Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Dualitas Buruh sebagai Penentu Keberlanjutan AI

20 November 2024   20:46 Diperbarui: 20 November 2024   21:21 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Buruh: Dualitas Peran yang Penting dalam Permainan Besar Ekonomi

Di tengah dinamika ekonomi, buruh memainkan peran ganda yang sering kali tidak disadari sepenuhnya. Di satu sisi, mereka adalah faktor produksi---pahlawan yang menciptakan nilai melalui tenaga, keterampilan, dan inovasi mereka. 

Di sisi lain, buruh juga adalah konsumen, bagian dari pasar yang membeli produk dan jasa hasil produksi industri. Peran ganda ini menciptakan hubungan yang saling terkait antara kebutuhan industri dan daya beli masyarakat.

Namun, dualitas ini seringkali terancam oleh perkembangan teknologi yang tidak dikelola dengan bijak. Ketika otomatisasi dan AI mengambil alih banyak fungsi yang sebelumnya dilakukan oleh manusia, peran buruh sebagai faktor produksi menjadi semakin kecil. 

Dampaknya tidak hanya pada kehilangan pekerjaan, tetapi juga pada penurunan daya beli mereka sebagai konsumen. Jika daya beli buruh melemah, siapa yang akan membeli produk yang dihasilkan oleh teknologi canggih itu?

Kita telah menyaksikan banyak teknologi hebat yang gagal bertahan karena tidak diterima oleh pasar. Contoh terkenal adalah teknologi Google Glass, yang meskipun canggih, tidak mendapat sambutan hangat dari konsumen karena dianggap tidak relevan atau mahal. 

Di bidang lain, kendaraan listrik seperti Segway pernah dipasarkan dengan ambisi besar tetapi akhirnya menjadi produk yang gagal karena tidak sesuai dengan kebutuhan mayoritas masyarakat. Ini adalah pengingat kuat bahwa bahkan teknologi yang paling inovatif sekalipun akan berakhir sia-sia jika tidak direspon dengan baik oleh masyarakat---baik sebagai konsumen maupun sebagai faktor ekonomi yang mendukung keberlanjutan industri.

Jangan Sampai AI Ditolak oleh Masyarakat

Sekarang, mari kita tarik pelajaran ini ke konteks AI. Jika AI mengambil alih terlalu banyak peran buruh tanpa menciptakan peluang baru bagi mereka, maka akan muncul gelombang resistensi dari masyarakat. Buruh yang merasa kehilangan pekerjaan dan identitas ekonominya tidak hanya akan memprotes, tetapi juga bisa menolak untuk mendukung teknologi yang mereka anggap merugikan. 

Ketakutan ini sudah terlihat di beberapa negara, di mana adopsi AI mendapat tentangan besar dari kelompok-kelompok masyarakat yang khawatir akan dampak negatifnya terhadap kehidupan mereka.

Agar AI tidak berakhir seperti teknologi-teknologi yang gagal karena ditolak pasar, kita perlu menyeimbangkan kehadirannya. AI harus menjadi komplementer, bukan pengganti. Artinya, AI harus digunakan untuk meningkatkan produktivitas buruh, bukan mengeliminasi mereka. 

Misalnya, AI dapat membantu pekerja melakukan tugas-tugas yang berulang sehingga mereka bisa fokus pada pekerjaan yang lebih kreatif dan bernilai tambah. Dengan cara ini, buruh tetap relevan sebagai faktor produksi dan, pada saat yang sama, mampu menjaga daya beli mereka sebagai konsumen.

Keseimbangan Adalah Kunci

Dalam konteks ini, kebijakan dan pendekatan inovasi menjadi sangat penting. Kita harus memastikan bahwa setiap kemajuan teknologi tidak hanya mementingkan efisiensi produksi, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya terhadap pasar tenaga kerja dan daya beli masyarakat. 

Gerakan buruh dan organisasi buruh bisa memainkan peran besar di sini dengan mendorong dialog antara pekerja, pengusaha, dan pembuat kebijakan.

Jika tidak dikelola dengan hati-hati, kita bisa menghadapi paradoks besar: teknologi yang diciptakan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia justru berujung pada ketimpangan ekonomi yang lebih besar dan penolakan sosial yang meluas. 

Oleh karena itu, saat kita melangkah ke era AI, kita harus memastikan bahwa teknologi ini bekerja untuk mendukung peran ganda buruh sebagai faktor produksi dan konsumen. Dengan begitu, kita tidak hanya menciptakan teknologi yang canggih, tetapi juga menciptakan masa depan yang inklusif dan berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun