Namun, dalam dunia modern, kerja tidak lagi sekadar dinilai dari usaha manual, tetapi juga dari efisiensi, kinerja, dan hasil output yang dicapai. Ketika seseorang menggunakan kendaraan untuk pulang dalam waktu setengah jam, mereka memanfaatkan teknologi sebagai alat bantu yang mempercepat pencapaian tujuan. Teknologi, menurut pandangan ini, bukanlah lawan dari kerja, tetapi perpanjangan dari kemampuan manusia untuk mengelola waktu dan sumber daya secara lebih efektif.
Dalam kerangka Marx, alat produksi adalah manifestasi kecerdasan kolektif manusia yang memungkinkan transformasi dunia dengan cara yang lebih efisien. Maka, kerja yang melibatkan teknologi tidak kehilangan nilainya, melainkan menunjukkan bagaimana manusia mampu melampaui keterbatasan biologis mereka dan mendefinisikan ulang cara mencapai hasil.
Rekonsiliasi dari kedua pandangan ini mengarah pada pemahaman baru bahwa nilai kerja tidak hanya bergantung pada usaha manual atau efisiensi semata, melainkan pada interaksi manusia dengan alat dan tujuan akhir kerja tersebut.
Martin Heidegger mengajarkan bahwa alat bukan sekadar objek mati, tetapi bagian dari "dunia" manusia yang membantu mereka mencapai tujuan. Ketika seseorang menggunakan kendaraan, alat tersebut menjadi perpanjangan dari kemampuan mereka untuk bergerak lebih cepat, memungkinkan pencapaian tujuan dengan cara yang lebih bijaksana.
Sebaliknya, jika berjalan kaki memberikan makna tertentu—seperti refleksi diri atau keterhubungan dengan lingkungan, maka kerja itu memiliki nilai unik yang tidak dapat dibandingkan dengan efisiensi semata.
Dalam sintesis ini, kerja manusia berkembang dari sekadar usaha fisik menuju pengelolaan intelektual, spiritual, dan kreatif.
Alat dan teknologi tidak mengurangi nilai kerja, tetapi memperkaya cara manusia memaknai usaha mereka, selama alat tersebut digunakan sebagai sarana untuk mendukung tujuan yang bermakna.
Dialektika ini menunjukkan bahwa nilai kerja tidak hilang, melainkan berubah dan berkembang sesuai dengan interaksi manusia dengan dunia di sekitarnya.
Teknologi AI telah membuka jalan baru dalam kreativitas, tetapi juga menantang kita untuk memikirkan ulang konsep kepemilikan intelektual. Siapa yang berhak mendapatkan penghargaan atas karya yang dihasilkan oleh AI? Manusia? Perusahaan yang mengoperasikan AI? Atau AI itu sendiri?
Renungan untuk Masa Depan
Dunia sedang memasuki era di mana manusia dan AI bekerja berdampingan, bahkan mungkin bersaing dalam menciptakan karya. Pertanyaan terakhir yang saya tinggalkan untuk Anda, "Apakah kita siap menciptakan sistem baru untuk mengakui kredit intelektual AI di era kolaborasi manusia dan AI, ataukah kita akan tetap terjebak dalam paradigma lama yang tidak lagi relevan?