Hak untuk Dilupakan: Ketika Melupakan Menjadi Seni yang Perlu Kita Pelajari Lagi
Di era digital, siapa yang bisa benar-benar melupakan masa lalu? Setiap klik, unggahan, dan pencarian meninggalkan jejak yang hampir mustahil dihapus. Lebih dari itu, ada tekanan sosial yang sering kali memperpanjang umur ingatan publik terhadap hal-hal yang sebenarnya tak lagi relevan. Kita bisa melihat ini dalam kasus-kasus artis yang berjuang untuk meninggalkan masa lalu mereka misalkan seperti selebritas yang memilih berhijab dan ingin hidup baru tanpa dibayangi jejak kehidupan sebelumnya, atau Luna Maya yang terus dihantui video seks lama meskipun ia telah melanjutkan hidupnya.
Fenomena ini menunjukkan satu hal yang jelas bahwa masyarakat kita belum memahami pentingnya melupakan sebagai proses alami, manusiawi, dan bahkan esensial untuk kesehatan mental dan martabat individu.
Melupakan: Kebutuhan yang Terlupakan
Melupakan sering dianggap sebagai kelemahan atau kekurangan. Dalam budaya yang memuja "mindfulness," kita diajarkan untuk sadar sepenuhnya, mengingat setiap detail, dan bahkan menggali memori lama untuk "belajar dari kesalahan." Tetapi apakah semua ingatan benar-benar perlu kita simpan? Apakah setiap kenangan, setiap potongan masa lalu, benar-benar layak untuk terus dihidupkan?
Inilah inti dari gagasan yang kami sebut Triple-F Model, sebuah kerangka kerja yang menawarkan perspektif baru tentang forgetfulness. Dalam model ini, melupakan tidak hanya dilihat sebagai sesuatu yang pasif atau kebetulan, tetapi sebagai kemampuan yang aktif, disengaja, dan dapat dikelola baik secara individu maupun kolektif. Model ini mencakup tiga dimensi utama:
1. Adaptive Forgetfulness yaitu melupakan sebagai mekanisme alami otak untuk fokus pada hal yang penting.
2. Intentional Forgetfulness dimana melupakan sebagai pilihan sadar untuk membiarkan masa lalu berlalu.
3. Systemic Forgetfulness yang menekankan tindakan melupakan sebagai langkah kolektif dalam menciptakan ruang sosial yang lebih manusiawi.
Kasus Artis dan Hak untuk Dilupakan
Kasus-kasus seperti artis yang berhijab atau Luna Maya menunjukkan betapa sulitnya dilupakan di dunia modern, terutama ketika masa lalu seseorang telah menjadi konsumsi publik. Ketika seorang selebritas memutuskan untuk berhijab, misalnya, ia sering dihadapkan pada publik yang terus-menerus menggali foto-foto atau video lama, seolah-olah identitas masa lalunya lebih relevan daripada perjalanan spiritualnya saat ini.
Demikian pula, kasus Luna Maya menunjukkan bagaimana jejak digital bisa menjadi alat untuk memperpanjang trauma. Meski Luna telah melanjutkan hidupnya dan membangun karier yang sukses, video lama itu terus muncul di percakapan publik, melukai privasinya dan menolak memberinya hak untuk dilupakan.