Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Menyelamatkan Rawa Demokrasi dari Buaya Politik

27 November 2024   08:08 Diperbarui: 27 November 2024   08:29 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Malam tadi saya duduk santai di Angkringan di depan gerbang kompleks, ngopi sambil ngobrol-ngobrol ringan soal Pilkada Serempak 2024 besok. Ada yang cerita, "Wah, gue cuma dapet seratus ribu buat nyoblos besok." Lalu yang satu lagi nimpalin, "Ah, gue mah golput aja, udah males liat politik gitu-gitu aja." Terus, ada yang bilang, "Gue malah bingung, kenapa suara gue bisa hilang dari DPT kali ini ya?" 

Nah, di situlah saya jadi mulai nyadar, bahwa dalam dunia politik Indonesia, ada tiga fenomena yang semakin menggelisahkan kita sebagai warga negara yaitu jual suara, kehilangan suara, dan golput. Semua itu seolah meracuni rawa demokrasi kita, yang seharusnya subur dengan partisipasi dan kepercayaan rakyat.

Jual Suara

Seorang teman saya ngomong begini tadi malam. Duit itu lebih asyik dari dangdut paling asyik sekalipun di acara Kampanye Pilkada manapun. Terlebih jika selama ini gue ngeliat banyak calon bisa tiba-tiba amnesia dari janji-janji kampanyenya ketika sudah menang jadi Kepala Daerah. Kita selama ini di-php-in terus.

Daripada kita jadi korban php terus mending kita mentain duit deh ke mereka masing-masing para calon yang ada. Siapa berani ngasih yang paling gede, itulah yang kita pilih. Bisa juga sih, kita kompakan dengan warga lainnya satu gang untuk minta calon buat bikin jalan aspal di gang depan rumah kita.

Ini contoh logika pembenaran bagi praktek jual suara dalam banyak pemilu termasuk Pilkada serentak kali ini. Ini bisa mencerminkan sisi lain kecerdasan politik dari masyarakat kita. Sebuah harga yang harus diterima hasil dari pembelajaran kolosal dari praktik php dari banyak calon di setiap pemilu yang kita gelar.

Tapi apa yang terjadi jika praktik ini diteruskan dan diterima sebagai konsensus politik masyarakat? Bisa boncos dan berabe, Bro. Masyarakat yang seharusnya diberi kebebasan untuk memilih sesuai dengan hati nurani, malah terjebak dalam peran sebagai konsumen politik. Mereka menjual suara mereka untuk mendapatkan imbalan langsung, entah itu uang, barang, atau fasilitas kecil lainnya.

Kalau kita bicara dalam konteks game theory, ini adalah strategi dominan bagi banyak orang. Kenapa? Karena mendapatkan imbalan instan jauh lebih menarik daripada mempertaruhkan suara mereka untuk calon yang belum tentu memenuhi janjinya. Duit lebih asyik dari dangdut paling asyik sekalipun, seperti kata teman saya di awal tadi.

Tapi yang lebih parah lagi adalah bahwa praktik jual suara ini mengikis kualitas demokrasi. Seolah-olah, pemilu bukan lagi soal memilih pemimpin yang baik, tetapi siapa yang bisa memberikan lebih banyak "hadiah". Kita ini jadi seperti buaya yang menjual sendiri kulit kita ke pabrik tas.

Kehilangan Suara - Hak Pilih yang Terkikis

Lalu ada yang lebih mengkhawatirkan, yaitu kehilangan suara. Ini bukan soal suara yang hilang karena lupa memilih atau bablas ketiduran seharian akibat begadang ngobrol sambil ngopi tadi malam sampe nggak datang ke TPS, tapi lebih ke arah yang lebih suram yaitu suara yang dicurangi. Misalnya, ketika suara kita dicurangi dalam penghitungan, sehingga akhirnya hasil pemilu jauh dari harapan. Inilah yang disebut dengan kehilangan suara. Atau manuver parpol sehingga calon yang kita dambakan tidak bisa maju ke Pilkada, akibatnya calon yang tersedia tidak mencerminkan sikap politik kita yang sebenarnya.

Pada Pilkada Serempak 2024 ini, fenomena kehilangan suara juga semakin nyata. Banyak warga yang tiba-tiba tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), meskipun pada pemilu sebelumnya mereka sudah terdaftar. Ada yang merasa sudah memenuhi syarat untuk memilih, tapi begitu datang ke TPS, ternyata namanya tidak ada dalam daftar. Mungkin karena kesalahan administratif, atau bisa jadi karena mereka tidak mendapat undangan memilih. Tidak sedikit juga yang tidak bisa pulang kampung karena alasan tertentu, sehingga kehilangan kesempatan untuk memberikan suara.

Ini adalah salah satu contoh nyata bahwa sistem yang ada bisa dirusak oleh para pemangku kepentingan, membuat rakyat merasa tidak dihargai dan suara mereka tidak punya daya. Kehilangan suara ini juga membangkitkan kekecewaan yang lebih dalam terhadap sistem demokrasi, karena yang tadinya berharap suara mereka didengar, malah merasa jadi tak berarti apa-apa.

Golput - Lari dari Politikus atau Sistem?

Terakhir, kita punya fenomena golput, atau tidak memilih. Ini adalah bentuk protes atau kekecewaan dari rakyat yang merasa bahwa sistem politik kita sudah rusak. Kalau kita golput, artinya kita memilih untuk tidak ikut serta dalam permainan politik yang menurutmu sudah busuk. Cuma masalahnya, golput ini, meskipun bisa jadi bentuk protes, justru memperburuk keadaan. Kenapa? Karena dengan golput, kita membiarkan para buaya politik berkuasa tanpa ada lawan. Masyarakat yang golput secara tidak langsung memberikan kekuasaan penuh kepada mereka yang tidak layak memimpin.

Namun, di sisi lain, golput juga mencerminkan kehilangan harapan. Ketika orang merasa bahwa semua calon politik sama saja, bahwa semua janji itu kosong, golput menjadi satu-satunya pilihan. Ini adalah tanda kegagalan sistem yang tidak bisa menyediakan alternatif yang baik.

Kekecewaan Rakyat: Antara Harapan dan Kenyataan

Ketiga fenomena ini yaitu jual suara, kehilangan suara, dan golput adalah tanda kekecewaan mendalam dari masyarakat terhadap politik dan demokrasi kita. Masyarakat yang dulu mungkin penuh harapan, kini merasa seolah-olah mereka hanya dipandang sebagai komoditas politik. Seperti kata pepatah, "Di dunia politik, suara rakyat itu bisa dibeli dengan harga murah, asal ada duit."

Politik yang seharusnya menjadi alat untuk mewujudkan perubahan justru berubah menjadi pasar gelap. Bukannya mencari solusi untuk masalah rakyat, politisi malah sibuk mengatur strategi untuk memenangkan pemilu dengan cara-cara yang jauh dari prinsip-prinsip demokrasi.

Pemain yang Tak Pernah Menang

Mari kita coba analisis fenomena ini dengan game theory. Dalam permainan ini, ada dua pemain utama: rakyat dan politikus. Rakyat punya pilihan untuk menjual suara, golput, atau memilih rasional sesuai dengan visi dan misi yang mereka yakini. Politikus, di sisi lain, punya opsi untuk membeli suara dengan uang atau janji, atau menjaga integritas mereka dengan menjalankan kampanye yang bersih.

Permasalahannya adalah, jika semua orang memilih untuk menjual suara, maka politik uang menjadi strategi dominan. Politikus yang membeli suara akan lebih mudah memenangkan pemilu, sementara rakyat hanya memikirkan keuntungan jangka pendek. Namun, jika sebagian besar orang golput, maka demokrasi kita akan kehilangan substansinya karena keputusan politik akan diambil tanpa partisipasi mayoritas rakyat.

Ini adalah Prisoner's Dilemma yang mana dalam sistem ini bisa terjadi posisi saling merugikan jika semua pihak memilih untuk bertindak demi kepentingan pribadi tanpa memperhatikan jangka panjang. Game theory menunjukkan bahwa jika politisi terus bermain dengan politik uang dan rakyat hanya mengejar keuntungan jangka pendek, maka kita semua akan kehilangan dan demokrasi kita akan menjadi sistem yang rusak.

Teori Ibnu Khaldun: Kehilangan 'Asabiyyah dan Solidaritas Sosial

Menurut Ibnu Khaldun, dalam peradaban yang berkembang, masyarakat harus memiliki 'asabiyyah, yaitu solidaritas sosial yang kuat. Ketika solidaritas ini hilang, maka peradaban mulai runtuh. Dalam konteks ini, jual suara, kehilangan suara, dan golput adalah tanda bahwa 'asabiyyah dalam masyarakat kita sedang melemah. Politisi yang tidak lagi peduli dengan rakyat, serta masyarakat yang memilih untuk tidak berpartisipasi atau menjual suara mereka, menunjukkan ketidakpedulian terhadap nilai-nilai bersama. Akibatnya, kita memasuki fase kemunduran sosial dan politik.

Teori Toynbee: Gagal Merespons Tantangan

Arnold Toynbee dalam teorinya tentang peradaban juga mengingatkan bahwa ketika sebuah masyarakat tidak mampu merespons tantangan dengan cara yang kreatif, maka peradaban tersebut akan menuju kehancuran. Fenomena jual suara, kehilangan suara, dan golput adalah tantangan besar bagi demokrasi kita. Jika elite politik hanya merespons dengan politik uang, dan masyarakat memilih untuk menghindar atau tidak peduli, maka kita akan melihat peradaban demokrasi kita mengalami kemunduran.

Rawa Demokrasi yang Kering

Nah, jika kita terus membiarkan praktik politik yang buruk menjadi kebiasaan dan tuman  seperti halnya jual suara, kehilangan suara, dan golput menguasai medan, rawa demokrasi kita akan kering, dan yang tersisa hanya buaya-buaya politik yang terus menggerogoti tanah subur itu.

Jika kita tidak mulai bangkit dan mengambil tindakan, maka kita akan terus terjebak dalam lingkaran setan ini. Tidak ada yang akan berubah kecuali kita sendiri yang memilih untuk berubah. Jangan biarkan rawa demokrasi ini jadi kuburan bagi masa depan kita!

Jika kita biarkan buaya politik berkuasa, kita akan semakin jauh dari demokrasi yang sejati. Waktu untuk bertindak adalah sekarang, bukan besok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun