Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dilema Kehidupan: Mengapa Kita Mengejar Kebahagiaan dan Menghindari Penderitaan, Meski Keduanya Tak Terpisahkan

19 Desember 2024   09:34 Diperbarui: 19 Desember 2024   09:34 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Contoh klasik adalah Kurt Cobain, vokalis Nirvana, yang meskipun berada di puncak kesuksesan dan ketenaran, merasa terasing dan tidak puas dengan hidupnya. Kecanduan terhadap kepuasan yang instan membuatnya kehilangan makna dan arah, yang akhirnya berujung pada tragedi. Begitu pula dengan Michael Jackson, yang meskipun menjadi simbol kebahagiaan dan kemewahan, sebenarnya bergulat dengan kesepian dan penderitaan batin yang mendalam. Kisah mereka mengingatkan kita bahwa kebahagiaan yang didapatkan melalui pencapaian eksternal yang tidak disertai dengan kedalaman batin dapat menjebak kita dalam kehampaan.

Kebahagiaan, jika terlalu dipaksakan sebagai tujuan yang mutlak dan tanpa pertimbangan yang mendalam, dapat menjadi kecanduan. Kita pun terperangkap dalam spiral yang tak berujung, mengejar kebahagiaan yang selalu terasa kurang. Di sinilah moderasi menjadi penting---kita perlu menerima bahwa kebahagiaan bukanlah hal yang bisa dipaksakan, melainkan sesuatu yang muncul alami dalam perjalanan hidup yang penuh dengan ups and downs.

Menemukan Kekuatan dalam Penderitaan: Menerima Ketidakpastian Hidup

Sementara itu, di sisi penderitaan, kita juga sering kali terjebak dalam pemahaman bahwa penderitaan adalah sesuatu yang harus dihindari dengan segala cara. Namun, jika kita melihat lebih dalam, penderitaan tidak selalu bersifat negatif. Sering kali, dalam penderitaan, kita menemukan kekuatan yang tidak kita sadari sebelumnya. Nelson Mandela, misalnya, setelah menghabiskan 27 tahun di penjara, tidak hanya keluar sebagai seorang pahlawan, tetapi sebagai seorang pemimpin yang mampu mengubah Afrika Selatan. Penderitaan yang dialaminya memberinya perspektif yang lebih dalam tentang pentingnya pengampunan, toleransi, dan kebebasan.

Begitu pula dengan Abraham Lincoln, yang meskipun menghadapi konflik yang sangat berat selama perang saudara Amerika, tidak membiarkan penderitaan pribadi maupun konflik eksternal merusak misinya untuk menyatukan bangsa. Lincoln mengajarkan kita bahwa penerimaan terhadap penderitaan---bukan sebagai akhir, melainkan sebagai proses yang membentuk kita---adalah kunci untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan sejati.

Penderitaan, jika diterima dengan sikap yang benar, dapat membawa pencerahan. Dalam ketidakpastian hidup, kita justru menemukan jalan untuk tumbuh lebih bijaksana, lebih kuat, dan lebih sadar akan makna hidup yang lebih besar. Ini adalah kekuatan yang hanya dapat ditemukan dalam perjalanan yang penuh dengan perjuangan, bukan dalam pencarian kebahagiaan yang mudah dan tanpa tantangan.

Moderasi dalam Pandangan Sufisme: Jalan Tengah Menuju Kebahagiaan Sejati

Dalam ajaran Sufisme, yang menekankan pencarian kedamaian batin dan hubungan yang mendalam dengan Tuhan, moderasi sangat ditekankan. Imam al-Ghazali, salah satu pemikir besar dalam tradisi Islam, mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari pencarian eksternal yang berlebihan, tetapi dari penyelarasan batin dan pengendalian diri. Dalam karya-karyanya, ia menulis tentang pentingnya menghindari ekstrim dalam hidup---baik dalam pencarian kenikmatan duniawi maupun dalam penolakan total terhadap dunia ini.

Moderasi, dalam konteks ini, berarti memahami bahwa penderitaan adalah bagian dari ujian hidup, dan kebahagiaan adalah hasil dari penerimaan terhadap takdir dan kesadaran bahwa kebahagiaan duniawi bukanlah tujuan utama. Kebahagiaan yang sejati datang dari hubungan kita dengan Tuhan, yang dibangun melalui sabar dan syukur, serta penerimaan terhadap ketidakpastian hidup.

Mencapai Kebahagiaan yang Sejati: Keseimbangan antara Dunia dan Akhirat

Di dunia yang semakin modern ini, pencarian kebahagiaan sering kali dikaitkan dengan pencapaian materi atau status sosial. Namun, banyak orang yang telah mencapai semua itu menemukan bahwa kebahagiaan sejati tetap menghindar. Sebaliknya, mereka yang berfokus pada tujuan yang lebih tinggi, yang tidak terikat pada duniawi, justru menemukan kedamaian batin yang tidak dapat diperoleh dari harta atau ketenaran. Mahatma Gandhi, dalam perjuangannya melawan penjajahan Inggris, menemukan kebahagiaan yang lebih besar dalam pelayanan kepada rakyat, dalam kesederhanaan hidup, dan dalam ketenangan batin yang diperoleh dari hidup dengan tujuan yang lebih tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun