Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ingin Sukses? Jangan Percaya Psikologi, Lupakan Malcolm Galdwell

26 April 2024   11:54 Diperbarui: 5 Agustus 2024   14:48 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membangun Teori Sukses Baru : Teori Berbasis Pasar

Teori-teori sukses yang ada saat ini, terutama yang menggunakan perspektif psikologi,  masih hanya berfokus kepada parameter kepribadian dan kebiasaan yang dibutuhkan untuk sukses, tanpa memberikan bobot yang dibutuhkan pada setiap parameter yang ada. Ketika disebutkan pada orang-orang sukses itu memiliki kemampuan adversity, tidak disebutkan berapa besar kemampuan dibutuhkannya itu? Sampai kapan kita bisa dan boleh bertahan? Apa tanda dan indikasinya kita bisa dan boleh menyerah? Kapan kita bisa mencoba cara, bidang, dan keahlian baru setelah yang kita coba selama ini selalu gagal?

Jika pun ada "teori bobot" yang sedikit relevan dengan kebutuhan praktis kita, hanya ada "teori bobot" yang terkenal sebagai teori Malcolm Galdwell yang menyatakan butuh minimal latihan selama 10.000 jam untuk bisa mencapai sukses. Perangkat yang umum digunakan orang-orang untuk itu adalah Servo Mechanism (SM), Law of Attraction (LoA), NLP, dan Affirmation.

Malcolm Galdwell pun perlu dikritisi tajam terutama tentang variabel-variabel sukses yang diuraikannya yang cenderung merupakan variabel-variabel yang tidak bisa diubah seperti tahun kelahiran, tempat lahir, kondisi ekonomi keluarga, budaya, warisan, privillage, ataupun pengaruh sistem. Semua ini menanamkan paradigma bahwa sukses adalah sebuah status quo.

Mungkin memang sulit menentukan bobot pasti untuk variabel kualitatif seperti soft skill, karakter, dan kebiasaan. Tapi ketiadaan bobot tersebut justru membuat teori-teori sukses sering kali gagal untuk prediksi hasil. Secara random saya sering bercanda mengatakan bahwa dari seribu orang yang memiliki secara lengkap parameter sukses yang disyaratkan oleh teori sukses tertentu, paling hanya satu yang benar-benar sukses. Sisanya hanya sekedar tidak termasuk golongan orang-orang yang hidupnya blangsak saja. Akhirnya, kita mempertanyakan validitas teori-teori, jika gagal memastikan hasilnya seperti itu untuk apa teori-teori sukses itu ada dan dibangun.

Jika sebuah teori tidak mampu bersifat prediktif, maka kegunaan praktisnya tidak ada. Teori seperti itu hanya asyik jadi bahan obrolan dan diskusi saja.

Jika orang-orang sukses memang memiliki karakter dan kebiasaan tertentu, apakah jika seseorang memiliki semua karakter dan kebiasaan tersebut dia bisa dipastikan sukses? Apakah benar ada kosistensi hasil sebagaimana konsistensi silogisme yang mendasari teori itu dan kesimpulannya?

Urgen sekaligus penting untuk menemukan teori sukses yang lebih menjamin konsistensi hasil. Ini agar lebih banyak orang yang sukses dengan cara yang lebih cepat dan lebih murah dengan meminimalisasi kegagalan dan proses trial dan error. Lebih asyik jika hasilnya bisa instan.

Untuk itu saya mengusulkan suatu teori sukses berbasis pasar. Teori ini harus mampu menjabarkan soft skill yang dibutuhkan pasar, hard skill yang dibutuhkan pasar, produk yang diinginkan dan dibutuhkan pasar, cara memenuhi kebutuhan pasar, dan cara memengaruhi serta memanipulasi pasar.

Setelah variabel atau parameternya ditentukan pada masing-masing kluster tersebut, maka koefisien atau bobot pada masing-masing variabel tersebut bisa lebih mudah dinilai dengan memberikan skala 1-5 atau skala 1-10 atas dasar riset dan eksperimen.

Teori sukses berbasis pasar ini melengkapi teori sukses sebelumnya yang diberi nama "Teori Tiga Pedal".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun