Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Ketika AI Mendominasi Kreativitas, Mungkinkah Manusia Menggugat Haknya yang Dicuri?

30 November 2024   06:47 Diperbarui: 30 November 2024   07:55 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Namun, dalam dunia modern, kerja tidak lagi sekadar dinilai dari usaha manual, tetapi juga dari efisiensi, kinerja, dan hasil output yang dicapai. Ketika seseorang menggunakan kendaraan untuk pulang dalam waktu setengah jam, mereka memanfaatkan teknologi sebagai alat bantu yang mempercepat pencapaian tujuan. Teknologi, menurut pandangan ini, bukanlah lawan dari kerja, tetapi perpanjangan dari kemampuan manusia untuk mengelola waktu dan sumber daya secara lebih efektif.

Dalam kerangka Marx, alat produksi adalah manifestasi kecerdasan kolektif manusia yang memungkinkan transformasi dunia dengan cara yang lebih efisien. Maka, kerja yang melibatkan teknologi tidak kehilangan nilainya, melainkan menunjukkan bagaimana manusia mampu melampaui keterbatasan biologis mereka dan mendefinisikan ulang cara mencapai hasil.

Rekonsiliasi dari kedua pandangan ini mengarah pada pemahaman baru bahwa nilai kerja tidak hanya bergantung pada usaha manual atau efisiensi semata, melainkan pada interaksi manusia dengan alat dan tujuan akhir kerja tersebut.

Martin Heidegger mengajarkan bahwa alat bukan sekadar objek mati, tetapi bagian dari "dunia" manusia yang membantu mereka mencapai tujuan. Ketika seseorang menggunakan kendaraan, alat tersebut menjadi perpanjangan dari kemampuan mereka untuk bergerak lebih cepat, memungkinkan pencapaian tujuan dengan cara yang lebih bijaksana.

Sebaliknya, jika berjalan kaki memberikan makna tertentu—seperti refleksi diri atau keterhubungan dengan lingkungan, maka kerja itu memiliki nilai unik yang tidak dapat dibandingkan dengan efisiensi semata.

Dalam sintesis ini, kerja manusia berkembang dari sekadar usaha fisik menuju pengelolaan intelektual, spiritual, dan kreatif.

Alat dan teknologi tidak mengurangi nilai kerja, tetapi memperkaya cara manusia memaknai usaha mereka, selama alat tersebut digunakan sebagai sarana untuk mendukung tujuan yang bermakna.

Dialektika ini menunjukkan bahwa nilai kerja tidak hilang, melainkan berubah dan berkembang sesuai dengan interaksi manusia dengan dunia di sekitarnya.

Teknologi AI telah membuka jalan baru dalam kreativitas, tetapi juga menantang kita untuk memikirkan ulang konsep kepemilikan intelektual. Siapa yang berhak mendapatkan penghargaan atas karya yang dihasilkan oleh AI? Manusia? Perusahaan yang mengoperasikan AI? Atau AI itu sendiri?

Renungan untuk Masa Depan

Dunia sedang memasuki era di mana manusia dan AI bekerja berdampingan, bahkan mungkin bersaing dalam menciptakan karya. Pertanyaan terakhir yang saya tinggalkan untuk Anda, "Apakah kita siap menciptakan sistem baru untuk mengakui kredit intelektual AI di era kolaborasi manusia dan AI, ataukah kita akan tetap terjebak dalam paradigma lama yang tidak lagi relevan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun