Mohon tunggu...
asep ramadhan
asep ramadhan Mohon Tunggu... profesional -

Belajar membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Money

Serikat Pekerja JICT Tolak RJ Lino Obral Aset Negara

3 Agustus 2015   09:50 Diperbarui: 3 Agustus 2015   09:50 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 1999, pemerintah melakukan privatisasi PT Jakarta International Container Terminal (JICT) dengan masa konsesi 20 tahun (1999-2019). Tahun 2014 atau ketika masa konsesi masih 5 tahun lagi, Dirut PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II) RJ Lino kembali melakukan privatisasi PT JICT dan Terminal Petikemas Koja. Jika pada tahun 1999, saat diprivatisasi arus bongkar muat di terminal petikemas tersebut hanya 1,4 juta TEUS, tahun 2014 arus petikemas sudah mencapai 3,2 juta TEUS. Sebagai gambaran, 3,2 juta TEUS itu setara dengan 3,2 juta box container ukuran 20 feet!

Dengan kapasitas 1,4 juta TEUS di tahun 1999, pemerintah menerima dana privatisasi JICT 243 juta dollar AS. Sedangkan TPK Koja saat dilepas dari Humpuss ke HPH sebesar 140 juta dollar AS.  Namun di tahun 2014, Dirut Pelindo II menjual JICT dengan harga hanya 215 Juta Dollar AS. Sedangkan TPK Koja dijual dengan harga hanya 50 juta dollar AS. Total penjualan kedua terminal petikemas hanya US 265 juta dollar AS.

Sebagai catatan, JICT dan TPK Koja adalah anak perusahaan Pelindo II yang memiliki kinerja keuangan sangat baik. Keuntungan JICT setiap tahun rata-rata mencapai 160 juta dollar AS atau sekitar Rp 2 Triliun. Belum termasuk TPK Koja yang dalam satu tahun rata-rata Rp 1 T.

Ironisnya, RJ Lino menjual JICT dan TPK Koja dengan harga hanya 265 juta dolar atau setara dengan Rp 3,4 Triliun rupiah.  Artinya, JICT dan TPK Koja dijual setara dengan keuntungan kedua terminal 1,5 Tahun. Dengan masa konsesi 25 tahun (2014-2039), Serikat Pekerja JICT menghitung potensi kerugian negara akibat obral aset itu mencapai Rp 20 Triliun.

[caption caption="Aksi Unjuk Rasa Pekerja JICT di depan istana negara menolak privatisasi (foto: aktualcom)"][/caption]

Yang lebih aneh lagi, jika privatisasi tahun 1999 ketika negara dalam krisisi ekonomi yang hebat, pemerintah terlibat penuh (Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan, Departemen Keuangan, Departemen Perdagangan, Kementerian Negara Pemberdayaan BUMN) serta DPR, privatisasi tahun 2014 (tepatnya 5 Agustus 2014) dilakukan RJ Lino justru di masa transisi pemerintahan SBY Boediono dan Jokowi JK. Privatisasi itu pun tanpa ada ijin sama sekali baik dari Kementerian Perhubungan maupun Kementerian BUMN.

Deputi Menteri BUMN era Dahlan Iskan mengatakan, Kementerian BUMN tidak memberikan ijin privatisasi karena tidak melalui tender terbuka. Sedangkan Kementerian Perhubungan berkali-kali mengirimkan surat kepada Pelindo II dan Kementerian BUMN agar privatisasi JICT dan TPK Koja mengindahkan UU No 17/2008 tentang pelayaran yang menyebutkan konsesi pelabuhan merupakan kewenangan Kementerian Perhubungan.

Berikut ini kutipan catatan Serikat Pekerja JICT tentang aksi menolak tindakan RJ Lino menjual aset negara.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pemogokan karyawan/pekerja Jakarta International Container Terminal (JICT) yang melumpuhkan Tanjung Priuk pada 28 Juli 2015 merupakan dampak dari persoalan besar yang tidak terkait dengan kesejahteraan pekerja melainkan penyelamatan aset nasional dan pemberlakuan good corporate governance.

Pemogokan itu terselesaikan ketika dua karyawan JICT – Manajer HRD dan Manajer IT- yang sudah dipecat manajemen Pelindo II, dikembalikan pada posisinya semula.

Namun pertikaian ini akan terus berlanjut karena pada dasarnya pemecatan itu merupakan respons manajemen atas keterlibatan kedua karyawan tersebut dalam aksi Serikat Pekerja (SP) JICT menolak keputusan Pelindo II memperpanjang konsesi JICT ke perusahaan asing. SP JICT menyatakan aksi gugatan akan dilanjutkan sebelum masalah konsesi JICT ini terselesaikan.

Dirut Pelindo II RJ Lino sudah mengeluarkan rangkaian pernyataan yang menyudutkan SP JICT. Lino menyatakan SP JICT adalah ‘musuh bangsa’, ‘tak tahu terimakasih’, ‘memiliki kepentingan pribadi’ dan sebagainya. Lino juga menyatakan ‘negara akan untung 400 juta dolar AS dari konsesi JICT ke Hutchison Port Holding (HPH) Hongkong’.

Untuk itu melalui surat pernyataan ini, SP JICT perlu menegaskan duduk perkara penolakan SP terhadap keputusan Dirut Pelindo II:

1. Yang jadi persoalan adalah keputusan Dirut Pelindo II RJ Lino pada 2014 untuk begitu saja memperpanjang konsesi JICT ke HPH (Hongkong) yang sebenarnya baru akan berakhir pada 2019, dengan nilai penjualan sangat rendah, tanpa tunduk pada UU Pelayaran. Sampai saat ini RJ Lino tidak bisa menjelaskan secara rasional mengapa perpanjangan itu harus dilakukan 5 (lima) tahun sebelum masa konsesi berakhir, terkesan mengobral dengan harga murah tanpa mengindahkan peraturan perundangan dan rekomendasi berbagai pihak peninjau yang dibentuk Pelindo II sendiri.

2. Menurut SP, ada kejanggalan luar biasa dalam hal perpanjangan konsesi ke HPH ini. Sebagai catatan, pemberian konsesi JICT kepada Hutchison berlangsung pada 1999. Ketika itu ditetapkan kepemilikan Hutchison Port Holding 51%, Pelindo II 48,9% dan Koperasi Pegawai Maritim 0,1%.

Perjanjiannya, konsesi ini berlangsung 20 tahun: 1999-2009. Ketika itu, JICT dijual sebesar USD 243 juta dengan kapasitas volume 1,4 juta TEUS.

Pemberian konsesi kepada HPH ini bisa dipahami mengingat kondisi ekonomi Indonesia yang sulit saat itu dan adanya kebutuhan transfer keahlian dan pengetahuan.

Masalahnya, kenapa tiba-tiba saja pada 2014 di masa-masa transisi dari pemerintahan SBY ke pemerintahan JOKOWI, Lino mengambi keputusan mengejutkan yaitu memperpanjang konsesi JICT ke HPH dengan skema baru yaitu Pelindo II (51%) dan HPH (49%), dengan nilai penjualan lebih rendah, yaitu hanya USD 200 juta (walau kemudian dinaikkan menjadi USD 215 juta pada 2015) padahal kapasitas volumennya sudah meningkat dua kali lipat menjadi 2,8 juta TEUS?

3. Lino menetapkan penjualan JICT dengan harga terlalu murah. Hasil verifikasi Financial Research Institute (FRI) yang adalah konsultan independen Dewan Komisaris Pelindo II menyatakan bahwa nilai JICT saat ini seharusnya adalah USD 854 juta (sedangkan Deutsch Bank yang menjadi Financial Advisor Pelindo II, memberikan penilaian USD 639 juta). Dengan perhitungan FRI, bila HPH hanya mengeluarkan dana USD 215 juta, HPH seharusnya hanya berhak memiliki 25,2% JICT. Nilai penjualan JICT ke HPH yang USD 215 juta itu hanya setara dengan keuntungan JICT selama dua tahun. Karena itu, patut dipertanyakan keputusan Lino untuk menjual JICT dengan harga serandah itu.

4. Keputusan Lino mengabaikan fakta bahwa selama 16 tahun terakhir (sejak 1999), JICT sudah berkembang menjadi salah satu pelabuhan petikemas terbaik bukan saja di Indonesia namun juga di Asia. Selama 16 tahun itu SDM Indonesia sudah belajar cara mengelola pelabuhan peti kemas secara mandiri dan menguasai tenologi yang dibutuhkan tanpa memerlukan keterlibatan pihak asing. Dengan kata lain, transfer know-how yang diperlukan pada 1999 seharusnya sudah selesai.

JICT sudah berkembang menjadi perusahaan menguntungkan dengan pendapatan tahun 2013 mencapai USD 280 juta. Keuntungan JICT dengan skema lama mencapai USD 106 juta. Namun bila tanpa keterlibatan HPH, keuntungan yang diperoleh untuk negara Indonesia bisa mencapai USD 160 juta.

Adalah sangat mengherankan bahwa dengan potensi keuntungan sebesar itu, Lino begitu saja memutuskan memperpanjang konsesi JICT dengan harga rendah sehingga sangat menguntungkan pemodal asing dan mengabaikan kepentingan bangsa?

5. Yang juga mengherankan adalah Lino begitu saja mengabaikan peraturan perundangan yang ada. Proses perpanjangan konsesi itu dilakukan tanpa persetujuan Menteri Perhubungan yang berarti merupakan pelanggaran UU 2008 tentang Pelayaran. (Dalam hal ini, dengan merujuk UU Pelayaran, Pelindo II pada dasarnya adalah operator sementara pihak yang berhak memberikan konsesi atau perpanjangannya adalah Kementerian Perhubungan)

Menteri Perhubungan Ignasius Jonan sudah menyatakan perpanjangan konsesi tersebut harus mendapat persetujuan Kementeriannya. Melalui suratnya (AL 107/1/5 Phb 2015) Menhub bahkan sudah menyatakan agar Menteri BUMN sebaiknya TIDAK MEMPERPANJANG KERJASAMA PIHAK KETIGA untuk ‘potensi negara dan kemandirian nasional’. Namun, Lino mengabaikan begitu saja kewajiban meminta persetujuan dari Menhub. Kepada tempo.co (02/07/2015), Lino menyatakan: “Kontrak JICT bukan urusan Menhub!”.

6. Lino menyatakan ia memang sudah meminta persetujuan dari Menteri BUMN. Rini Soemarno memang sudah mengeluarkan surat yang menyatakan ia pada prinsipnya menyetujui perpanjangan konsesi. Tapi dalam surat yang sama, Rini meminta Pelindo II memperhatikan aspek hukum terkait pemisahan fungsi operator dan regulator sesuai UU No 17 2008. Dengan kata lain, menteri BUMN ingin mengingatkan bahwa Pelindo II tidak dapat begitu saja melakukan perpanjangan konsesi tanpa persetujuan pihak regulator, yaitu Kementerian Perhubungan. Dengan kata lain, Menteri BUMN sebenarnya menyatakan menyetujui perpanjangan konsesi, selama syarat-syaratnya dipenuhi. Sangat mengherankan bahwa Lino mengklaim bahwa ia sudah mendapat persetujuan Menteri BUMN.

7. Lino berkilah ia sudah meminta opini Jaksa Agung Muda Perdata Tata Usaha Negara yang menyatakan konsesi ke HPH memang tidak perlu tunduk pada UU Pelayaran 2009, mengingat keputusan itu dilakukan pada 1999 jauh hari sebelum UU dikeluarkan. (Pada 1999, Pelindo memang berperan sekaligus sebagai regulator dan operator pelabuhan. Tapi ini berubah sejak dikeluarkannya UU Pelayaran tahun 2008, di mana Pelindo hanya menjadi operator pelabuhan). Pertanyaannya, opini Kejaksaan itu mungkin bisa diterapkan pada kasus pemberian konsesi pada 1999, namun apakah pemberian konsesi pada 2019 (atau 2014) juga tidak perlu tunduk pada UU Pelayaran 2009? Selain itu apakah OPINI JAKSA MUDA AGUNG PERDATA TUN cukup kuat digunakan sebagai rujukan berhadapan dengan ketentuan UU?

8. Lino juga mengabaikan begitu saja rekomendasi Oversight Committee (Erry Riyana, Faisal Basri, Li Chen Wei, Natalie Soebagio, Fikri Assegaf) yang dibentuk Pelindo II bahwa perpanjangan konsesi sebaiknya dilakukan dengan tender terbuka, agar tercapai harga optimal dan pemanfaatan sebesar-besarnya untuk kepentingan nasional. Lino tidak melakukan tender terbuka melainkan begitu saja memutuskan perpanjangan konsesi dengan HPH, dengan harga murah.

9. Lino juga mengabaikan begitu saja penilaian Direktur BPKP Bambang Utoyo yang menyatakan bahwa proses perpanjangan JICT harus dilakukan dengan tender terbuka untuk menghindari post bidder claim yang melekat pada peserta tender di awal tahun 1999. Penilaian BPKP ini diabaikan Lino begitu saja.

Dengan latar belakang itulah, SP JICT akan terus menggugat keputusan Lino. SP tidak ingin aset bangsa yang sangat menguntungkan ini dipindahtangankan begitu saja untuk kepentingan asing, apalagi tanpa mengindahkan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia.

Idealnya dalam pandangan SP, JICT dikelola sepenuhnya oleh anak bangsa dengan cara yang membawa manfaat sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia. Namun kalaupun keterlibatan modal asing masih diperlukan, itu seharusnya tetap dalam skema yang membawa manfaat sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia dan tetap dengan tunduk pada aturan hukum yang ada di Indonesia.

Masalahnya, alih-alih menghadapi gugatan SP ini dengan cara yang menempatkan kepentingan bangsa di atas segala-galanya, manajemen Pelindo II malah melakukan tindak balasan dengan beragam bentuk intimidasi, perubahan struktur, ancaman dan pemecatan. Di Koran Tempo (09/08/2014), Lino menyatakan” “Penolak Hutchison Musuh Negara”.

Berlangsungnya pemogokan total JICT 28 Juli lalu terjadi semata-mata karena SP menolak dipecatnya dua karyawan yang tidak didasarkan alasan professional dan masuk di akal.

Dengan kata lain, gerakan SP JICT ini bukanlah didasarkan pada kepentingan pribadi atau kelompok atau ideologi anti-asing atau pasar bebas. Yang diperjuangkan adalah pemanfaatan asset bangsa sebesar JICT untuk kepentingan bangsa sebasar-besarnya dengan cara yang mengikuti prosedur hukum dan peraturan perundangan yang berlaku.

SP JICT sebenarnya justru heran dengan kekerasan sikap Lino yang seolah-olah berhak mengabaikan begitu saja segenap peraturan perundangan dan bahkan menantang semua pihak yang berusaha mengoreksi langkah-langkahnya yang salah.

Ada pihak yang mempertanyakan mengapa SP JICT baru bergerak sekarang dan bungkam di saat Lino mengeluarkan keputusan tersebut di era pemerintahan SBY. Itu pernyataan tidak benar. Gerakan SP JICT sudah dilakukan sejak 2014 di saat Lino mengeluarkan keputusan perpanjangan konsesi tersebut. SP bahkan melakukan aksi protes ke istana Negara sehingga pada Agustus 2014 proses perpanjangan konsesi sempat ditunda.

Kini isu JICT akan terus bergulir lagi. SP JICT akan berjuang total untuk menyelamatkan asset bangsa ini. Pemerintah Jokowi diharapkan bersikap bijak dan menempatkan kepentingan nasional sebagaimana dimanatkan NawaCita.***

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun