Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi melantik 2 Menteri dan 3 Wakil Menteri hasil Reshuffle Kabinet, Rabu (15/6). Kebijakan ini dinilai sejumlah pengamat sebagai sarat kepentingan politik. Masuknya PAN ke dalam Kabinet diduga adalah politik balas jasa atas masuknya PAN ke dalam Koalisi. Langkah ini juga dianggap sebagai strategi menghadapi Pemilu 2024. Beredar dugaan Jokowi lebih menyukai Ganjar sebagai Calon Presiden ketimbang Puan. PAN dijadikan alat untuk memperkuat posisi Ganjar.
Ada dua blunder dalam praktek konstitusi di Indonesia. Pertama adalah praktek balas jasa politik Presiden kepada Partai Politik Pendukung-nya dengan menyediakan untuk mereka kursi Menteri, Wakil Menteri, Komisaris BUMN, ataupun Duta Besar. Kedua lahirnya istilah "Petugas Partai" kepada Presiden, yang mengisyaratkan dua hal bahwa kedudukan Presiden lebih rendah daripada Ketua Umum Partai Politik dan Presiden harus mengikuti maunya Partai Politik. Ini semua jelas kesalahan besar dalam praktek konstitusi di Indonesia.
Konsep Trias Politica yang membagi kekuasaan menjadi tiga yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif dimaksudkan agar terjadi check and balance dan untuk mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan di satu tangan saja. Ini mensyaratkan adanya fragmentasi dan segmentasi yang kuat dan saling eksklusif di antara ketiga jenis kekuasaan tersebut. Fragmentasi yang dimaksud tidak akan terjadi jika Presiden dalam pencalonannya masih membutuhkan dukungan dari Partai Politik.
Pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat seperti diamanatkan dalam Pasal 6 A ayat 1 UUD 1945 diciderai oleh Pasal 6 A ayat 2 yang mana Calon Presiden harus diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik dan berlakunya Presidential Threshold. Padahal ayat 1 tersebut mengisyaratkan Presiden bisa mandiri terlepas dari Partai Politik. Jika Calon Presiden masih membutuhkan Partai Politik dalam pencalonannya, maka ketika dia menjabat sebagai Presiden akan selalu membutuhkan dukungan Partai Politik di Parlemen dan terus merasa berhutang budi kepada Partai Politik. Ini akhirnya akan berujung kepada terbentuknya Oligarki Kekuasaan sehingga melukai aspirasi rakyat yang memilih dia secara langsung dalam Pemilu.
Satya Arinanto sebagaimana dikutip Abdul Latif mengemukakan sejumlah alasan diselenggarakannya pilpres (secara langsung) yaitu:
a. Presiden terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi sangat kuat karena didukung oleh suara rakyat yang memberikan suaranya secara langsung;
b. Presiden terpilih tidak terkait pada konsesi Partai-partai atau Faksi-faksi politik yang telah memilihnya. Artinya Presiden terpilih berada di atas segala kepentingan dan dapat menjembatani berbagai kepentingan tersebut;
c. Sistem ini menjadi lebih "accountable" dibandingkan dengan sistem yang sekarang digunakan (pada masa orde baru), karena rakyat tidak harus menitipkan suaranya melalui MPR yang para anggotanya tidak seluruhnya terpilih melalui pemilihan umum;
d. Kriteria Calon Presiden juga dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan memberikan suaranya.
Keempat maksud dan tujuan di atas jelas tidak tercapai jika ayat 2 Pasal 6 A UUD 1945 tidak diamandemen dan aturan Presidential Treshloid masih diberlakukan. Ayat 2 itu batal secara otomatis dengan ayat 1 nya.
Amandemen terhadap ayat 2 Pasal 6 A UUD 1945 itu dan penghapusan aturan Presidential Threshold akan bermanfaat lebih lanjut untuk  menghapus terjadinya kasus "Presiden adalah Petugas Partai" terulang kembali, dan menghapus praktek "Jatah Kursi Menteri dan Komisaris BUMN". Rasanya kita perlu untuk membuat aturan bahwa Calon Presiden bukanlah orang Partai Politik, atau orang yang pernah terlibat di kepengurusan Partai Politik atau orang yang tidak terafiliasi dengan Partai Politik. Ketokohan seorang Calon Presiden dengan itu dibangun dari kinerja, manfaat, dan bakti langsung kepada masyarakat dan negara.
Kita perlu menghapus jejak Partai Politik dari kekuasaan eksekutif, dan menyediakan sepenuhnya kekuasaan legislatif untuk mereka. Bahwa Partai Politik adalah kawah candradimuka yang menghasilkan politisi atau eksekutif handal adalah mitos dalam kasus Indonesia. Partai Politik lebih suka mencalonkan artis atau orang-orang ternama lainnya untuk posisi eksekutif baik di tingkat daerah maupun pusat, ketimbang mencalonkan kader mereka sendiri.
UU yang mengatur Presidential Threshold merupakan turunan dari ayat 2 pasal 6A UUD 1945, sehingga jika ingin menghapus aturan tersebut maka ayat 2 pasal 6A UUD 1945 harus diperjuangkan untuk dihapus juga. Ayat inilah yang menginspirasi pemberlakuan aturan Presidential Threshold. Jika ayat ini tidak dihapus, maka kedudukan hukum UU tentang Presidential Threshold menjadi kuat dan upaya untuk melakukan yuditial review atas UU yang mengatur Presidential Threshold akan selalu gagal.
Ayat 2 Pasal 6 A ini pula yang memformat baik langsung maupun tidak langsung simbiosis antara kekuasaan eksekutif dan legislatif yang membuat Parlemen menjadi mandul. Partai Politik dalam Parlemen terikat kontrak politik untuk mendukung apa pun langkah eksekutif.
Konstitusi Indonesia memang menganut Konsep Trias Politica, tapi semangatnya adalah semangat simbiosisme antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, bukan semangat fragmentasi yang menjamin mekanisme check and balance menjadi tajam. Semangat simbiosisme membuka lebar-lebar peluang terbentuknya Oligarki Kekuasaan dan Dinasti Politik.
Berikut ini 4 simbiosis antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang dipicu oleh ayat 2 pasal 6A UUD 1945
1. Calon Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik. Ketika sudah menjadi Presiden, Presiden mengangkat dan memberhentikan Menteri. Tapi Menterinya berasal dari Partai Politik.
2. Hakim Agung diusulkan oleh Komisi Yudisial untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Sementara anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
3. Hakim Konstitusi diusulkan oleh Presiden, Mahkamah Agung, dan Dewan Perwakilan Rakyat. Sementara Presiden, Hakim Agung di Mahkamah Agung, dan mayoritas anggota Dewan Perwakilan Rakyat bisa berasal dari Partai Politik yang sama.
4. Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-undang, tapi harus mendapatkan persetujuan bersama dengan Presiden. Tapi tetap tidak akan dihasilkan UU yang kritis sebab baik Presiden maupun mayoritas DPR berasal dari Partai Politik yang sama atau yang terikat oleh suatu  kontrak politik.
Tanpa segmentasi yang ketat, maka kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif bisa berkumpul di satu Partai Politik, sehingga memungkinkan kekuasaan berada di satu kelompok, satu orang, atau satu dinasti keluarga. Dalam sistem konstitusi seperti ini oligarki kekuasaan dan dinasti politik adalah niscaya dan bisa jadi legal.
Apa sumber semua ini? Itu adalah ayat 2 Pasal 6 A UUD 1945.
Pemilihan Umum Langsung untuk memilih DPR, DPRD, DPD, Presiden, dan Kepala Daerah secara bersamaan seharusnya bisa membentuk segmentasi kekuasaan yang tajam.
Bahan Bacaan:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H