Muthowif lalu berkata kepada saya, "Kalau ada perlu, suruh pelayan saja. Bila menolak, laporkan sama manajernya, tuh yang berdiri di samping pintu masuk. Beliau namanya Agus, asalnya dari Jawa Timur."
Ternyata, para pembaca sekalian, banyak orang Indonesia yang bekerja di Mekkah dan memiliki jabatan yang baik, seperti Pak Agus itu.
Dengan menulis kisah ini, kerinduan saya kepada Baitullah semakin membuncah. Entah kapan saya bisa kembali ke sana, saya hanya bisa berdoa semoga Allah masih memberikan kesempatan kepada saya dan keluarga untuk bisa mengunjungi tanah suci lagi.
Pengalaman ini tidak hanya mengajarkan saya tentang keramahan dan bantuan yang ada di Tanah Suci, tetapi juga tentang bagaimana banyak saudara kita dari Indonesia yang berkontribusi dan bekerja di sana, menjadikan Mekkah terasa seperti rumah kedua. Semoga suatu hari nanti, saya bisa kembali merasakan keindahan dan kedamaian Baitullah bersama keluarga tercinta.