Pada Pilkada Serempak 2024 ini, fenomena kehilangan suara juga semakin nyata. Banyak warga yang tiba-tiba tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), meskipun pada pemilu sebelumnya mereka sudah terdaftar. Ada yang merasa sudah memenuhi syarat untuk memilih, tapi begitu datang ke TPS, ternyata namanya tidak ada dalam daftar. Mungkin karena kesalahan administratif, atau bisa jadi karena mereka tidak mendapat undangan memilih. Tidak sedikit juga yang tidak bisa pulang kampung karena alasan tertentu, sehingga kehilangan kesempatan untuk memberikan suara.
Ini adalah salah satu contoh nyata bahwa sistem yang ada bisa dirusak oleh para pemangku kepentingan, membuat rakyat merasa tidak dihargai dan suara mereka tidak punya daya. Kehilangan suara ini juga membangkitkan kekecewaan yang lebih dalam terhadap sistem demokrasi, karena yang tadinya berharap suara mereka didengar, malah merasa jadi tak berarti apa-apa.
Golput - Lari dari Politikus atau Sistem?
Terakhir, kita punya fenomena golput, atau tidak memilih. Ini adalah bentuk protes atau kekecewaan dari rakyat yang merasa bahwa sistem politik kita sudah rusak. Kalau kita golput, artinya kita memilih untuk tidak ikut serta dalam permainan politik yang menurutmu sudah busuk. Cuma masalahnya, golput ini, meskipun bisa jadi bentuk protes, justru memperburuk keadaan. Kenapa? Karena dengan golput, kita membiarkan para buaya politik berkuasa tanpa ada lawan. Masyarakat yang golput secara tidak langsung memberikan kekuasaan penuh kepada mereka yang tidak layak memimpin.
Namun, di sisi lain, golput juga mencerminkan kehilangan harapan. Ketika orang merasa bahwa semua calon politik sama saja, bahwa semua janji itu kosong, golput menjadi satu-satunya pilihan. Ini adalah tanda kegagalan sistem yang tidak bisa menyediakan alternatif yang baik.
Kekecewaan Rakyat: Antara Harapan dan Kenyataan
Ketiga fenomena ini yaitu jual suara, kehilangan suara, dan golput adalah tanda kekecewaan mendalam dari masyarakat terhadap politik dan demokrasi kita. Masyarakat yang dulu mungkin penuh harapan, kini merasa seolah-olah mereka hanya dipandang sebagai komoditas politik. Seperti kata pepatah, "Di dunia politik, suara rakyat itu bisa dibeli dengan harga murah, asal ada duit."
Politik yang seharusnya menjadi alat untuk mewujudkan perubahan justru berubah menjadi pasar gelap. Bukannya mencari solusi untuk masalah rakyat, politisi malah sibuk mengatur strategi untuk memenangkan pemilu dengan cara-cara yang jauh dari prinsip-prinsip demokrasi.
Pemain yang Tak Pernah Menang
Mari kita coba analisis fenomena ini dengan game theory. Dalam permainan ini, ada dua pemain utama: rakyat dan politikus. Rakyat punya pilihan untuk menjual suara, golput, atau memilih rasional sesuai dengan visi dan misi yang mereka yakini. Politikus, di sisi lain, punya opsi untuk membeli suara dengan uang atau janji, atau menjaga integritas mereka dengan menjalankan kampanye yang bersih.
Permasalahannya adalah, jika semua orang memilih untuk menjual suara, maka politik uang menjadi strategi dominan. Politikus yang membeli suara akan lebih mudah memenangkan pemilu, sementara rakyat hanya memikirkan keuntungan jangka pendek. Namun, jika sebagian besar orang golput, maka demokrasi kita akan kehilangan substansinya karena keputusan politik akan diambil tanpa partisipasi mayoritas rakyat.