Buruh: Dualitas Peran yang Penting dalam Permainan Besar Ekonomi
Di tengah dinamika ekonomi, buruh memainkan peran ganda yang sering kali tidak disadari sepenuhnya. Di satu sisi, mereka adalah faktor produksi---pahlawan yang menciptakan nilai melalui tenaga, keterampilan, dan inovasi mereka.Â
Di sisi lain, buruh juga adalah konsumen, bagian dari pasar yang membeli produk dan jasa hasil produksi industri. Peran ganda ini menciptakan hubungan yang saling terkait antara kebutuhan industri dan daya beli masyarakat.
Namun, dualitas ini seringkali terancam oleh perkembangan teknologi yang tidak dikelola dengan bijak. Ketika otomatisasi dan AI mengambil alih banyak fungsi yang sebelumnya dilakukan oleh manusia, peran buruh sebagai faktor produksi menjadi semakin kecil.Â
Dampaknya tidak hanya pada kehilangan pekerjaan, tetapi juga pada penurunan daya beli mereka sebagai konsumen. Jika daya beli buruh melemah, siapa yang akan membeli produk yang dihasilkan oleh teknologi canggih itu?
Kita telah menyaksikan banyak teknologi hebat yang gagal bertahan karena tidak diterima oleh pasar. Contoh terkenal adalah teknologi Google Glass, yang meskipun canggih, tidak mendapat sambutan hangat dari konsumen karena dianggap tidak relevan atau mahal.Â
Di bidang lain, kendaraan listrik seperti Segway pernah dipasarkan dengan ambisi besar tetapi akhirnya menjadi produk yang gagal karena tidak sesuai dengan kebutuhan mayoritas masyarakat. Ini adalah pengingat kuat bahwa bahkan teknologi yang paling inovatif sekalipun akan berakhir sia-sia jika tidak direspon dengan baik oleh masyarakat---baik sebagai konsumen maupun sebagai faktor ekonomi yang mendukung keberlanjutan industri.
Jangan Sampai AI Ditolak oleh Masyarakat
Sekarang, mari kita tarik pelajaran ini ke konteks AI. Jika AI mengambil alih terlalu banyak peran buruh tanpa menciptakan peluang baru bagi mereka, maka akan muncul gelombang resistensi dari masyarakat. Buruh yang merasa kehilangan pekerjaan dan identitas ekonominya tidak hanya akan memprotes, tetapi juga bisa menolak untuk mendukung teknologi yang mereka anggap merugikan.Â
Ketakutan ini sudah terlihat di beberapa negara, di mana adopsi AI mendapat tentangan besar dari kelompok-kelompok masyarakat yang khawatir akan dampak negatifnya terhadap kehidupan mereka.
Agar AI tidak berakhir seperti teknologi-teknologi yang gagal karena ditolak pasar, kita perlu menyeimbangkan kehadirannya. AI harus menjadi komplementer, bukan pengganti. Artinya, AI harus digunakan untuk meningkatkan produktivitas buruh, bukan mengeliminasi mereka.Â