Ketika menilai klaim skeptisisme Barat yang berpendapat bahwa epistemologi keraguan adalah warisan Barat, ada keharusan untuk menggugat pandangan tersebut dengan tegas. Epistemologi keraguan dalam Islam, yang tercermin dalam QS. Al-Mulk, lebih tepatnya merupakan ajakan untuk berfikir kritis dan reflektif tentang keterbatasan indera manusia, namun dengan tujuan yang lebih agung, yaitu untuk lebih mendekatkan diri pada kebenaran yang bersumber dari Tuhan. Konsep ini lebih daripada sekadar pengujian atau keraguan terhadap fakta-fakta duniawi, tetapi juga terkait dengan pencarian kebijaksanaan transendental yang lebih besar.
Tesis yang menyatakan bahwa epistemologi keraguan adalah warisan Barat dapat digugat dengan melihat sejarah panjang skeptisisme dalam tradisi Islam. Misalnya, Ibn Khaldun, dalam Muqaddimah, menyatakan bahwa setiap pengetahuan harus diuji dengan rasio dan pengamatan, menggarisbawahi pentingnya pembaharuan pengetahuan dalam setiap generasi. Sementara Al-Ghazali mengkritik pemikiran filsafat yang hanya mengandalkan rasio dan indera tanpa penurunan wahyu yang diperlukan untuk melengkapi proses kognisi manusia.
Epistemologi keraguan dalam tradisi Islam tidak hanya mengarahkan manusia pada keraguan nihilistik seperti yang terkadang terlihat dalam filsafat Barat, tetapi juga mendorong pencarian yang mendalam dan berkelanjutan terhadap kebenaran yang lebih tinggi, yaitu kebenaran yang lebih mendekati pemahaman Tuhan yang maha sempurna.
4. Impilkasi untuk Metode Ilmiah Modern: Integrasi Skeptisisme Islam dengan Ilmu Pengetahuan
Berdasarkan hasil analisis, metode ilmiah modern yang mengedepankan prinsip verifikasi berulang dan falsifikasi tidaklah bertentangan dengan epistemologi keraguan yang ditemukan dalam QS. Al-Mulk. Sebaliknya, kedua pendekatan ini saling melengkapi. Keduanya mengakui bahwa pengetahuan manusia terbatas dan perlu diuji berulang kali. Namun, sementara ilmu pengetahuan Barat mungkin menekankan pada pengujian terbatas dalam ruang lingkup fisik dan empiris, QS. Al-Mulk menuntut pengujian yang lebih luas yang mengarah pada kebenaran transendental. Oleh karena itu, integrasi antara skeptisisme metodologis Islam dan metode ilmiah modern dapat membentuk suatu pendekatan ilmiah yang lebih holistik, yang tidak hanya menguji realitas duniawi, tetapi juga melibatkan dimensi metafisik dan transendental.
Melalui pembahasan ini, terbukti bahwa epistemologi keraguan dalam QS. Al-Mulk ayat 3-4 lebih dari sekadar ajakan untuk meragukan realitas fisik; ia adalah panggilan untuk refleksi mendalam terhadap keterbatasan pengetahuan manusia dan pencarian akan kebenaran yang lebih tinggi. Dibandingkan dengan skeptisisme dalam filsafat Barat yang sering mengarah pada relativisme, keraguan dalam tradisi Islam adalah alat untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam dan lebih mendekati kebesaran Tuhan. Sehingga, tesis yang menyatakan bahwa skeptisisme dan metode ilmiah adalah warisan Barat dapat dipertanyakan, karena epistemologi keraguan ini juga memiliki akar yang kuat dalam tradisi intelektual Islam.
Metodologi Ilmiah Ibnu Haytam dalam Kitab al-Manazir)
Salah satu tonggak penting dalam pengembangan metodologi ilmiah adalah kontribusi Ibnu Haytam (Alhazen) melalui karyanya Kitab al-Manazir (Book of Optics). Dalam karya ini, Ibnu Haytam tidak hanya mencetuskan teori cahaya dan penglihatan yang revolusioner, tetapi juga membangun kerangka kerja metodologis yang sangat mirip dengan metode ilmiah modern. Elemen ini relevan dengan pembahasan QS. Al-Mulk 3-4, terutama dalam konteks pengamatan kritis, pengujian ulang, dan falsifikasi.
Pengamatan Kritis dan Penolakan terhadap Persepsi Indrawi yang Tidak Diverifikasi
Ibnu Haytam menolak doktrin sebelumnya yang bergantung pada penafsiran Aristoteles tanpa pengujian langsung. Dalam Kitab al-Manazir, ia berpendapat bahwa penglihatan manusia dapat menipu, dan untuk memahami fenomena cahaya, diperlukan observasi yang teliti serta verifikasi yang sistematis. Konsep ini sejajar dengan QS. Al-Mulk 3-4, yang secara eksplisit mengajak manusia untuk "melihat lagi" dan memastikan bahwa apa yang tampak seimbang benar-benar terbukti melalui pengamatan berulang.
Eksperimen sebagai Landasan Pengetahuan