Dari Kebun Karet ke Ladang Sawit, Transformasi Seorang Petani
Hari ini, saya sengaja meluangkan waktu untuk mengunjungi kebun. Tidak seperti biasanya, saya datang dengan santai, tanpa membawa peralatan perawatan apa pun.
Hanya sebuah golok sederhana yang kubawa, sekadar untuk berjaga-jaga jika ada binatang liar yang mendekat, atau untuk menebas ranting tanaman yang mungkin menghalangi jalan.
Rasanya berbeda, lebih ringan, seolah kebun ini ingin kunikmati apa adanya, tanpa beban tugas yang biasa melekat.
Saya ingin berbagi cerita tentang bagaimana, dengan keterbatasan finansial dan modal yang minim, saya berusaha untuk membuat dan merawat kebun kelapa sawit.Â
Perjalanan ini penuh tantangan, tetapi dengan perencanaan yang matang, kerja keras, dan pengelolaan yang cermat, impian memiliki dan mengelola kebun akhirnya bisa terwujud.
Kreativitas Mengatasi Keterbatasan
Kami memiliki tiga bidang kebun yang telah kami manfaatkan untuk menanam bibit kelapa sawit. Dengan keterbatasan finansial yang kami miliki, kami berusaha mengelola sumber daya dengan bijaksana. Keuangan yang pas-pasan memaksa kami untuk berpikir strategis agar ketiga kebun tersebut tetap dapat digarap dan ditanami.
Setelah mempertimbangkan berbagai kemungkinan, kami mengambil keputusan untuk mengelola lahan tersebut secara bertahap. Tahap pertama dimulai dengan menggarap kebun yang paling dekat, sehingga pekerjaan dapat dilakukan lebih efisien dan terjangkau sesuai kemampuan kami.
Kami memutuskan untuk memulai dengan menggarap lahan seluas kurang lebih satu hektar terlebih dahulu, karena lokasinya yang paling dekat. Namun, membuka kebun sawit secara mandiri ternyata bukanlah hal yang mudah.
Segala prosesnya tidak bisa dilakukan sendiri, terutama karena kami belum memiliki pengalaman dalam berkebun kelapa sawit. Tantangan ini menuntut kami untuk belajar sekaligus mencari cara agar kebun dapat dikelola dengan baik meski dengan keterbatasan yang ada.
Kami fokus merawat dengan baik sebidang kebun ini tanpa memikirkan untuk menggarap kebun lainnya. Selain karena kebun yang lain masih produktif dengan pohon karet, keterbatasan biaya juga menjadi pertimbangan utama.
Dana yang kami miliki saat ini hanya cukup untuk mengelola satu kebun. Tantangan yang kami hadapi pun cukup besar, mulai dari biaya untuk mengatasi gulma, mengendalikan HPT (Hama dan Penyakit Tanaman), hingga membayar upah pekerja.
Yang membuat situasi semakin rumit adalah, meskipun dana tersedia, jika tidak ada tenaga kerja yang tersedia, upaya kami tetap tidak akan berjalan. Dalam hal ini, kami hanya bisa menunggu waktu luang para pekerja yang biasa mengelola kebun sawit plasma untuk membantu kami.
Kolaborasi Petani yang MenguntungkanÂ
Ketika kebun pertama mulai menunjukkan hasil dengan "buah pasir" atau tahap belajar berbuah, kami pun memulai proses penggarapan kebun kedua, seluas kurang lebih 1,75 Ha. Mengelola kebun kedua ini terasa sedikit lebih ringan, karena kami dapat memanfaatkan hasil penjualan batang karet dari kebun sebelumnya.
Pendapatan tersebut digunakan sebagai modal untuk proses land clearing (pembersihan lahan), pembelian bibit kelapa sawit, dan membayar upah pekerja untuk proses penanaman. Dengan langkah ini, pengelolaan kebun menjadi lebih terencana dan bertahap sesuai dengan kemampuan kami.
Kami berjibaku di awal pengelolaan kebun kedua, karena setelah dibuka, rumput tumbuh dengan sangat cepat. Puluhan liter herbisida dari berbagai merek (disesuaikan dengan jenis rumput yang ada) habis diaplikasikan untuk mengendalikannya.
Ketika pertumbuhan rumput mulai berkurang, seorang petani datang mohon ijin untuk memanfaatkan lahan tersebut dengan menanam sayuran. Tanpa berpikir panjang, saya menyetujui tawaran tersebut dengan syarat lahan harus digarap dengan baik, termasuk mengatasi rumput liar.
Pada tahap pertama, petani tersebut menanam semangka di sela-sela pohon sawit. Kolaborasi ini menciptakan simbiosis mutualisme ala petani, petani penggarap bisa memanen semangka, sementara saya sebagai pemilik kebun sawit tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk mengendalikan rumput liar dan gulma. Sebuah kerja sama yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Kini kebun sawit kami telah memasuki penanaman sayuran yang ketiga, yaitu cabai keriting dan tomat. Kebun ini bahkan dikenal sebagai kebun sawit yang paling bersih di sekitar kami. Namun, ada pelajaran penting yang kami dapatkan, ternyata kebun yang terlalu bersih justru mengundang masalah baru.
Hama yang biasanya memakan rerumputan kini beralih menyerang daun kelapa sawit karena tidak ada lagi rerumputan yang tersisa sebagai makanan mereka.
Dari pengalaman ini, saya menyarankan kepada siapa pun yang ingin menanam sawit untuk tidak membuat kebun terlalu bersih. Mempertahankan sedikit vegetasi alami dapat membantu menjaga keseimbangan ekosistem di kebun.
Dari Lahan Terbengkalai Menjadi Ladang Produktif
Setelah mempertimbangkan bahwa pengelolaan kebun kedua sudah mulai stabil dan terasa lebih ringan, kami memutuskan untuk membuka lahan ketiga. Kebun ini tidak terlalu luas, hanya berukuran 120 x 40 meter, cukup untuk menanam sekitar 80 batang bibit kelapa sawit.
Namun, membuka lahan ini bukanlah tugas yang mudah. Lahan ini telah ditinggalkan selama lebih dari sepuluh tahun, sehingga membutuhkan upaya ekstra untuk membersihkannya.
Alasan utama mengapa lahan ini dibiarkan begitu lama adalah karena posisinya yang rendah, sehingga hampir selalu tergenang air kecuali pada musim kemarau.
Tantangan ini menjadi bagian dari perjalanan kami dalam mengelola kebun sawit secara bertahap.
Alhamdulillah, akhirnya ketiga kebun kami kini telah selesai ditanami. Ada kebun yang sudah mulai berproduksi, menghasilkan buah yang dapat dijual.
Ada pula yang masih dalam tahap belajar berbuah, di mana buah kecil-kecilnya harus dikastrasi karena kandungan minyaknya belum memadai. Sementara itu, kebun terakhir baru saja selesai ditanami bibit kelapa sawit.
Begitulah cara saya memenej modal yang terbatas untuk membuka kebun kelapa sawit di beberapa lokasi yang terpencar. Dengan keterbatasan modal, saya belajar bahwa kunci utamanya adalah memutar otak, merancang strategi, dan menentukan prioritas dengan cermat.
Pilihan untuk melangkah secara bertahap dan bijak telah menjadi jalan yang memungkinkan impian berkebun ini terwujud.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H