Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Personalized Learning dan Tantangan Pendidikan Indonesia: Solusi atau Utopia?

1 Januari 2025   12:45 Diperbarui: 2 Januari 2025   05:49 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tantangan Personalized Learning di Indonesia

Dari keempat potret sekolah yang kita ulas di atas, kita dapat membaca ada sejumlah tantangan dalam penerapan konsep personalized learning di indonesia, yaitu:

  1. Kesenjangan Digital Ketika kita berbicara tentang personalized learning, kita tak bisa menghindari kesenjangan digital yang menganga. Akses terhadap teknologi di daerah terpencil adalah kemewahan yang hanya bisa dinikmati oleh sedikit orang. Dengan koneksi internet yang lambat dan perangkat yang mahal, sekolah-sekolah di pelosok Indonesia tertinggal jauh. Bahkan upaya pemerintah untuk mengatasi masalah ini masih terasa jauh dari ideal. Tanpa perubahan drastis, personalized learning di Indonesia bisa menjadi utopia yang semakin menjauh.

  2. Kurangnya Pelatihan Guru Personalized learning bukanlah sekadar menerapkan teknologi baru di kelas. Ia menuntut guru untuk menjadi fasilitator yang terlatih dengan pendekatan yang adaptif dan berbasis data. Namun kenyataannya, banyak guru di Indonesia yang terjebak dalam rutinitas lama, dengan program pelatihan yang tidak cukup mendalam. Beban administratif yang membelit mereka menambah daftar tantangan yang tak terhingga. Tanpa revolusi dalam pelatihan guru, bagaimana personalized learning dapat berkembang?

  3. Resistensi Budaya Budaya pendidikan Indonesia yang mengutamakan hasil akademis dan disiplin yang ketat sering kali bertentangan dengan konsep personalized learning yang lebih fleksibel. Banyak orang tua dan masyarakat yang lebih nyaman dengan sistem yang terstruktur, dengan nilai ujian sebagai indikator kesuksesan. Apakah Indonesia siap meninggalkan paradigma lama dan menerima pendekatan yang lebih berpusat pada siswa?

    Tembok Belenggu Pendidikan Indonesia

Tembok-tembok ini bukan sekadar sekat fisik yang membatasi ruang dan wilayah, tetapi juga sekat mental dan struktural yang terus memperburuk ketidakadilan dalam sistem pendidikan kita. Sejak Indonesia merdeka, pendidikan selalu menjadi simbol ketidaksetaraan, baik dalam hal akses, kualitas, hingga relevansi terhadap kebutuhan zaman. Di satu sisi, kita memiliki sekolah-sekolah elit yang dilengkapi dengan teknologi terkini, kurikulum yang inovatif, dan pengajaran berbasis kompetensi. Di sisi lain, masih banyak sekolah di pelosok negeri yang kekurangan guru berkualitas, fasilitas dasar, bahkan sekadar buku pelajaran yang memadai. Kesenjangan ini bukanlah fenomena baru, tetapi sudah menjadi bagian dari "tradisi" pendidikan kita, yang semakin mengukuhkan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, yang beruntung dan yang tertinggal.

Tembok ini juga tercermin dalam cara kita mendekati pendidikan itu sendiri. Sistem yang lebih mengutamakan ujian standar dan pengajaran berbasis hafalan cenderung mengabaikan potensi individu dan keberagaman cara belajar. Siswa di daerah terpencil, yang seharusnya dapat mengakses materi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kecepatan mereka, sering kali terjebak dalam sistem yang tidak memungkinkan mereka untuk berkembang sesuai potensi mereka. Di sisi lain, siswa di kota besar dengan akses lebih besar terhadap teknologi dan fasilitas pendidikan justru mendapat kesempatan lebih besar untuk meraih impian mereka. Ini menciptakan ketidaksetaraan yang terus mengakar, menghalangi banyak anak muda Indonesia untuk mengejar cita-cita mereka, hanya karena tempat mereka dilahirkan atau status sosial mereka.

Selain itu, pendidikan kita terperangkap dalam paradigma lama yang tidak mampu merespon perubahan zaman. Ketika dunia bergerak menuju revolusi industri 4.0, kita masih bergulat dengan ketidakmampuan untuk menerapkan teknologi yang dapat menyamakan level kesempatan bagi semua siswa. Pendidikan berbasis teknologi yang seharusnya menjadi solusi malah menjadi pembeda, menambah jurang pemisah antara yang bisa dan tidak bisa mengaksesnya. Dalam dunia yang semakin berbasis data dan keterampilan digital, kita justru semakin memperlebar kesenjangan antara generasi yang memiliki akses ke dunia digital dan mereka yang terjebak dalam keterbatasan akses.

Tembok-tembok ini bukan hanya masalah fisik dan infrastruktur, tetapi juga mencakup masalah politik dan ekonomi. Ketika kebijakan pendidikan lebih sering dibuat tanpa mempertimbangkan keberagaman kondisi di lapangan, ketika anggaran untuk pendidikan lebih sering tergerus untuk kepentingan lain, dan ketika sektor pendidikan terus diserang dengan model-model yang tidak relevan, maka tembok-tembok ketidaksetaraan ini akan terus memperpanjang umur mereka. Mereka tidak hanya membatasi potensi individu, tetapi juga merusak masa depan bangsa secara keseluruhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun