[caption caption="Presiden Jokowi berbincang dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama saat menyambut tibanya kapal yang mengangkut ternak sapi dari Nusa Tenggara Timur. Dirut Pelindo II RJ Lino berdiri dekat Paspampres, agak jauh dari posisi Presiden Jokowi. (foto: viva.co.id)"][/caption]
Sidang yang digelar Pansus Pelindo II menyoal perpanjangan konsesi PT Jakarta International Containert Terminal (JICT), itu berlangsung hingga Sabtu dinihari (5/12). Wajah Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno menegang. Suaranya sedikit bergetar.
Pimpinan sidang yang juga Ketua Pansus Pelindo II, Rieke Diah Pitaloka (RDP), menanyakan berbagai hal terkait dengan kebijakan Kementerian BUMN mengeluarkan ijin perpanjangan konsesi JICT. Berikut ini kutipan dialog Menteri BUMN Rini Soemarno dengan pimpinan sidang, RDP.
Rini Soemarno:Â Ini yang shareholders saya baca?
RDP: Iya, silakan Ibu Menteri baca yang saham Pelindo II.
Rini Soemarno: Pelindo II 48,1%
RDP: OK. Saham HPH berapa Bu? Itu di Nomor 3 HPH.
Rini Soemarno: 51%
RDP: Silakan Ibu Menteri buka dua halamanan berikutnya, silakan Ibu baca dokumen ini ditandatangani kapan?
Rini Soemarno: 7 Juli 2015.
RDP: Perlu Ibu ketahui, dokumen ini kontrak final dan sudah dinotariskan.  Direksi Pelindo II mengatakan ada kontrak lagi dalam Rapat Umum Pemegang Saham tanggal 24 November 2015. Tetapi menurut Dirut JICT dokumen RUPS belum dinotariatkan dan itu yang didaftarkan kepada BKPM. Ini  pasti tidak bisa diproses karena ada Keppres No 39/2014. Keppres ini memuat syarat tentang maksimal saham yang boleh dimiliki oleh asing (PMA) tidak boleh melebihi 49%, mohon baca ulang halaman pertama butir ketiga, berapa saham HPH?
Menteri BUMN Rini Soemarno: 51%
RDP: Ya 51%,
RDP: Dokumen tentang sirkular Direksi JICT yang dinotariatkan tangggal 7 Juli 2015 jelas menyebutkan saham HPH masih tetap 51%. Sedangkan Surat Ijin Prinsip yang Ibu Menteri BUMN keluarkan tanggal 9 Juni 2015 saham Pelindo II (pemerintah) di JICT harus 51%.
Mendengar pemaparan yang disampaikan pimpinan sidang Pansus Pelindo II tersebut, Menteri BUMN Rini Soemarno langsung terdiam. Dia tampak tak bisa menyembunyikan kekecewaan mendengar fakta mengejutkan tentang belum berubahnya saham Pelindo II di JICT pasca amandemen konsesi.
Padahal dalam sidang tersebut berulang kali dia mengatakan ijin prinsip yang diberikan Kementerian BUMN kepada Direksi Pelindo II tanggal 9 Juni 2015 dengan syarat: saham Pelindo II di JICT minimal 51%. Namun ternyata, dokumen yang ditandatangani Direksi Pelindo II tanggal 7 Juli 2015 saham Pelindo II masih 48,1% dan HPH tetap 51%. Padahal, dalam iklan di Harian Kompas dan Bisnis Indonesia tanggal 8 Agustus 2014, Pelindo II mengatakan amandemen konsesi  JICT merubah komposisi saham pemerintah (Pelindo II), dari 48,9% menjadi 51%.
Indikasi Kerugian Negara
Fakta mengejutkan lainnya yang muncul dalam persidangan adalah ketiga konsultan keuangan yang disewa Pelindo II (Deutchse Bank, Finance Research Institute, dan Bahana Sekuritas) menyatakan perpanjangan konsesi JICT berpotensi merugikan negara puluhan triliun rupiah.
Berikut ini kutipan pendapat dari ketiga konsultan keuangan tersebut sebagaimana dipaparkan Pimpinan Sidang Pansus Pelindo II, Jumat (4/12).
Deutchse Bank terlebih dahulu memberikan dokumen hasil valuasi kepada Pansus Pelindo II . Dokumen valuasi ini dijadikan dasar perhitungan FRI yang setelah dianalisa menyatakan terjadi kesalahan perhitungan komposisi saham.  Dalam hitungannya Deutchse Bank tidak menggunakan asumsi historis tapi justru menghitung proyeksi  utang JICT sebesar 30%.
Bahana Sekuritas kemudian melakukan perhitungan ulang dengan data laporan keuangan JICT yang diperoleh dari FRI. Begitu juga dengan Deutchse Bank yang merevisi perhitungannya dengan menggunakan data laporan keuangan JICT.
Maka berdasarkan proyeksi tim FRI dan Bahana Sekuritas diperoleh hitungan manfaat sisa masa kontrak yang diperoleh Pelindo II sampai tahun 2018 sebesar 2,999 T jika kontrak diperpanjang. Tetapi Pelindo II (negara) akan kehilangan potensi pendapatan 2019 sampai 2038 sebesar Rp 24,7Trilin. Jika nilai ini dikalikan 49% saham HPH. Potensi kerugian negara mencapai  11,85 Triliun.
Begitu juga dengan analisis yang dilakukan Deutchse Bank, Pelindo II akan memperoleh manfaat Rp 2,36 Triliun. Tapi akan tetap muncul indikasi kerugian negara sebesar Rp 17.9 triliun jika perpanjangan kontrak JICT tetap dilakukan.
Menabrak UU Pelayaran No 17/2008
Sejumlah narasumber yang dipanggil Pansus Pelindo II baik dari Kejaksaan Agung maupun Kementerian Perhubungan tegas menyatakan amandemen konsesi JICT yang dilakukan Direksi Pelindo II melanggar UU Pelayaran No 17/2008. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung menyatakan penggunaan legal opinion (pendapat hukum) sebagai dasar hukum amandemen konsesi JICT terindikasi sebagai bentuk penyelundupan hukum. Jamdatun menyatakan L/O yang dikeluarkannya sama sekali tidak dimaksudkan sebagai rekomendasi untuk dasar hukum amandemen konsesi.
Sedangkan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menyatakan perjanjian konsesi yang ditandatangani Pelindo II dengan Kementerian Perhubungan tanggal 11 November 2015 tidak bersifat retroaktif. Kementerian Perhubungan sejak Freddy Numberi, EE Mangindaan hingga Ignasius Jonan menyurati Pelindo I, II, III dan IV yang berisi penegasan bahwa pelabuhan-pelabuhan tersebut harus mendapatkan ijin konsesi dari Kementerian Perhubungan sebagai regulator sebagaimana diatur dalam UU No 17/2008.
Temuan Pansus Pelindo II
Setelah beberapa kali bersidang selama satu bulan terakhir ini, Pansus Pelindo II berhasil mengungkap sejumlah fakta-fakta yang menguatkan terjadinya indikasi perampokan aset negara di Pelabuhan Tanjung Priok.
- Amandemen konsesi JICT berpotensi melanggar UU No 17/2008 tentang Pelayaran, Undang-Undang Keuangan Negara No 17/2003, serta UU Perbendaharaan Negara No 1/2004.
- Analisa yang dilakukan Deutchse Bank, FRI dan Bahana Sekuritas menyebutkan amandemen konsesi JICT berpotensi merugikan keuangan negara puluhan triliun rupiah. Dari perpanjangan konsesi JICT, negara (Pelindo II) memang akan memetik manfaat sebesar Rp 2,99 T, namun akan kehilangan potensi pendapatan negara puluhan triliun rupiah hingga tahun 2038.
- Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung tegas menolak Legal Opinion (pendapat hukum) yang dikeluarkannya dalam amandemen konsesi JICT dijadikan sebagai dasar hukum. Jamdatun menganggap penggunaan LO sebagai dasar hukum merupakan bentuk penyelundupan hukum.
- Kementerian Perhubungan menyatakan UU No 17/2008 tentang Pelayaran mengatur dengan jelas fungsi pemerintah (Otoritas Pelabuhan) sebagai regulator dan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) sebagai operator. Sesuai amanat undang-undang, regulator memberikan konsesi kepada pihak operator. Penandatanganan amandemen konsesi yang dilakukan Pelindo II dengan HPH (tanggal 5 Agustus 2014) jauh dilakukan sebelum Kementerian Perhubungan memberikan konsesi kepada Pelindo II (11 November 2015).
- Ijin prinsip dengan syarat yang dikeluarkan Menteri BUMN Rini Soemarno tanggal 9 Juni 2015 dipertanyakan Pansus Pelindo II karena dalam peraturan perundang-undangan tidak dikenal nomenklatur tentang ijin prinsip tersebut.
- Ijin prinsip yang dikeluarkan Kementerian BUMN tanggal 9 Juni 2015 mencantumkan sejumlah syarat antara lain mematuhi surat Menteri Perhubungan tanggal 18 September 2014 tentang kewajiban mengajukan konsesi kepada Kementerian Perhubungan serta saham Pelindo II di JICT minimal 51%. Dokumen yang diperoleh Pansus Pelindo II menunjukan komposisi saham Pelindo II masih tetap sebesar 48,1% dan bukan 51% seperti yang dipersyaratkan Menteri BUMN. Dokumen tersebut dinotariatkan tanggal 7 Juli 2015 atau sebulan sesudah ijin prinsip Menteri BUMN dikeluarkan.
- Pansus Pelindo II juga menemukan fakta perubahan komposisi saham Pelindo II dan HPH di JICT yang disebut-sebut berdasarkan valuasi Deutchse Bank sesungguhnya hanya berangkat dari kesepakatan antara Pelindo II dan HPH. Komposisi tersebut sudah diatur terlebih dahulu sebelum Deutchse Bank melakukan valuasi.
- Dokumen Sirkular Direksi JICT tanggal 7 Juli 2015 jelas menyebutkan saham Pelindo II di JICT tidaklah 51% seperti yang selama ini disebut-sebut Pelindo II, melainkan masih tetap 48,1%. Hal ini bertentangan dengant Keppres 9/2014 yang menyebutkan saham PMA maksimal 49%.
Pembahasan tentang amandemen konsesi JICT yang dilakukan Pansus Pelindo II masih terus berlangsung. Fakta demi fakta bisa jadi akan terus mengemuka hingga Pansus menyelesaikan semua tugasnya satu bulan ke depan. Meski Pansus belum menuntaskan semua tugasnya, namun dengan fakta-fakta yang mengemuka tersebut, Kementerian BUMN seharusnya bersikap tegas terhadap Direksi Pelindo II. RJ Lino sebagai Dirut Pelindo II merupakan pihak yang paling bertanggung jawab dan sangat wajar dicopot dari jabatannya.
Semoga segenap anggota Pansus Panitia Angket Pelindo II DPR RI diberikan kekuatan dalam melaksanakan amanat konstitusi mempertahankan aset negara untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Semua yang tengah dilakukan Pansus Pelindo II merupakan perjuangan untuk menegakan kembali konsitusi dan sebagai pintu masuk untuk dikembalikannya tata kelola BUMN sesuai dengan amanat Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H