola, tadi kan sudah saya bilang, ini sambalnya tingkat dewa. Jangan banyak-banyak makannya kalau belum biasa!" Tesla mengangguk malu, lalu menatap Edison yang terlihat sibuk meniup mangkuk soto tangkar yang mengepul.

"Thomas, bagaimana kau bisa makan soto panas ini dengan santai? Aku bahkan tidak bisa mendekatkan wajahku ke mangkuk," ujar Tesla. Edison, dengan keringat mengalir di pelipisnya, tertawa. "Nikola, kau tahu aku ini pekerja keras, bukan? Kalau bisa bertahan dari eksperimen ribuan kali dengan lampu pijar, aku pasti bisa menyelesaikan soto ini!" jawabnya sambil terus menyendok kuah kuning yang kaya bumbu.

Tiba-tiba muncul seorang pengemudi ojol bernama Isep masuk sambil melepas helmnya. Ia menyapa hangat, "Eh, Pak Albert, Pak Nikola, Pak Thomas! Apa kabar? Kok pada ngumpul di sini, bikin rapat warteg, ya?"

Ketiganya tertawa serempak. "Kami sedang membahas kejeniusan, Isep," jawab Einstein. "Tapi aku rasa, kejeniusan terbesar hari ini adalah Mbak Ayu yang bisa memasak makanan seenak ini."

Isep mendekat dan mengambil posisi di meja yang sama, memesan sepiring ayam goreng dan lalapan. "Wah, kalau ngomongin jenius, kalian bertiga ini pasti jenius kelas dewa. Tapi jangan lupa, Mbak Ayu juga jenius di dapur!" Isep mengedip ke arah Mbak Ayu, yang tertawa geli sambil menggoreng tahu di dapur.

Di bawah meja, seekor kucing liar mengeong pelan, mengarahkan matanya yang tajam ke arah Edison. Kucing itu sudah lama menjadi penghuni setia warteg, sering menunggu jatah makanan sisa dari pelanggan. "Hah, lihat itu," kata Edison sambil menunjuk kucing tersebut. "Dia tahu siapa yang paling dermawan di sini!" Dengan lembut, Edison menjatuhkan beberapa potongan daging sapi dari sotonya ke lantai. Kucing itu langsung melahapnya, sambil sesekali mengeong seolah mengucapkan terima kasih.

Einstein sambil menyeruput teh manisnya, berkata,"Tahu tidak, orang sering bilang IQ saya di atas 160. Tapi lucu juga, saya tidak pernah ikut tes IQ. Mereka hanya menduga-duga karena saya bicara soal ruang dan waktu."

Tesla tersenyum. "Teorimu tentang relativitas benar-benar mengubah cara kita melihat alam semesta, Albert. Bahkan ideku tentang energi bebas terlihat kecil dibandingkan dengan pandangan itu."

Einstein membalas dengan gelengan kepala. "Oh, tidak, Nikola. Kau adalah pelopor listrik arus bolak-balik, sesuatu yang menggerakkan dunia modern. Kalau aku menciptakan ide, kau yang menghidupkannya."

Tesla melanjutkan, "Aku sering dianggap eksentrik. Orang bilang IQ-ku antara 160 sampai 200. Tapi siapa yang peduli soal angka? Saat aku memikirkan listrik tanpa kabel dan energi bebas untuk semua orang, aku hanya ingin mempermudah hidup manusia."

Edison, sambil mengunyah tempe goreng, menyahut, "Nikola, aku tahu kita sering berbeda pandangan dulu, terutama soal arus listrik. Tapi mari kita akui, tanpa persaingan kita, mungkin dunia akan kehilangan kemajuan besar."

Tesla tertawa kecil. "Kau benar, Tom. Walaupun aku sering merasa dirimu lebih fokus pada bisnis daripada ilmu."

Edison tersenyum lebar, senang mendapat giliran bicara. "Kalian tahu, aku sering disebut-sebut punya IQ 145-160. Tapi sama seperti kalian, aku juga tidak pernah ikut tes itu. Orang suka memberi label, tapi aku hanya percaya pada kerja keras. Aku mencoba ribuan kali sebelum berhasil menciptakan lampu pijar. Itu bukan soal kecerdasan, melainkan ketekunan."

Tesla tertawa. "Sama. Orang sering menilai dari hasil kerja kita, tapi mereka lupa bahwa ide besar hanya bisa terwujud melalui kolaborasi dan kerja keras."

Edison mengangguk. "Aku setuju. Aku selalu percaya bahwa kejeniusan itu satu persen inspirasi dan sembilan puluh sembilan persen keringat. Tanpa kerja keras, ide sehebat apa pun hanya akan jadi angan-angan."

Einstein mengangguk setuju. "Dan dengan lampu pijarmu, kau telah menerangi jalan bagi banyak orang. Ketekunanmu adalah bentuk kejeniusan tersendiri, Tom."

Tesla menambahkan, "Aku mungkin bermimpi besar, tetapi kau yang membuatnya nyata bagi masyarakat luas."

Mbak Ayu, yang sedang mengelap meja, ikut menyahut. "Iya, Pak. Kejeniusan itu bukan cuma soal kepintaran, tapi juga soal ketulusan untuk membantu orang lain, ya kan?"

Ketiganya setuju serempak. "Benar sekali, Mbak Ayu," kata Einstein. "Dan kau adalah contoh nyata bagaimana kejeniusan bisa hadir di dapur sekalipun."

Suasana hening sejenak. "Apa kau tahu," kata Tesla tiba-tiba, "bahwa dalam banyak hal, kita bertiga adalah cerminan satu sama lain? Albert, kau mewakili kejeniusan teoritis. Aku teknis. Dan Tom, kau adalah jembatan antara keduanya, kejeniusan bisnis yang membawa teori dan teknologi ke dunia nyata."

Einstein tersenyum lebar. "Dan itulah mengapa kita membutuhkan lebih dari sekadar angka untuk mengukur kejeniusan. IQ adalah mitos kecil yang terlalu sering diperbesar. Kejeniusan yang sebenarnya terletak pada bagaimana kita menggunakan pemahaman kita untuk membantu orang lain."

Edison tertawa keras. "Aku setuju. Kalau begitu, mari kita semua mengakui sesuatu, kita bertiga tidak pernah ikut tes IQ, dan kita baik-baik saja!" Ketiganya tertawa serempak, menarik perhatian pengunjung warteg lainnya.

Obrolan semakin hangat. Ketiganya saling memuji pencapaian masing-masing tanpa sedikit pun rasa iri. Einstein berbicara tentang pentingnya memadukan teori dengan praktik, Tesla membahas visi masa depan yang penuh energi terbarukan, dan Edison menekankan nilai inovasi yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat.

Hari itu, di warteg kecil yang sederhana, kejeniusan bukan tentang angka atau skor IQ. Einstein, Tesla, dan Edison menyadari bahwa kejeniusan sejati terletak pada kontribusi nyata, apakah itu teori relativitas, arus bolak-balik, lampu pijar, atau bahkan sambal balado Mbak Ayu.

Ketiganya meninggalkan warteg dengan senyum puas, meninggalkan pesan sederhana bahwa kejeniusan adalah tentang bagaimana kita memberi manfaat bagi dunia, meskipun hanya lewat sepiring nasi goreng atau sepiring sambal jengkol yang pedas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun