3. Menawarkan perspektif integratif antara epistemologi modern dan nilai-nilai Al-Qur'an dalam membangun pengetahuan yang dinamis dan berkelanjutan.
Dengan demikian, artikel ini bukan hanya ingin menguak sisi filosofis QS. Al-Mulk, tetapi juga menantang asumsi bahwa skeptisisme dan metode ilmiah hanyalah warisan Barat. Pandangan ini kerap dipegang oleh sebagian kalangan yang memandang epistemologi keraguan sebagai produk eksklusif dari filsafat modern Barat, bermula dari Descartes yang mengajukan cogito ergo sum melalui keraguan metodologisnya, atau dari empirisisme skeptis David Hume yang meragukan validitas pengetahuan inderawi. Bahkan kritik lebih tajam datang dari kaum positivis yang menilai bahwa keraguan tidak perlu diinstitusikan dalam kerangka filosofis dan cukup berhenti pada level verifikasi ilmiah. Lebih jauh, skeptisisme kerap dicurigai oleh pemikir-pemikir teologis sebagai sebuah mekanisme yang hanya melahirkan relativisme epistemik, meruntuhkan klaim-klaim kebenaran yang stabil.
Namun, perspektif ini justru menunjukkan keterbatasannya jika kita menganalisis QS. Al-Mulk ayat 3-4 secara lebih mendalam. Ayat ini, yang diturunkan berabad-abad sebelum era filsafat modern, mengandung esensi epistemologi keraguan yang konstruktif---sebuah keraguan yang tidak berhenti pada nihilisme tetapi justru berfungsi sebagai langkah menuju validasi kebenaran yang lebih kokoh. Diksi " " (kembalikan pandanganmu) adalah simbol dari pengulangan observasi yang kritis, sejalan dengan falsifikasi dalam sains modern seperti yang diajukan oleh Karl Popper. Akan tetapi, QS. Al-Mulk melampaui sekadar pengujian empiris karena menyisipkan pengakuan atas keterbatasan manusia---" " (pandanganmu akan kembali dalam keadaan hina dan kecewa). Ini menunjukkan bahwa keraguan dalam perspektif Al-Qur'an bukanlah alat untuk menihilkan kebenaran, melainkan untuk menggali kedalaman realitas sekaligus mengakui dimensi transendental yang melampaui kemampuan inderawi manusia.
Oleh karena itu, kritik yang mengatakan bahwa epistemologi keraguan hanya bersumber dari Barat menjadi reduksionis. QS. Al-Mulk membuktikan bahwa skeptisisme sebagai metode untuk menguji dan menimbang pengetahuan telah tertanam dalam kerangka berpikir Al-Qur'an. Perbedaannya, skeptisisme Barat sering kali mengarah pada sikap agnostik epistemik, di mana kebenaran dianggap mustahil dicapai secara absolut. Sementara itu, skeptisisme yang tercermin dalam QS. Al-Mulk bersifat teleologis---mengajak manusia untuk menguji, mengoreksi, dan akhirnya mencapai kesadaran tentang kesempurnaan keteraturan alam yang diciptakan oleh Tuhan. Dengan kata lain, keraguan dalam Al-Qur'an adalah langkah menuju keyakinan yang tercerahkan, bukan sekadar penghancuran epistemik.
Lebih jauh, kritik dari pemikir teologis bahwa skeptisisme akan melemahkan keyakinan dan membawa manusia ke relativisme epistemik juga perlu dikaji ulang. QS. Al-Mulk justru menunjukkan bahwa skeptisisme bukanlah lawan dari iman, melainkan fondasi bagi iman yang rasional dan kokoh. Keraguan yang diarahkan untuk memahami " " (apakah kamu melihat ketidakseimbangan?) adalah instrumen untuk mendorong eksplorasi dan penemuan kebenaran, baik dalam aspek material maupun spiritual. Dengan kata lain, epistemologi keraguan dalam QS. Al-Mulk menjembatani dikotomi antara iman dan sains, membuktikan bahwa skeptisisme yang sehat adalah alat untuk memahami kebesaran Sang Pencipta melalui pengamatan alam semesta.
Dalam konteks ini, penelitian ini menegaskan bahwa epistemologi keraguan bukan monopoli Barat atau ancaman bagi kepastian epistemik, melainkan prinsip universal yang mendasari upaya manusia dalam memahami realitas. QS. Al-Mulk 3-4 tidak hanya merefleksikan perintah untuk berpikir kritis, tetapi juga merumuskan kerangka metodologis yang mengintegrasikan keraguan, eksplorasi, dan akhirnya pengakuan atas keteraturan yang melampaui batas kemampuan inderawi manusia. Proses inilah yang mendorong pengetahuan untuk tidak pernah berhenti, melainkan terus diuji, dicari, dan diperbarui---sebuah konsep yang justru memperkaya metodologi ilmiah modern dan menantang klaim bahwa keraguan adalah warisan Barat semata.
Tinjauan Pustaka
Dalam mengkaji epistemologi keraguan yang terkandung dalam QS. Al-Mulk ayat 3-4, perlu dilakukan eksplorasi terhadap berbagai kerangka pemikiran yang relevan, baik dari tradisi Islam maupun dari filsafat modern Barat. Tinjauan pustaka ini mencakup pandangan dari Al-Qur'an, epistemologi Islam klasik, filsafat keraguan Barat, serta metode ilmiah modern.
1. Epistemologi dalam Al-Qur'an
Epistemologi dalam perspektif Al-Qur'an berlandaskan pada pendekatan integratif antara wahyu, akal, dan indera sebagai sumber pengetahuan. Dalam konteks QS. Al-Mulk ayat 3-4, Al-Qur'an menekankan penggunaan indera (penglihatan) untuk melakukan observasi kritis terhadap alam semesta. Ayat ini mengandung perintah eksplisit untuk mengulangi pengamatan dan mengevaluasi hasilnya secara mendalam, seperti tertuang dalam perintah " " (kembalikan pandanganmu). Menurut Al-Attas (1995), epistemologi Islam mengakui keterbatasan indera dan akal dalam mencapai pengetahuan absolut. Namun, pengetahuan yang benar dan pasti dapat diperoleh dengan bimbingan wahyu. Pandangan ini sejalan dengan fungsi skeptisisme dalam QS. Al-Mulk yang mengarahkan manusia pada kesadaran tentang keteraturan kosmos yang bersumber dari Sang Pencipta.
Selain itu, Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menyatakan bahwa pengamatan empiris harus diiringi dengan analisis kritis terhadap data yang diperoleh. Hal ini mencegah manusia dari kesimpulan yang gegabah atau bias persepsi. Konsep ini mendekati semangat QS. Al-Mulk 3-4 yang memprovokasi manusia untuk "meragukan pengamatan awal" dan terus mencari kebenaran yang lebih mendalam.