Pecel Lele, Matematika, dan Rahasia Semesta
Malam itu dingin setelah hujan. Jalanan basah memantulkan cahaya lampu-lampu kota. Selesai Sholat Isya berjamaah di Masjid kampus di Jatinangor, saya dan tiga sahabat kuliah mampir ke warung tenda pecel lele di pinggir jalan.
Ketika masuk ke warung tenda itu, kami disambut senyum segar Mas Penjual Pecel Lele.
"Pesan apa nih, Aa-Aa?" sapanya ramah.
"Saya Ayam!," kata Isep dengan percaya diri.
Saya langsung menimpali, "Hah... Loe ayam, gue kira alien!"
Kami ngakak bareng, termasuk Mas Pecel yang sampai geleng-geleng kepala.
"Maksudnya, saya pesan pecel ayam," kata Isep sambil nyengir.
Setelah Isep selesai, giliran Usep yang angkat suara. "Kalau saya pecel tempe, Mas. Tapi sambelnya ekstra ya, saya butuh energi buat nangkep alien kayak Isep."
Atep menyusul dengan nada serius yang sok bijak, "Saya pecel telur, Mas. Soalnya hidup ini butuh protein dan keseimbangan."
Semua langsung menoleh ke saya. "Nah, kalau loe, Sep? Jangan bilang loe pesan aneh-aneh lagi."
Saya tersenyum dan menjawab mantap, "Pecel ayam, tanpa sambel pecel."
Suasana langsung hening. Mas Pecel terdiam sejenak, lalu mengerutkan kening. "Aa, serius? Mahasiswa biasanya ngincer sambelnya, kok malah gak pake sambel?"
"Gue gak suka pedes, Mas," jawab saya santai.
Usep gak tahan untuk menimpali, "Sep, loe tuh seperti fisika tanpa matematika. Ada, tapi gak lengkap."
Kami semua tertawa, sementara Mas Pecel hanya tersenyum kecil, mungkin masih bingung kenapa ada orang aneh seperti saya.
Saat kami sedang asyik makan, Atep tiba-tiba meletakkan sendoknya, menatap saya dengan serius, lalu bertanya, "Sep, gue penasaran deh. Lo itu kuliah di ekonomi manajemen. Tapi kenapa lo masih aja belajar matematika dan fisika? Apa asyiknya sih?"
Usep menyambung, "Iya, Sep. Kalau kita belajar itu kan buat nilai, buat lulus. Loe belajar itu buat apa?"
Isep yang dari tadi sibuk menyeruput teh tawar juga ikut nimbrung, "Kayaknya lo tuh belajar itu karena lo emang aneh, Sep."
Saya tertawa. "Biar gue jawab ya," kata saya sambil mengatur posisi duduk.
Kisah di Balik Pelajaran Matematika dan Fisika
"Sederhana, Bro. Karena fisika adalah ilmu tentang gerak. Kalau kita peka terhadap gerak, kita gak cuma bisa memahami bagaimana apel jatuh atau bagaimana bulan mengorbit bumi. Kita juga bisa memahami pergerakan yang lebih besar, misalnya, transformasi energi, distribusi informasi, bahkan perubahan sosial. Fisika membuat gue lebih peka terhadap ritme kehidupan."
Saya menatap mereka satu per satu, memastikan mereka mendengarkan.
"Sedangkan matematika, itu soal persamaan dan ketidakseimbangan. Dengan matematika, gue jadi peka terhadap ketidakadilan. Kalau ada sesuatu yang gak logis atau gak seimbang, gue langsung sadar. Contohnya, ketika loe bayar lebih banyak daripada yang loe dapatkan. Itu bukan cuma soal angka, tapi soal prinsip."
"Dan yang paling seru," saya melanjutkan, "adalah momen-momen ketika Allah membukakan hidden variable. Seperti waktu Archimedes berteriak 'Eureka!' di bak mandi, Newton menemukan gravitasi karena apel jatuh, atau Alexander Fleming secara gak sengaja menemukan penisilin."
Forrest Gump dan Momen "Eureka"
"Loe pernah nonton Forrest Gump?" saya bertanya.
Atep mengangguk, "Iya, terus?"
"Forrest awalnya dipandang sebelah mata, kan? Dia punya masalah fisik, pakai alat bantu di kakinya. Tapi suatu hari, dia sadar dia bisa berlari. Dan dari situ, hidupnya berubah total. Itu momen 'aha'. Kita semua punya momen kayak gitu. Ketika loe menemukan sesuatu yang mengubah cara loe melihat dunia."
"Kayak Newton waktu apel jatuh?" tanya Usep.
"Exactly!" saya menjawab. "Newton udah lama lihat apel jatuh, tapi suatu hari dia sadar: kenapa apel selalu jatuh ke bawah, bukan ke samping? Dari situ dia menemukan hukum gravitasi. Archimedes juga gitu. Dia udah sering mandi, tapi baru suatu hari dia sadar air yang meluap bisa dihubungkan dengan volume benda."
Manfaat Belajar Matematika dan Fisika
"Loe tahu, Bro," saya melanjutkan, "matematika dan fisika itu kayak lampu senter di tengah gelap. Loe gak cuma melihat apa yang ada di depan, tapi juga pola-pola tersembunyi di baliknya."
Isep tertawa. "Lampu senter? Jangan-jangan loe sok jadi detektif, Sep."
"Ya, bisa dibilang begitu. Fisika itu alat untuk memahami hukum-hukum alam, dan matematika adalah bahasa yang digunakan untuk menuliskan hukum-hukum itu. Einstein pernah bilang, 'Pure mathematics is, in its way, the poetry of logical ideas.' Keren, kan?"
Menyentuh Rahasia Semesta
"Loe tahu gak," saya menambahkan, "matematika itu kayak puzzle besar. Setiap kali kita memahami satu bagian, kita menambahkan keping ke gambar besar semesta. Dan fisika adalah peta jalan untuk menemukan keping-keping itu. Bayangin, tanpa dua hal itu, kita gak akan punya internet, satelit, atau bahkan warung pecel ini."
Atep mengangguk. "Lalu, apa yang loe cari, Sep?"
Saya tersenyum. "Gue cuma mau memahami lebih banyak tentang dunia ini. Siapa tahu, di perjalanan gue, Allah ngasih gue satu 'kepingan' baru. Satu 'aha moment' yang bikin gue bisa berkontribusi, walaupun kecil."
Sambel Pecel dan Misi Hidup
Kami selesai makan. Saat pedagang pecel menyiapkan teh hangat terakhir, Uses tiba-tiba berkata, "Loe unik, Sep. Belajar fisika dan matematika buat memahami semesta, tapi makan pecel malah gak pake sambel pecel."
Saya tertawa. "Hidup itu kayak sambel, Ses. Gak semua orang cocok dengan pedesnya. Tapi, kalau loe ngerti bumbu-bumbu yang bikin sambel itu, loe bisa bikin rasa yang pas buat diri loe."
Kami tertawa bersama. Tapi malam itu, saya tahu, kami semua pulang dengan pikiran yang lebih dalam tentang pentingnya belajar---bukan hanya untuk nilai, tapi untuk menyentuh rahasia-rahasia semesta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H