Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945 Blunder Dalam Konstitusi Indonesia

17 Juni 2022   11:51 Diperbarui: 8 Juli 2022   07:08 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi melantik 2 Menteri dan 3 Wakil Menteri hasil Reshuffle Kabinet, Rabu (15/6). Kebijakan ini dinilai sejumlah pengamat sebagai sarat kepentingan politik. Masuknya PAN ke dalam Kabinet diduga adalah politik balas jasa atas masuknya PAN ke dalam Koalisi. Langkah ini juga dianggap sebagai strategi menghadapi Pemilu 2024. Beredar dugaan Jokowi lebih menyukai Ganjar sebagai Calon Presiden ketimbang Puan. PAN dijadikan alat untuk memperkuat posisi Ganjar.

Ada dua blunder dalam praktek konstitusi di Indonesia. Pertama adalah praktek balas jasa politik Presiden kepada Partai Politik Pendukung-nya dengan menyediakan untuk mereka kursi Menteri, Wakil Menteri, Komisaris BUMN, ataupun Duta Besar. Kedua lahirnya istilah "Petugas Partai" kepada Presiden, yang mengisyaratkan dua hal bahwa kedudukan Presiden lebih rendah daripada Ketua Umum Partai Politik dan Presiden harus mengikuti maunya Partai Politik. Ini semua jelas kesalahan besar dalam praktek konstitusi di Indonesia.

Konsep Trias Politica yang membagi kekuasaan menjadi tiga yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif dimaksudkan agar terjadi check and balance dan untuk mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan di satu tangan saja. Ini mensyaratkan adanya fragmentasi dan segmentasi yang kuat dan saling eksklusif di antara ketiga jenis kekuasaan tersebut. Fragmentasi yang dimaksud tidak akan terjadi jika Presiden dalam pencalonannya masih membutuhkan dukungan dari Partai Politik.

Pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat seperti diamanatkan dalam Pasal 6 A ayat 1 UUD 1945 diciderai oleh Pasal 6 A ayat 2 yang mana Calon Presiden harus diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik dan berlakunya Presidential Threshold. Padahal ayat 1 tersebut mengisyaratkan Presiden bisa mandiri terlepas dari Partai Politik. Jika Calon Presiden masih membutuhkan Partai Politik dalam pencalonannya, maka ketika dia menjabat sebagai Presiden akan selalu membutuhkan dukungan Partai Politik di Parlemen dan terus merasa berhutang budi kepada Partai Politik. Ini akhirnya akan berujung kepada terbentuknya Oligarki Kekuasaan sehingga melukai aspirasi rakyat yang memilih dia secara langsung dalam Pemilu.

Satya Arinanto sebagaimana dikutip Abdul Latif mengemukakan sejumlah alasan diselenggarakannya pilpres (secara langsung) yaitu:

a. Presiden terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi sangat kuat karena didukung oleh suara rakyat yang memberikan suaranya secara langsung;

b. Presiden terpilih tidak terkait pada konsesi Partai-partai atau Faksi-faksi politik yang telah memilihnya. Artinya Presiden terpilih berada di atas segala kepentingan dan dapat menjembatani berbagai kepentingan tersebut;

c. Sistem ini menjadi lebih "accountable" dibandingkan dengan sistem yang sekarang digunakan (pada masa orde baru), karena rakyat tidak harus menitipkan suaranya melalui MPR yang para anggotanya tidak seluruhnya terpilih melalui pemilihan umum;

d. Kriteria Calon Presiden juga dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan memberikan suaranya.

Keempat maksud dan tujuan di atas jelas tidak tercapai jika ayat 2 Pasal 6 A UUD 1945 tidak diamandemen dan aturan Presidential Treshloid masih diberlakukan. Ayat 2 itu batal secara otomatis dengan ayat 1 nya.

Amandemen terhadap ayat 2 Pasal 6 A UUD 1945 itu dan penghapusan aturan Presidential Threshold akan bermanfaat lebih lanjut untuk  menghapus terjadinya kasus "Presiden adalah Petugas Partai" terulang kembali, dan menghapus praktek "Jatah Kursi Menteri dan Komisaris BUMN". Rasanya kita perlu untuk membuat aturan bahwa Calon Presiden bukanlah orang Partai Politik, atau orang yang pernah terlibat di kepengurusan Partai Politik atau orang yang tidak terafiliasi dengan Partai Politik. Ketokohan seorang Calon Presiden dengan itu dibangun dari kinerja, manfaat, dan bakti langsung kepada masyarakat dan negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun