Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Urgensi Sikap Munafik

17 Desember 2024   22:04 Diperbarui: 18 Desember 2024   03:40 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain itu, munafik strategis mengutamakan kepentingan yang lebih besar dalam suatu situasi. Dalam keadaan kritis, menahan diri dapat memungkinkan fokus untuk tetap berada pada tujuan bersama yang lebih penting, seperti menjaga keharmonisan keluarga atau produktivitas tim. Dalam konteks ini, munafik strategis bukanlah bentuk penghindaran, melainkan sebuah keputusan untuk menjaga kepentingan jangka panjang di atas kepuasan emosional sesaat.

Sebagai contoh relevan, dalam rapat kerja, seorang manajer mungkin memilih untuk tidak menegur karyawan di depan umum meskipun kecewa dengan kinerjanya. Sebaliknya, ia menunggu hingga situasi lebih kondusif, lalu memberikan kritik secara pribadi, setelah merenungkan cara terbaik untuk menyampaikan masukan yang lebih konstruktif. Tindakan ini bukan hanya menunjukkan pengendalian diri, tetapi juga menciptakan kesempatan bagi komunikasi yang lebih bijak dan berbobot, serta menjaga suasana kerja yang positif. Dengan demikian, munafik strategis menawarkan lebih dari sekadar solusi sementara, tetapi juga sebuah pendekatan yang mendalam dan berbasis pada kebijaksanaan sosial yang mendukung hubungan dan tujuan jangka panjang.

4. Kritik Budaya: Potensi Budaya "Rukun Semu"

Kritik utama keempat terhadap munafik strategis adalah potensi untuk menciptakan budaya "rukun semu", di mana upaya untuk menjaga harmoni dianggap sebagai alasan untuk mengabaikan masalah yang sebenarnya. Dalam pandangan ini, harmoni yang terjaga hanya bersifat sementara, dan konflik mendalam tetap terpendam, sehingga menghambat penyelesaian masalah yang sesungguhnya. Kritikus berpendapat bahwa dalam budaya seperti ini, segala ketegangan yang tidak diekspresikan dengan jujur akan mengarah pada penundaan atau bahkan penghindaran penyelesaian konflik yang substansial.

Namun, pandangan ini mengabaikan niat dan tujuan dari munafik strategis yang dijalankan dengan kesadaran. Tindakan menahan ekspresi emosi negatif bukan dimaksudkan untuk memelihara kepura-puraan, tetapi untuk menciptakan ruang bagi refleksi yang lebih mendalam sebelum langkah konstruktif diambil. Hal ini bertujuan untuk mencegah dampak destruktif yang bisa timbul dari ekspresi emosional yang tidak terkontrol. Dengan demikian, harmoni yang dijaga bukanlah sebuah ilusi, melainkan strategi bertahap yang membangun kepercayaan dan mengarahkan individu atau kelompok menuju dialog yang lebih produktif.

Sebagai tambahan, munafik strategis juga berperan dalam menjaga keseimbangan antara rukun dan kritik. Dalam hubungan sosial yang sehat, harmoni tidak berarti menghindari kritik, melainkan menyampaikan kritik tersebut dengan cara yang santun dan tidak emosional. Dengan memilih waktu dan cara yang tepat untuk mengungkapkan ketidaksetujuan, individu dapat menghindari konflik yang merusak, namun tetap berkomitmen pada penyelesaian masalah yang lebih efektif dan konstruktif. Dalam hal ini, munafik strategis berfungsi sebagai mekanisme pengendalian diri yang mendukung komunikasi yang lebih matang.

Di sisi lain, harmoni yang diciptakan sementara melalui munafik strategis sebenarnya membangun fondasi yang kuat untuk penyelesaian masalah jangka panjang. Kerukunan sementara memungkinkan pihak-pihak yang terlibat untuk menyelesaikan masalah secara bertahap melalui dialog yang lebih terbuka dan terstruktur. Dalam banyak konteks sosial, seperti dalam budaya kerja kolektif, menjaga keharmonisan dalam situasi yang penuh ketegangan bisa mencegah konflik destruktif, sementara penyelesaian konflik yang lebih dalam tetap berjalan melalui proses komunikasi yang lebih efektif dan penuh pertimbangan. Oleh karena itu, munafik strategis bukanlah penghalang penyelesaian masalah, melainkan sebuah tahap yang mendukung pencapaian solusi yang lebih berkelanjutan.

5. Kritik Filosofis: Mengabaikan Keaslian (Authenticity)

Kritik utama kelima terhadap munafik strategis adalah bahwa praktik ini dianggap mengabaikan keaslian diri (authenticity) karena individu tidak mengekspresikan perasaan mereka yang sebenarnya. Kritikus berpendapat bahwa tindakan menahan ekspresi emosional yang sesungguhnya dapat dipandang sebagai bentuk kepalsuan yang mengurangi integritas personal. Dalam pandangan ini, keaslian berarti mengekspresikan perasaan tanpa filter, yang dianggap sebagai cara terbaik untuk tetap setia pada diri sendiri dan mempertahankan integritas.

Namun, kritik ini mengabaikan perbedaan penting antara otentik dalam arti brutal dan otentik dalam konteks yang lebih matang dan bertanggung jawab. Dalam tradisi filsafat etika, terutama dalam virtue ethics Aristotelian, otentisitas tidak diartikan sebagai ungkapan emosional yang tanpa batas. Sebaliknya, keaslian sejati dalam hubungan interpersonal adalah tentang memahami dampak dari tindakan kita terhadap orang lain dan memilih respons yang lebih bijaksana dan terkendali. Keaslian bukan berarti menyakiti perasaan orang lain demi kepuasan pribadi, tetapi melibatkan pilihan yang cermat mengenai kapan dan bagaimana mengungkapkan perasaan kita untuk mencapai hasil yang lebih positif dan produktif.

Menahan emosi sesaat, dalam banyak konteks, bukanlah tanda ketidakautentikan, melainkan salah satu cara manusia untuk bertindak dengan kebijaksanaan yang lebih besar. Dalam situasi yang penuh ketegangan, membiarkan emosi mendominasi dapat memperburuk keadaan dan merusak hubungan yang seharusnya dapat diperbaiki. Mengendalikan reaksi spontan untuk waktu tertentu adalah bagian dari upaya manusia untuk bertindak lebih bijaksana dan matang dalam situasi kompleks. Ini menunjukkan pengendalian diri, yang dalam banyak filsafat etika, seperti dalam ajaran Stoikisme, dihargai sebagai kualitas yang membawa individu menuju kebijaksanaan.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun