Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Masalah Employee Engagement pada Pekerjaan Berupah Rendah

26 Maret 2023   13:48 Diperbarui: 25 April 2023   09:19 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masalah Employee Engagement, Job Satisfaction, dan Customer Satisfaction Pada Pekerjaan Berupah Rendah

Ketika tingkat employee engagement tinggi, maka job satisfaction maupun customer satisfaction pun bisa diraih. Pencapaian ini biasanya ada dan mudah dicapai pada level "pekerjaan impian" maupun "pekerjaan yang mendukung impian pekerja".

Level pekerjaan impian ditandai dengan pekerjaan bergaji tinggi, tunjangan yang berlimpah, dan fasilitas kerja yang nyaman. Pada level ini, pekerja rela mengkonfirmasi seluruh nilai-nilai dan tuntutan perusahaan demi bisa bekerja ataupun tetap bekerja pada perusahaan tersebut.

Sedangkan level pekerjaan yang mendukung impian pekerja ditandai dengan pekerjaan yang sesuai dengan preferensi, pekerjaan yang mendukung aktualisasi diri, dan lingkungan kerja yang mana karyawan merasa dihargai dan didengar. Pada level ini, perusahaan menyediakan dirinya sebagai "rumah" bagi pekerjanya yang dengan itu tujuan perusahaan pun tercapai.

Tapi bagaimana mencapai ketiganya yaitu employee engagement, job satisfaction, dan customer satisfaction pada pekerjaan berupah rendah dan pada perusahaan yang dijalankan dengan otoriter?

Berbagai konsep dan pendekatan employee engagement hanya bisa diterapkan dengan baik pada level pekerjaan yang memiliki  tingkat upah yang baik. Paling tidak, salah satu syarat dan rekomendasi untuk penerapannya mencantumkan upah yang layak sebagai salah satu variabel. Konsep dan berbagai pendekatan employee engagement yang ada mengalami kemacetan, stagnasi dan kolaps pada pekerjaan berupah rendah.

Sektor pendidikan swasta tidak bisa ditutup-tutupi adalah salah satu sektor dengan upah terendah. Jika ada yang bilang menjadi guru honorer adalah pekerjaan paling bangke, sebenarnya bekerja di lembaga pendidikan swasta sama bangkenya.

Di lembaga pendidikan swasta, harkat martabat guru bukan direndahkan oleh siswa-siswanya, tapi oleh yayasan yang mempekerjakan mereka. Perlakuan yang buruk dan gaji yang sangat rendah sudah menjadi umum pada lembaga-lembaga pendidikan swasta.

Jika saja profesionalisme diukur dan diartikan sebagai semua aktifitas dan beban kerja dikompensasikan ke dalam satuan upah, maka sebagian besar, jika tidak mau disebut seluruh, lembaga pendidikan swasta pasti mati. Jumlah peserta didik yang rendah ditambah dengan cost yang dibebankan kepada peserta didik juga rendah, membuat banyak lembaga pendidikan tidak mampu menjalankan operasinya kecuali dengan menekan sangat dalam biaya gaji dan upah.

Jika pun lembaga pendidikan swasta itu terlihat masih hidup dan bertahan hingga kini, itu karena didukung oleh dedikasi pekerja yang tinggi atau, oleh pekerja berkualitas rendah, atau orang-orang yang terpaksa menerima pekerjaan itu dengan sejumlah alasannya.

Sungguh dengan adanya dedikasi karyawan yang tinggi ini, lembaga-lembaga pendidikan swasta itu berhutang banyak sekali kepada para karyawannya. Selayaknya lembaga-lembaga pendidikan swasta menunjukkan rasa hormat dan terima kasih kepada para karyawannya.

Berikut ini sejumlah kasus pada suatu lembaga pendidikan swasta yang menunjukkan rendahnya employee engagement, job satisfaction, dan customer satisfaction, yang bisa jadi cermin dan tolak ukur hal yang sama juga terjadi pada lembaga pendidikan swasta yang lain atau bahkan pada sebagian besar lembaga pendidikan swasta.

1. Tidak Ada Kepedulian Terhadap Masalah Lembaga

Jumlah siswa baru pada suatu tahun ajaran rendah, bukan saja target jumlah siswa tahun tersebut tidak tercapai, tapi bahkan lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya banyak calon siswa yang ditolak karena kuota sudah terisi penuh. Kondisi ini ditanggapi dengan dingin oleh pekerja walaupun mereka tau. Sikap masa bodoh, bukan urusan saya, dan yang penting saya bekerja dan mengerjakan pekerjaan saya berkembang luas.

2. Tidak Peduli Dengan Lingkungan Kerja

Ketimbang memungut sampah dan memasukkannya ke tempat sampah, para pekerja lebih suka membiarkan sampah begitu saja dan bahkan ditendang-tendang karena merasa itu merupakan pekerjaan OB dan bukan pekerjaannya.

Bahkan OB pun tetap membiarkan sampah-sampah itu tanpa melakukan tindakan apapun karena baginya itu adalah pekerjaan OB yang lain dan bukan pekerjaannya.  

Guru-guru membiarkan siswa melakukan tindakan yang tidak sesuai kerana itu bukan siswa pada kelas yang dia pegang ataupun merasa itu adalah tugas guru BP.

Lembaga kesulitan menemukan impal ketika ada pekerja yang cuti atau sakit. Impal ditemukan dengan ancaman, paksaan, atau mengambil dari pihak ketiga.

3. Overtime Tanpa Lembur dan Kompensasi.

Seorang OB diminta, atau lebih tepatnya dipaksa dan dimanfaatkan, untuk masuk kerja padahal itu adalah hari libur dengan alasan agar area lembaga pendidikan tetap bersih jangan sampai kotor. Ketika ditanyakan apakah itu dihitung lembur, jawabannya tidak. Apakah mendapatkan kompensasi materi lainnya, jawabnya pun tidak.

Guru-guru yang menjadi panitia ivent tertentu ataupun menjadi penanggung jawab tugas tertentu di luar tugas utamanya tidak menerima kompensasi atau dibayar dengan kompensasi yang sangat rendah. Pun jika mereka harus pulang larut malam ataupun melakukan pekerjaan di waktu libur.

4. Keluarnya Pekerja Dengan Kualifikasi Baik.

Pekerja dengan kualitas dan kualifikasi baik hanya bertahan paling lama satu tahun. Tidak sedikit yang hanya bertahan 3 bulan saja.

Sejumlah besar pekerja yang berstatus "asset" menyatakan resign secara bersamaan ketika seseorang yang dianggap tidak kompeten dan tidak cukup kapabel diangkat menjadi salah satu pimpinan.

5. Gaji Sangat Rendah, Jam Kerja panjang, dan Beban Kerja yang Berat.

Pekerja yang berperan sebagai Security, OB, Laundry, dan Dapur menjalani jam kerja lebih dari 8 jam bahkan mencapai 12 jam dengan tingkat upah yang paling rendah di lembaga itu.

OB harus bersedia melakukan pekerjaan apapun yang diminta dan diperlukan untuk dilakukan, pun jika itu bukan tugasnya.

6. Manajemen Otoriter, dan Pekerja Bekerja di Bawah Tekanan dan Ancaman.

Ketimbang menggunakan manajemen model Y yang partisipatif, manajemen banyak menggunakan manajemen model X. Peraturan kerja ketat, kerja diawasi dengan ketat, PHK dan SP digunakan untuk mengancam agar kinerja lembaga dicapai dan peraturan lembaga ditaati. Manajemen sering menolak saran dan masukan dari pekerja. Manajemen menggunakan kalimat sarkasme dan tidak santun kepada pekerja dalam memberikan instruksi kerja.

7. Eksploitasi Terhadap Individu yang Lemah.

Pekerja baru atau pekerja yang "tidak enakan" ataupun pekerjaan yang "mauan" dimanfaatkan dan dielsploitasi untuk melakukan pekerjaan apapun di luar job desk, melebihi jam kerja, bahkan bekerja di hari libur tanpa kompensasi.

8. Aturan Kepegawaian yang Tidak Sesuai Undang-undang dan Tidak Mencerminkan Keadilan.

Aturan kepegawaian dibuat secara sepihak oleh manajemen. Klausul-klausul yang menyangkut kewajiban pekerja mengacu kepada standar industri/pabrik, tapi Klausul-klausul tentang hak-hak pekerja dibuat sesuai kepentingan manajemen semata.

9. Pekerja Diberhentikan Tanpa Prosedur.

Jika ada pekerja yang tidak lagi disukai atau kinerjanya dianggap tidak sesuai dengan penilaian subyektif manajemen, pekerja bisa diberhentikan tanpa prosedur teguran ataupun SP.

Di tengah sekian banyak tindakan yang tidak mendukung konsep employee engagement tersebut, maka bagaimana lembaga pendidikan swasta seperti itu bisa bertahan dan tetap berdiri?

Ada beberapa trik dan manipulasi yang biasanya digunakan.

1. Brain-washing bahwa bekerja itu terutama bekerja di bidang pendidikan harus ikhlas.
2. Ilusi kalimat "jika kita terbiasa bekerja di atas reward yang kita terima, kelak kita akan di tempatkan pada pekerjaan di mana reward yang diterima lebih besar dari yang kita kerjakan".
3. Penerapan manajemen model X pada theory McGregor.

Manajemen Model Y Sebagai Solusi

Dalam pekerjaan berupah rendah tentu tidak bisa melakukan employee engagement dengan cara reward and recognition, maupun compensation and benefits. Penerapan kedua cara ini  membutuhkan sejumlah cost yang mungkin belum ataupun tidak mampu diberikan pada saat kondisi perusahaan masih atau sedang  merintis pasar, sedang menjalankan strategi cost rendah, dan dalam kondisi pasar yang tidak menentu.

Padahal dalam kondisi seperti tersebut di atas itu dedikasi karyawan justru sangat diharapkan agar perusahaan tetap profitable dan exist. Maka employee engagement perlu digerakkan dengan cara lain.

Cara lain yang dimaksud adalah diperlukan gaya manajemen partisipatif seperti dijelaskan oleh Theory Y dari McGregor.

Theory Y bertumpu kepada sisi positif manusia. Bahwa manusia dalam bekerja memiliki motivasi tinggi dalam dirinya dan dengan dirinya tanpa perlu banyak stimulus dari luar, bertanggung jawab terhadap pekerjaannya, dan memperlakukan perusahaan sebagai ladang penghidupan bersama yang harus dikembangkan dan dibesarkan.

Untuk itu karyawan perlu diberikan peluang yang cukup lebar untuk mengutarakan saran dan pendapatnya, mengembangkan dirinya dan pekerjaannya, melakukan aktualisasi diri, menjalankan kehidupan kerja yang seimbang, diajak untuk berpartisipasi dan berperan dalam menyelesaikan masalah perusahaan dan pekerjaan, dan mendapatkan bagian hasil secara adil dan proporsional atas pencapaian dan kemajuan perusahaan.

Selanjutnya perusahaan dan manajer dalam pelaksanaannya harus membatasi diri dari penggunaan ancaman, kecurigaan yang berlebihan, dan bersikap kasar terhadap pekerjanya.

Penerapan manajemen partisipatif ini bukan saja menjaga stabilitas cost, mendapatkan kontribusi solusi terbaik, output usaha yang lebih baik, dan suasana kerja yang positif bagi kemajuan perusahaan dan karyawan, melainkan juga mampu menghemat energi manager sehingga manajer bisa lebih fokus kepada hal-hal yang taktis dan strategis.

Sementara Theory X akan banyak menguras energi manajer. Manajer akan banyak pusingkan untuk "menjaga gawang", padahal dia sangat dituntut untuk mampu "menghasilkan gol yang banyak".

Lembaga pendidikan banyak terbantu dalam hal employee engagement karena baik karyawan maupun guru punya idealisme yang built-in sehingga upah rendah pun tidak banyak menyurutkan semangat mereka untuk terlibat dalam perusahaan. Dalam kondisi seperti ini, penerapan manajemen tipe Y akan bukan sekadar meningkatkan employee engagement, melainkan juga employee satisfaction dan berakhir pada peningkatan customer satisfaction.

Disclaimer.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyerang lembaga pendidikan tertentu manapun. Jika pun ada kasus yang digambarkan di sini ada pernah terjadi sebagian atau seluruhnya pada suatu lembaga pendidikan, tidak pula berarti lembaga pendidikan tersebut yang dimaksudkan di sini. Uraian ini dimaksudkan sebagai bahan perbaikan. Jadi lebih baik segera melakukan pembenahan dan perbaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun