Seperti seratus titik yang membentuk struktur kristal sepuluh kali sepuluh, cara kita menghubungkan titik-titik yang ada akan membentuk urutan peristiwa. Urutan yang berbeda akan menghasilkan gambar besar yang berbeda. Beginilah mekanisme narasi sains kita bentuk.
Kita bisa membentuk sekian banyak narasi sains yang berbeda dari bukti dan fakta sains yang sama. Tapi tidak ada satupun yang berani mengklaim bahwa narasi yang ada itu adalah keseluruhan peristiwa yang terjadi.Â
Para saintis tidak hanya bersaing (juga berkolaborasi) mengumpulkan bukti dan fakta, tapi mereka juga bersaing membangun narasi. Dengan narasi sains yang berbeda bahkan sering saling bertentangan, para saintis saling bersaing memperebutkan pengaruh dan jumlah pengikut. Nobel dan kutipan jadi simbolnya.Â
Manusia pada puncaknya hanya sebatas membangun narasi sains saja. Sementara peristiwa yang sebenarnya tidak pernah bisa dijangkau sains. Ini karena manusia dalam aktivitas sains adalah pengamat, bukan aktor pada semua obyek sains yang ada. Manusia tidak hadir di tengah-tengah obyek sains dan tidak mengalami peristiwa dalam obyek sains.Â
Hipotesis-hipotesis hanya akan mencapai derajat tesis saja, tanpa pernah mencapai derajat kebenaran. Tesis memicu antitesis, terus mencapai sintetis. Sintesis-sintesis digabungkan membentuk sintesis tunggal, tapi semua tetap ragu tentang apakah ini kebenaran. Apakah ini peristiwa yang sebenarnya terjadi.
Sains diawali dengan ketidaktahuan, dikompori oleh keraguan, di tengah-tengahnya adalah ketidakpastian, dan diakhiri dengan ketidaktahuan juga.Â
Sains membuat manusia terengah-engah dalam gelombang badai kutub atheisme dan religiusitas. Atheisme memperalat sains untuk membuktikan Tuhan itu tidak ada. Sementara para ahli tasawuf menjadikan sains dengan sendirinya adalah eksistensi Tuhan itu sendiri yang lahir dari kuasa, kehendak, ilmu, dan kasih sayang Tuhan itu sendiri. Para ahli tasawuf mengatakan "tidaklah sesuatu itu diciptakan sia-sia" dan "tidaklah sesuatu itu hadir secara kebetulan".
Dalam perspektif tasawuf, syirik muncul sebagai antitesis dari tauhid, dia muncul lebih dulu daripada athies. Atheis muncul kemudian sebagai antitesis dari syirik. Sebagai penolakan dan perlawanan terhadap konsep ketuhanan yang tidak waras. Baru kemudian berkembang menjadi lawan dari tauhid.
Sains seringkali mengelak jika harus berhadapan dengan fenomena ajal dan kematian.
Jika kita mampu menghidupkan suatu makhluk hidup, katakanlah itu dari yang paling sederhana berupa bakteri bersel tunggal sampai yang paling kompleks seperti manusia, dari vacuum field, ataupun dari suatu reaktor kimia, atau melalui crispr dan kloning, jika entitas biologis itu mati, apakah kita mampu menghidupkannya kembali?
Jika kita memang benar berkuasa dan berkehendak untuk menghidupkan sedari awal mula dengan segala teknologi yang kita miliki, maka seharusnya menghidupkannya kembali adalah perkara mudah.