Mohon tunggu...
Asep Saepul Adha
Asep Saepul Adha Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

Senang membaca dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Dari Kebun Karet ke Ladang Sawit, Transformasi Seorang Petani

28 Desember 2024   16:25 Diperbarui: 31 Desember 2024   16:40 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebun sawit baru pertama kali dipruning (Dokpri)

Segala prosesnya tidak bisa dilakukan sendiri, terutama karena kami belum memiliki pengalaman dalam berkebun kelapa sawit. Tantangan ini menuntut kami untuk belajar sekaligus mencari cara agar kebun dapat dikelola dengan baik meski dengan keterbatasan yang ada.

Kami fokus merawat dengan baik sebidang kebun ini tanpa memikirkan untuk menggarap kebun lainnya. Selain karena kebun yang lain masih produktif dengan pohon karet, keterbatasan biaya juga menjadi pertimbangan utama.

Dana yang kami miliki saat ini hanya cukup untuk mengelola satu kebun. Tantangan yang kami hadapi pun cukup besar, mulai dari biaya untuk mengatasi gulma, mengendalikan HPT (Hama dan Penyakit Tanaman), hingga membayar upah pekerja.

Yang membuat situasi semakin rumit adalah, meskipun dana tersedia, jika tidak ada tenaga kerja yang tersedia, upaya kami tetap tidak akan berjalan. Dalam hal ini, kami hanya bisa menunggu waktu luang para pekerja yang biasa mengelola kebun sawit plasma untuk membantu kami.

Kebun ini dimanfaatkan oleh petani sayuran untuk menanam Cabai Keriting, Simbiosis mutualisme ala petani (Dokpri)
Kebun ini dimanfaatkan oleh petani sayuran untuk menanam Cabai Keriting, Simbiosis mutualisme ala petani (Dokpri)
Kolaborasi Petani yang Menguntungkan 

Ketika kebun pertama mulai menunjukkan hasil dengan "buah pasir" atau tahap belajar berbuah, kami pun memulai proses penggarapan kebun kedua, seluas kurang lebih 1,75 Ha. Mengelola kebun kedua ini terasa sedikit lebih ringan, karena kami dapat memanfaatkan hasil penjualan batang karet dari kebun sebelumnya.

Pendapatan tersebut digunakan sebagai modal untuk proses land clearing (pembersihan lahan), pembelian bibit kelapa sawit, dan membayar upah pekerja untuk proses penanaman. Dengan langkah ini, pengelolaan kebun menjadi lebih terencana dan bertahap sesuai dengan kemampuan kami.

Kami berjibaku di awal pengelolaan kebun kedua, karena setelah dibuka, rumput tumbuh dengan sangat cepat. Puluhan liter herbisida dari berbagai merek (disesuaikan dengan jenis rumput yang ada) habis diaplikasikan untuk mengendalikannya.

Ketika pertumbuhan rumput mulai berkurang, seorang petani datang mohon ijin untuk memanfaatkan lahan tersebut dengan menanam sayuran. Tanpa berpikir panjang, saya menyetujui tawaran tersebut dengan syarat lahan harus digarap dengan baik, termasuk mengatasi rumput liar.

Pada tahap pertama, petani tersebut menanam semangka di sela-sela pohon sawit. Kolaborasi ini menciptakan simbiosis mutualisme ala petani, petani penggarap bisa memanen semangka, sementara saya sebagai pemilik kebun sawit tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk mengendalikan rumput liar dan gulma. Sebuah kerja sama yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Kini kebun sawit kami telah memasuki penanaman sayuran yang ketiga, yaitu cabai keriting dan tomat. Kebun ini bahkan dikenal sebagai kebun sawit yang paling bersih di sekitar kami. Namun, ada pelajaran penting yang kami dapatkan, ternyata kebun yang terlalu bersih justru mengundang masalah baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun