Suasana hening sejenak. "Apa kau tahu," kata Tesla tiba-tiba, "bahwa dalam banyak hal, kita bertiga adalah cerminan satu sama lain? Albert, kau mewakili kejeniusan teoritis. Aku teknis. Dan Tom, kau adalah jembatan antara keduanya, kejeniusan bisnis yang membawa teori dan teknologi ke dunia nyata."
Einstein tersenyum lebar. "Dan itulah mengapa kita membutuhkan lebih dari sekadar angka untuk mengukur kejeniusan. IQ adalah mitos kecil yang terlalu sering diperbesar. Kejeniusan yang sebenarnya terletak pada bagaimana kita menggunakan pemahaman kita untuk membantu orang lain."
Edison tertawa keras. "Aku setuju. Kalau begitu, mari kita semua mengakui sesuatu, kita bertiga tidak pernah ikut tes IQ, dan kita baik-baik saja!" Ketiganya tertawa serempak, menarik perhatian pengunjung warteg lainnya.
Obrolan semakin hangat. Ketiganya saling memuji pencapaian masing-masing tanpa sedikit pun rasa iri. Einstein berbicara tentang pentingnya memadukan teori dengan praktik, Tesla membahas visi masa depan yang penuh energi terbarukan, dan Edison menekankan nilai inovasi yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat.
Hari itu, di warteg kecil yang sederhana, kejeniusan bukan tentang angka atau skor IQ. Einstein, Tesla, dan Edison menyadari bahwa kejeniusan sejati terletak pada kontribusi nyata, apakah itu teori relativitas, arus bolak-balik, lampu pijar, atau bahkan sambal balado Mbak Ayu.
Ketiganya meninggalkan warteg dengan senyum puas, meninggalkan pesan sederhana bahwa kejeniusan adalah tentang bagaimana kita memberi manfaat bagi dunia, meskipun hanya lewat sepiring nasi goreng atau sepiring sambal jengkol yang pedas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H