Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Ketika AI Mendominasi Kreativitas, Mungkinkah Manusia Menggugat Haknya yang Dicuri?

30 November 2024   06:47 Diperbarui: 30 November 2024   07:55 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Pencipta atau Penonton? Ketika AI Mendominasi Kreativitas, Mungkinkah Manusia Menggugat Haknya yang Dicuri?

Artikel sini sya tulis sebagai curhat atas kegelisahan terhadap pertanyaan reflektif saya sendiri, "Jika saya menulis artikel hasil kolaborasi dengan AI, dapatkah saya mengklaim itu sepenuhnya sebagai karya saya?", dan "Dapatkah orang-orang mendeskreditkan karya itu walaupun itu adalah karya yang bagus dalam banyak segi?", serta "Apakah kemudian karya itu menjadi publik properti sehingga siapapun boleh memanfaatkannya tanpa izin saya", juga "Jika karya itu bernilai ekonomis, apakah saya berhak sepenuhnya atas imbalannya.".

Mari kita mulai dialektika batin ini dengan sebuah analogi.

Sebuah Perjalanan Pulang yang Menggugah Pertanyaan

Setelah lelah bekerja seharian, saya memutuskan berjalan kaki sejauh 24 kilometer ke rumah. Perjalanan ini membutuhkan waktu enam jam, menguras tenaga, tetapi memuaskan karena saya merasa hasilnya adalah sepenuhnya usaha saya sendiri. Kini bandingkan, perjalanan yang sama, tetapi kali ini saya menggunakan kendaraan dan hanya membutuhkan setengah jam. Ketika sampai di rumah, pertanyaan muncul, apakah hasilnya tetap milik saya sepenuhnya, atau alat yang membantu saya ikut berkontribusi?

Pertanyaan sederhana ini membuka pintu ke masalah yang jauh lebih besar: Apa yang sebenarnya dapat kita klaim sebagai hasil kerja kita, terutama ketika teknologi seperti AI semakin mengambil alih proses kreatif? Mari kita eksplorasi pertanyaan ini lebih dalam, dimulai dari sejarah, sains, hingga filsafat.

Facebook dan Dialektika Karya dalam Dunia Teknologi

Kisah pendirian Facebook menjadi ilustrasi menarik tentang nilai kerja dan kontribusi. Eduardo Saverin adalah co-founder yang berkontribusi dalam pembiayaan awal, tetapi perannya terpinggirkan ketika Mark Zuckerberg, bersama Sean Parker dan investor lainnya seperti Peter Thiel, mempercepat pertumbuhan Facebook sebagai raksasa teknologi.

Saverin mungkin merasa bahwa usahanya yang minim tetap berkontribusi pada karya besar itu. Namun, siapa yang sebenarnya memiliki Facebook: mereka yang memberikan visi awal, mereka yang membangun teknologinya, mereka yang membiayai di awal, atau yang mengakselerasinya?

Kasus ini membawa kita pada pertanyaan yang sama di era AI yaitu jika AI menciptakan sesuatu, tetapi manusia memberikan arahan awal, siapa pemilik sebenarnya dari karya tersebut?

Nobel Fisika 2024 dan Struktur Protein oleh DeepMind

Ketika tim DeepMind menggunakan AI untuk memecahkan struktur protein yang rumit, mereka membuka jalan bagi terobosan besar dalam biologi molekuler. Hadiah Nobel Fisika 2024 pun dianugerahkan kepada penemuan ini. Namun, siapa yang sebenarnya layak mendapat penghargaan?

Apakah manusia yang merancang dan melatih AI tersebut? atau AI itu sendiri, yang bekerja hampir tanpa campur tangan manusia?

Kasus ini menunjukkan bahwa peran manusia dalam sains mungkin semakin tergeser dari kreator menjadi fasilitator. Apakah ini berarti manusia kehilangan nilai dalam proses penciptaan, atau justru menemukan peran baru dalam memberi makna pada hasil teknologi?

Dialektika Filsafat Kerja dan Teknologi

Masalah-masalah dan pertanyaan-pertanyaan dialektika ini sudah dibahas oleh sejumlah filsuf terkemuka, tapi menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru yang membawa proses dialektika yang lebih maju.

Karl Marx: Alienasi di Era AI

Menurut Marx, teknologi yang terlalu maju dapat menyebabkan alienasi, di mana manusia merasa terpisah dari hasil kerja mereka. Di era AI, ini semakin relevan. Jika AI melakukan proses kreatif, apakah manusia masih merasa bahwa karya tersebut benar-benar milik mereka?

Hannah Arendt: Kerja, Karya, dan Aksi

Arendt membedakan antara labour, work, dan action. AI mengaburkan batas antara labour dan work dengan mengambil alih proses kreatif. Namun, manusia tetap memiliki peran dalam action: memberi arah, nilai, dan visi. Dalam konteks ini, kontribusi manusia tidak hilang, tetapi berubah bentuk.

Martin Heidegger: Pertanyaan tentang Teknologi

Heidegger memperingatkan bahwa teknologi bisa membuat manusia melihat dunia hanya sebagai sumber daya. Dalam hubungan dengan AI, kita perlu bertanya: Apakah kita menggunakan AI sebagai alat untuk memperkaya pemahaman, ataukah AI menjadi entitas yang mendominasi kita?

Bernard Stiegler: Teknologi dan Individuasi

Stiegler melihat teknologi sebagai alat individuasi manusia. Namun, jika AI menciptakan teori dan karya secara mandiri, manusia mungkin kehilangan kendali atas individuasi tersebut. Bagaimana manusia bisa tetap menjadi subjek kreatif di tengah dominasi AI?

Luciano Floridi: AI sebagai Agen Moral Parsial

Floridi menyoroti bahwa AI memiliki bentuk agensi moral, meski terbatas. Ini berarti bahwa hasil karya AI tidak sepenuhnya bisa dianggap sebagai hasil manusia, tetapi juga bukan milik AI sepenuhnya. Kolaborasi antara manusia dan AI memerlukan sistem penghargaan baru yang adil.

Yuk Hui: Kosmoteknologi

Hui menekankan bahwa teknologi tidak netral, tetapi dipengaruhi nilai-nilai manusia. Jika AI menciptakan sesuatu, hasilnya mencerminkan bukan hanya algoritma, tetapi juga nilai-nilai yang manusia tanamkan di dalamnya.

Nick Bostrom: Superintelligence dan Masa Depan Kreativitas

Jika AI suatu hari mencapai superintelligence, manusia harus menghadapi kenyataan bahwa kreativitas bisa menjadi monopoli mesin. Dalam skenario ini, manusia perlu mendefinisikan ulang apa artinya menjadi kreator dan siapa yang layak mendapatkan penghargaan.

Perjalanan kita dari berjalan kaki, kisah Facebook, hingga penemuan struktur protein membawa kita pada pertanyaan inti, Apa artinya menjadi kreator di era AI? Apakah nilai kerja manusia akan hilang, atau justru berubah?

Proses Dialektika

Kerja telah lama dimaknai sebagai manifestasi usaha manusia yang nyata dan langsung. Dalam pandangan tradisional, nilai kerja terletak pada sejauh mana individu melibatkan tenaga fisik dan mental mereka dalam menyelesaikan suatu tugas. Ketika seseorang berjalan kaki sejauh 24 km untuk pulang, setiap langkah mencerminkan usaha dan pengorbanan personal. Hasil akhirnya, yaitu sampai di rumah, menjadi simbol dari nilai intrinsik kerja yang dilakukan sepenuhnya oleh tubuh dan pikiran manusia tanpa bantuan eksternal. Dalam konteks ini, kerja dipandang sebagai proses yang otentik karena keterlibatan manusia bersifat total. Maka, semakin besar usaha manual yang dikeluarkan, semakin besar pula nilai moral dan esensial dari kerja itu.

Namun, dalam dunia modern, kerja tidak lagi sekadar dinilai dari usaha manual, tetapi juga dari efisiensi, kinerja, dan hasil output yang dicapai. Ketika seseorang menggunakan kendaraan untuk pulang dalam waktu setengah jam, mereka memanfaatkan teknologi sebagai alat bantu yang mempercepat pencapaian tujuan. Teknologi, menurut pandangan ini, bukanlah lawan dari kerja, tetapi perpanjangan dari kemampuan manusia untuk mengelola waktu dan sumber daya secara lebih efektif.

Dalam kerangka Marx, alat produksi adalah manifestasi kecerdasan kolektif manusia yang memungkinkan transformasi dunia dengan cara yang lebih efisien. Maka, kerja yang melibatkan teknologi tidak kehilangan nilainya, melainkan menunjukkan bagaimana manusia mampu melampaui keterbatasan biologis mereka dan mendefinisikan ulang cara mencapai hasil.

Rekonsiliasi dari kedua pandangan ini mengarah pada pemahaman baru bahwa nilai kerja tidak hanya bergantung pada usaha manual atau efisiensi semata, melainkan pada interaksi manusia dengan alat dan tujuan akhir kerja tersebut.

Martin Heidegger mengajarkan bahwa alat bukan sekadar objek mati, tetapi bagian dari "dunia" manusia yang membantu mereka mencapai tujuan. Ketika seseorang menggunakan kendaraan, alat tersebut menjadi perpanjangan dari kemampuan mereka untuk bergerak lebih cepat, memungkinkan pencapaian tujuan dengan cara yang lebih bijaksana.

Sebaliknya, jika berjalan kaki memberikan makna tertentu—seperti refleksi diri atau keterhubungan dengan lingkungan, maka kerja itu memiliki nilai unik yang tidak dapat dibandingkan dengan efisiensi semata.

Dalam sintesis ini, kerja manusia berkembang dari sekadar usaha fisik menuju pengelolaan intelektual, spiritual, dan kreatif.

Alat dan teknologi tidak mengurangi nilai kerja, tetapi memperkaya cara manusia memaknai usaha mereka, selama alat tersebut digunakan sebagai sarana untuk mendukung tujuan yang bermakna.

Dialektika ini menunjukkan bahwa nilai kerja tidak hilang, melainkan berubah dan berkembang sesuai dengan interaksi manusia dengan dunia di sekitarnya.

Teknologi AI telah membuka jalan baru dalam kreativitas, tetapi juga menantang kita untuk memikirkan ulang konsep kepemilikan intelektual. Siapa yang berhak mendapatkan penghargaan atas karya yang dihasilkan oleh AI? Manusia? Perusahaan yang mengoperasikan AI? Atau AI itu sendiri?

Renungan untuk Masa Depan

Dunia sedang memasuki era di mana manusia dan AI bekerja berdampingan, bahkan mungkin bersaing dalam menciptakan karya. Pertanyaan terakhir yang saya tinggalkan untuk Anda, "Apakah kita siap menciptakan sistem baru untuk mengakui kredit intelektual AI di era kolaborasi manusia dan AI, ataukah kita akan tetap terjebak dalam paradigma lama yang tidak lagi relevan?

Silakan renungkan, karena pertanyaan ini tidak hanya tentang AI, tetapi tentang apa artinya menjadi manusia di tengah revolusi teknologi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun