Ketika tim DeepMind menggunakan AI untuk memecahkan struktur protein yang rumit, mereka membuka jalan bagi terobosan besar dalam biologi molekuler. Hadiah Nobel Fisika 2024 pun dianugerahkan kepada penemuan ini. Namun, siapa yang sebenarnya layak mendapat penghargaan?
Apakah manusia yang merancang dan melatih AI tersebut? atau AI itu sendiri, yang bekerja hampir tanpa campur tangan manusia?
Kasus ini menunjukkan bahwa peran manusia dalam sains mungkin semakin tergeser dari kreator menjadi fasilitator. Apakah ini berarti manusia kehilangan nilai dalam proses penciptaan, atau justru menemukan peran baru dalam memberi makna pada hasil teknologi?
Dialektika Filsafat Kerja dan Teknologi
Masalah-masalah dan pertanyaan-pertanyaan dialektika ini sudah dibahas oleh sejumlah filsuf terkemuka, tapi menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru yang membawa proses dialektika yang lebih maju.
Karl Marx: Alienasi di Era AI
Menurut Marx, teknologi yang terlalu maju dapat menyebabkan alienasi, di mana manusia merasa terpisah dari hasil kerja mereka. Di era AI, ini semakin relevan. Jika AI melakukan proses kreatif, apakah manusia masih merasa bahwa karya tersebut benar-benar milik mereka?
Hannah Arendt: Kerja, Karya, dan Aksi
Arendt membedakan antara labour, work, dan action. AI mengaburkan batas antara labour dan work dengan mengambil alih proses kreatif. Namun, manusia tetap memiliki peran dalam action: memberi arah, nilai, dan visi. Dalam konteks ini, kontribusi manusia tidak hilang, tetapi berubah bentuk.
Martin Heidegger: Pertanyaan tentang Teknologi
Heidegger memperingatkan bahwa teknologi bisa membuat manusia melihat dunia hanya sebagai sumber daya. Dalam hubungan dengan AI, kita perlu bertanya: Apakah kita menggunakan AI sebagai alat untuk memperkaya pemahaman, ataukah AI menjadi entitas yang mendominasi kita?