Mohon tunggu...
Asep Saepul Adha
Asep Saepul Adha Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

Senang membaca dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Sharenting, Antara Kebanggan dan Bahaya

29 Januari 2025   17:00 Diperbarui: 29 Januari 2025   17:18 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah dengan Canva (Dokpti)

Di era digital yang serba terhubung ini, sharenting telah menjadi salah satu fenomena baru yang menarik perhatian. Istilah sharenting berasal dari gabungan kata "share" dan "parenting", yang merujuk pada kebiasaan orang tua membagikan foto, video, atau informasi tentang anak-anak mereka di media sosial.

Tren ini berkembang seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi, khususnya smartphone, serta makin masifnya penggunaan media sosial seperti Facebook, Instagram, atau TikTok, yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Steinberg, sebagaimana dikutif Merdeka.com dari artikelnya yang berjudul “Ketahui Apa Itu Sharenting, Kebiasaan Orang Tua Berbagi Mengenai Anak di Media Sosial: Seberapa Batas Amannya?”, memaparkan bahwa sharenting sebagai tindakan orang tua membagikan hal-hal tentang anak mereka di luar lingkup keluarga. Ini bisa berupa unggahan foto di media sosial, tulisan di blog, atau video yang dikirim melalui platform pesan seperti WhatsApp.

Fenomena yang Semakin Umum 

Di era digital seperti sekarang, media sosial telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan, tidak hanya bagi individu, tetapi juga bagi lembaga. Dalam dunia pendidikan, peran media sosial semakin menonjol dengan adanya anjuran bagi sekolah-sekolah untuk mengunggah berbagai kegiatan mereka ke platform media sosial resmi, seperti Facebook, Instagram, WhatsApp, hingga TikTok.

Langkah ini bertujuan untuk mempermudah pemantauan aktivitas sekolah oleh pihak yang berwenang, terutama Dinas Pendidikan. Hal ini pun mendorong sekolah-sekolah untuk aktif mempublikasikan kegiatan mereka, menciptakan semangat kompetitif dalam menunjukkan keaktifan dan inovasi masing-masing institusi.

Setiap kegiatan siswa di sekolah kini hampir selalu diunggah ke media sosial resmi sekolah. Dari sisi positif, hal ini memungkinkan orang tua untuk mengetahui aktivitas anak-anak mereka selama di sekolah, sekaligus memberikan gambaran kepada Dinas Pendidikan bahwa sekolah tersebut aktif dan produktif.

Namun, di sisi lain, terdapat risiko yang perlu diwaspadai. Informasi yang diunggah, terutama jika disiarkan secara real-time, dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan para “durjana” untuk melakukan kejahatan, seperti penculikan. Oleh karena itu, sekolah perlu bijak dan selektif dalam membagikan informasi di media sosial, demi menjaga keamanan dan privasi siswa.

Sang Ibu yang Selalu Update 

Dalam sebuah keluarga, sering kali sang ibu menjadi sosok yang aktif meng-update status tentang anaknya di media sosial. Tidak jarang kita temui di platform seperti Facebook, seorang ibu mengunggah foto atau video anaknya yang lucu, baik saat melakukan aktivitas sehari-hari maupun dalam momen-momen spesial, seperti perayaan ulang tahun.

Bahkan, sering kali narasi yang menyertai unggahan tersebut mencantumkan nama anaknya secara lengkap. Namun, kebiasaan ini sebenarnya kurang bijak karena secara tidak disadari, privasi anak terekspos secara gamblang ke publik, membuka peluang risiko yang seharusnya dapat dihindari.

Salah satu alasan yang sering dikemukakan oleh mereka yang gemar mengunggah foto atau video ke Facebook adalah untuk menjadikannya tempat penyimpanan yang aman. Mereka khawatir file-file tersebut hilang jika hanya disimpan di ponsel atau laptop, misalnya akibat perangkat di-reset atau terkena virus.

Selain itu, kapasitas penyimpanan di Facebook dianggap lebih besar dan praktis, karena file yang diunggah dapat diunduh kembali kapan saja jika dibutuhkan. Hal ini menjadikan Facebook tidak hanya sebagai platform berbagi, tetapi juga sebagai media penyimpanan cadangan.

Ketika aktivitas ini dilakukan secara wajar, yaitu hanya mengunggah atau membagikan hal-hal yang penting dengan frekuensi yang tidak terlalu sering, tentu tidak menjadi masalah. Namun, realitanya menunjukkan bahwa hampir semua kegiatan, diunggah ke media sosial. Hal ini sering kali menciptakan kesan oversharing, di mana setiap momen, besar maupun kecil, terpublikasi tanpa adanya seleksi yang memadai.

Risiko dan Dampak Negatif

Meskipun terlihat sederhana, sharenting membawa berbagai dampak potensial, baik bagi anak maupun orang tua, antara lain:

1. Ancaman Privasi Anak

Setiap unggahan yang memuat informasi pribadi anak membawa risiko besar jika jatuh ke tangan yang salah. Foto-foto anak yang diunggah secara daring dapat dengan mudah diambil tanpa izin oleh para durjana atau pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Lebih dari itu, gambar-gambar tersebut bisa digunakan dalam konteks yang tidak semestinya, seperti eksploitasi atau penyalahgunaan lainnya (foto dijadikan profil akun oleh seseorang, kemudian dia melakukan penipuan). Risiko semacam ini menekankan pentingnya kehati-hatian dalam membagikan informasi anak di dunia maya.

2. Jejak Digital yang Permanen

Segala sesuatu yang diunggah di internet cenderung meninggalkan jejak yang sulit dihapus sepenuhnya. Informasi, foto, atau video yang dibagikan hari ini bisa terus tersimpan dan diakses di kemudian hari. Anak-anak yang menjadi subjek unggahan tersebut mungkin tumbuh dewasa dengan jejak digital yang tidak pernah mereka pilih sendiri.

Jejak ini berpotensi memengaruhi berbagai aspek kehidupan mereka di masa depan, baik secara personal maupun profesional, terutama jika informasi tersebut digunakan di luar kendali mereka.

3. Pelanggaran Hak Anak

Dalam sejumlah kasus, sharenting sering dipandang sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak anak atas privasi. Hal ini terjadi karena anak-anak tidak memiliki kontrol atas informasi pribadi yang dibagikan oleh orang tua mereka ke dunia maya.

Orang tua, meskipun berniat baik, kerap kali tidak mempertimbangkan bagaimana unggahan tersebut dapat memengaruhi anak di masa depan, sehingga hak anak untuk menjaga privasi dan menentukan jejak digital mereka sendiri menjadi terabaikan.

Foto saya jaman dulu saja sering diejek oleh anak saya, bagaimana kalau foto anak kita di medsos di masa yang akan datang dijadikan bahan olok-olok atau bahan bulian.

4. Risiko Psikologis

Jika di kemudian hari seorang anak merasa tidak nyaman atau malu dengan unggahan yang dibuat oleh orang tua mereka, hal ini berpotensi menimbulkan dampak emosional yang serius. Tidak hanya memengaruhi rasa percaya diri anak, tetapi juga dapat merusak hubungan antara anak dan orang tua.

Anak mungkin merasa tidak dihargai atau kehilangan kendali atas citra diri mereka, yang pada akhirnya dapat membentuk persepsi negatif tentang diri mereka sendiri. Keadaan ini menunjukkan betapa pentingnya mempertimbangkan dampak jangka panjang sebelum membagikan informasi tentang anak di media sosial.

Cara Bijak Melakukan Sharenting

Sebagai orang tua, penting untuk tetap bijak dalam membagikan momen tentang anak di media sosial. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat dilakukan:

1. Pikirkan Konsekuensinya

Sebelum mengunggah sesuatu ke media sosial, penting untuk mempertimbangkan terlebih dahulu apakah informasi tersebut aman untuk dibagikan. Selain itu, pikirkan juga dampak yang mungkin timbul di masa depan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain yang terlibat dalam unggahan tersebut.

2. Batasi Informasi Pribadi

Batasi informasi pribadi yang dibagikan di media sosial. Hindarilah menyertakan detail yang terlalu spesifik, seperti alamat rumah, lokasi sekolah, atau jadwal harian anak, untuk menjaga privasi dan keamanan keluarga.

3. Gunakan Pengaturan Privasi

Pastikan akun media sosial Anda dilengkapi dengan pengaturan privasi yang ketat. Hal ini penting agar hanya orang-orang tertentu, seperti keluarga atau teman dekat, yang dapat melihat unggahan Anda. Dengan begitu, privasi tetap terjaga, dan risiko penyalahgunaan informasi dapat diminimalkan.

4. Hargai Perasaan Anak

Ketika anak sudah cukup besar untuk memahami, penting untuk melibatkan mereka dalam keputusan terkait privasi mereka. Sebelum membagikan foto atau informasi tentang mereka di media sosial, tanyakan izin terlebih dahulu. Langkah ini tidak hanya menghormati hak mereka atas privasi, tetapi juga mengajarkan mereka pentingnya menjaga informasi pribadi.

5. Pertimbangkan Alternatif

Jika ingin berbagi momen dengan orang terdekat, pertimbangkan untuk menggunakan grup pribadi di media sosial atau aplikasi berbagi foto yang lebih aman. Dengan cara ini, momen-momen berharga Anda tetap dapat dinikmati oleh keluarga atau teman dekat tanpa harus terekspos ke publik secara luas.

Kesimpulan

Sharenting adalah fenomena yang mencerminkan kecintaan dan kebanggaan orang tua terhadap anak-anak mereka. Namun, di balik itu, ada tanggung jawab besar yang harus diperhatikan, terutama terkait privasi dan keamanan anak.

Dengan kesadaran dan kehati-hatian, orang tua dapat tetap berbagi momen berharga tanpa mengorbankan hak anak untuk hidup dengan privasi dan aman dari risiko digital.

Bijaklah dalam menggunakan teknologi, karena setiap keputusan yang diambil hari ini akan berdampak pada masa depan anak-anak kita. Jangan hanya demi kebanggaan, akhirnya menjadi petaka dan nestapa yang tiada berujung.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun