Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Arizona AI-Taught Charter School dan Unbound Academy: Revolusi dan Refleksi Personalized Learning

31 Desember 2024   20:52 Diperbarui: 31 Desember 2024   23:09 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tapi apakah konsep ini benar-benar baru? Yuk kita lihat kisah Ujang berikut ini.

Kisah Ujang di Al Azhar

Ujang tak pernah membayangkan dirinya akan menjejakkan kaki di Mesir, tanah para nabi dan peradaban yang menjadi mercusuar keilmuan Islam selama berabad-abad. Pemuda sederhana dari Tasikmalaya ini, dengan sarung yang sering kali dilipat rapi di pinggang, berangkat dengan satu koper penuh buku, doa ibunya, dan impian besar untuk menjadi ulama yang mencerahkan bangsanya.

Begitu Ujang memasuki gerbang Universitas Al Azhar di Kairo, ia merasa seperti tersedot ke dalam dimensi lain. Di hadapannya berdiri bangunan-bangunan kuno dengan arsitektur yang memukau, dihiasi ukiran ayat-ayat Al-Qur'an. Namun, di balik keindahan itu, suasana kampus penuh dengan kesibukan yang menggetarkan jiwa. Para mahasiswa, dengan jubah panjang dan peci putih, duduk bersila di bawah pohon zaitun, berdiskusi dengan kitab tebal di tangan.

"Ini bukan seperti kelas di pesantrenku," pikir Ujang. Di sana, tidak ada meja dan kursi formal. Guru duduk di tengah lingkaran halaqah, dikelilingi murid-murid yang dengan khusyuk mencatat setiap kata. Guru itu, seorang syaikh tua dengan suara berat namun teduh, menjelaskan satu kalimat dari Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali selama dua jam penuh.

Di sela-sela penjelasan, mahasiswa boleh bertanya. Tapi bukan sembarang pertanyaan. Pertanyaan yang tidak relevan atau terlalu sederhana akan dibalas dengan senyuman tipis yang seolah berkata, "Kamu perlu membaca lebih banyak." Ujang terdiam, mengingat kebiasaannya di Indonesia yang sering mengajukan pertanyaan ringan seperti "Apa hikmah dari ayat ini?" tanpa mendalami terlebih dahulu. Di sini, diskusi adalah pertempuran intelektual, dan setiap murid harus siap dengan dalil dan argumen.

Ujang diajak oleh seorang senior dari Aceh untuk mengunjungi perpustakaan Universitas Al Azhar. Bangunan itu, yang dari luar tampak seperti museum abad pertengahan, ternyata menyimpan ribuan manuskrip kuno. "Ini adalah warisan peradaban Islam," kata seniornya dengan nada bangga.

Ketika masuk, Ujang terkejut. Perpustakaan ini lebih dari sekadar tempat membaca. Suara gesekan pena di atas kertas memenuhi ruangan, seperti alunan simfoni. Beberapa mahasiswa duduk di meja besar, dikelilingi tumpukan buku. Di sudut ruangan, seorang dosen dengan sabar membimbing mahasiswanya menerjemahkan teks Arab klasik ke dalam bahasa modern.

Namun, ada satu hal yang membuat Ujang merasa kecil. Semua orang tampaknya tahu apa yang mereka cari. Tidak ada yang sekadar "jalan-jalan" di perpustakaan ini. "Kamu harus tahu kitab apa yang ingin kamu baca, dan kenapa," kata petugas perpustakaan ketika Ujang kebingungan di depan rak penuh kitab fiqh. Di Indonesia, perpustakaan sering kali menjadi tempat pelarian dari tugas kelas. Di sini, perpustakaan adalah medan perjuangan ilmu.

Meski bangunan Al Azhar terlihat kuno, fasilitas pendidikannya sangat mendukung. Aula besar dengan proyektor modern digunakan untuk ceramah umum, laboratorium bahasa membantu mahasiswa memahami teks kuno, dan ruang diskusi disediakan untuk halaqah kecil. Tapi Ujang menyadari satu hal: fasilitas ini hanya alat. Semangat belajar dan kecintaan terhadap ilmu adalah motor utama sistem pendidikan di sini.

Di Indonesia, Ujang terbiasa dengan "penjagaan" guru. Kalau ada yang tidak mengerjakan tugas, guru akan memberi peringatan. Di Al Azhar, tidak ada yang peduli apakah kamu belajar atau tidak. Kamu bertanggung jawab atas dirimu sendiri. Tidak ada jam pelajaran tetap untuk membaca kitab. Setiap orang menciptakan ritme belajarnya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun