Tafsir Einstein Atas Al Qur'an 2 : Dilatasi Waktu Dalam Relativitas UmumÂ
Pendahuluan
Sebelum Einstein tidak pernah dikenal konsep relativitas waktu, apalagi konsep dilatasi waktu. Semua pemikir dan filsuf, bahkan Newton dan Maxwell sendiri, berasumsi bahwa waktu adalah entitas yang permanen, stabil, dan sama bagi semua entitas fisika. Terlalu berat bagi orang-orang untuk membayangkan waktu adalah entitas relatif. Tidak terpikirkan juga bahwa secara obyektif waktu mengalami perlambatan. Butuh waktu 20 abad kalender Masehi, 10 ribu tahun sejarah peradaban, dan 100 ribu tahun sejarah evolusi manusia untuk memahami waktu sebagai entitas yang relatif.Â
Eit, tidak juga sih. Sebelum Einstein ada setidaknya Heraclitus, Saint Augustine of Hippo, Â dan Muhammad SAW yang mengeluarkan pernyataan yang sering diklaim setara dengan konsep relativitas waktu dan dilatasi waktu yang kita pahami sekarang.Â
Heraclitus dan Saint Augustine memahami relativitas waktu dalam konteks platform filsafat. Heraclitus menggunakan sungai atau aliran sungai sebagai metafora konsepnya tentang waktu. Sedangkan dalam konsep Saint Augustine waktu dipandang sebagai pengalaman subyektif yang relatif. Â
Pada Heraclitus tidak kita dapati pernyataan yang spesifik mengarah kepada konsep relativitas waktu, apalagi dilatasi waktu. Konsepnya cenderung kepada pemahaman arrow of time atau time flow. Iya kita sepakat bahwa waktu itu bergulir dan mengalir seperti aliran air sungai. Konsep Heraclitus bisa tepat dipahami sebagai konsep relativitas waktu jika seperti halnya aliran sungai setiap bagian dari alirannya mungkin tidak memiliki kecepatan yang sama dan setiap elemen di dalam sungai tidak mengalami kecepatan aliran sungai yang sama.
Pemikiran Saint Augustine dapat dikatakan sebagai waktu subyektif atau waktu psikis. Di mana orang-orang dalam kondisi psikologis tertentu merasa bahwa waktu berjalan lambat. Ini pemikiran yang umum dianut oleh banyak pemikir saat itu yaitu pada abad pertengahan. Kita tidak melihat ini sebagai pemikiran original dari Saint Augustine. Al Ghazali, Al Farabi, dan Ibnu Sina pun mempunyai pendapat serupa ini. Semua pemikir ini berpendapat bahwa setiap orang merasakan pengalaman waktu dengan kecepatan berlalu secara berbeda.
Lalu bagaimana dengan konsep waktu yang dibawa oleh Muhammad?
Muhammad SAW melalui Al Qur'an telah memperkenalkan konsep relativitas waktu dan dilatasi waktu jauh lama sebelum Einstein. Beberapa ayat dalam Al Qur'an secara spesifik mengatakan bahwa waktu itu relatif tergantung kerangka acuan, gerak, kecepatan bergerak, dan dimensi semesta atau manifold. Bahkan secara terang Al Qur'an mengatakan perlambatan waktu mencapai satu hari setara dengan seribu tahun dan bahkan lima ribu tahun. Ini merupakan nilai dilatasi waktu yang tak terpikirkan oleh siapapun hingga kini. Melihat rentang waktu antara Einstein dan Muhammad ada sekitar 1.300 tahun, maka konsep waktu Muhammad sangat revolusioner. Bahkan hingga kini kita masih bertanya-tanya tentang kondisi dan mekanisme yang memungkinkan suatu dilatasi waktu mencapai perbandingan 1:365.000 dan 1:18.000.000.
Hal ini jelas berbeda dengan konsep waktu Heraclitus dan Saint Augustine, terutama karena Muhammad bahkan secara eksplisit menyatakan angka spesifik perbandingan relativitas waktu bisa mencapai sehari setara dengan seribu bahkan lima puluh ribu tahun. Berbeda dengan Heraclitus dan Augustine, apa yang mendorong relativitas waktu tersebut dijelaskan oleh Muhammad akibat dari perbedaan kerangka acuan antara Allah di langit dengan manusia di Bumi, juga akibat gerak kecepatan yang dicapai malaikat dalam perjalanan pulang pergi Bumi dan Langit. Tapi sebagai pernyataan spiritualitas, dengan fungsi utamanya untuk menanamkan pesan keagungan Tuhan, Muhammad tidak menulis itu dalam bentuk persamaan matematis.Â
Walaupun begitu, kelebihan Einstein yang tidak bisa dicapai oleh Heraclitus, Saint Augustine, maupun Muhammad adalah bisa menjelaskan konsep relativitas waktu dan dilatasi waktu dalam bahasa sains, serta membuktikannya dalam persamaan matematika. Dengan begitu, kita bisa menguji konsepnya dengan eksperimen dan observasi yang kuantitatif. Sedangkan Al Qur'an mengabarkan kedua konsep itu dalam teks spiritualitas.Â