Pendahuluan
Kata “pranata” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta adat-istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku itu; dan seluruh perlengkapannya guna memenuhi berbagai kompleks kebutuhan manusia di masyarakat; atau institusi. Sedangkan “sosial” berkenaan dengan masyarakat.[1] Kaitan “pranata sosial” dengan “hukum Islam” secara operasional didefinisikan sebagai institusi atau lembaga yang berada di masyarakat yang diatur berdasarkan aturan doktrin Islam. Pada kesempatan ini, maksud lembaga ialah yang berkaitan dengan ekonomi atau lebih khususnya dengan sistem keuangan menurut Islam (syariah).
Berdasarkan studi kepustakaan, beberapa lembaga dan sistem keuangan Islam yang sudah berdiri sejak peradaban Islam awal (zaman Rasulullah SAW) hingga kini di Indonesia, ialah: (1) Badan Amil Zakat [BAZ]; (2) Badan Perwakafan Nasional; (3) Baitul Maal wa Tamwil [BMT]; (4) Bank Syariah; (5) Bank Perkreditan Rakyat Syariah [BPRS]; (6) Asuransi Syariah; (7) Obligasi Syariah; (8) Pegadaian Syariah; (9) Reksadana Syariah; dan (10) Badan Arbitrase Syariah Nasional.[2]
Sementara itu, menurut M. Zaidi Abdad, pada sinopsis bukunya: Lembaga Perekonomian Ummat di Dunia Islam, menyebutkan bahwa saat ini pelaksanaan lembaga-lembaga perekonomian umat yang berlandaskan syariah itu belumlah optimal atau dikelola secara profesional. Semua itu belum melembaga dalam tataran yang aplikatif. Padahal, sesungguhnya, lembaga perekonomian umat itu jika ditangani secara profesional dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan umat.[3]
Dari prasaran di atas, makalah sederhana ini mencoba-uraikan lembaga-lembaga keuangan Islam tersebut beserta identifikasi problematikanya yang terjadi di Indonesia secara definitif-literatif.
Pembahasan
Institusi keuangan belum dikenal dengan secara jelas dalam sejarah Islam. Namun prinsip-prinsip pertukaran dan pinjam-meminjam sudah ada dan banyak terjadi pada zaman Nabi SAW bahkan sebelumnya.[4] Tidak dipungkiri bahwa kemajuan pembangunan ekonomi dan perdagangan, telah mempengaruhi lahirnya institusi yang berperan dalam lalu lintas keuangan.
Lembaga keuangan telah berperan sangat besar dalam pengembangan dan pertumbuhan masyarakat industri modern. Produksi berskala besar dengan kebutuhan investasi yang membutuhkan modal besar tidak mungkin dipenuhi tanpa bantuan lembaga keuangan. Lembaga keuangan merupakan tumpuan bagi para pengusaha untuk mendapatakan tambahan modalnya melalui mekanisme kredit dan menjadi tumpuan investasi melalui mekanisme saving. Sehingga lembaga keuangan telah memainkan peranan yang sangat besar dalam mendistribusikan sumber-sumber daya ekonomi di kalangan masyarakat, meskipun tidak sepenuhnya dapat mewakili kepentingan masyarakat yang luas.[5]
Kalimat terakhir menjadi realita di masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, misalnya bank konvensional menerapkan sistem dan instrumen bunga (riba) yang jelas diharamkan Islam seperti pada QS al-Baqarah: 275,
... Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ...
Operasionalisasi sistem dan instrumen bunga (riba) pada bank konvensional secara sederhana berarti penyimpan dana diberi bunga (bonus), peminjam diberi bunga (denda). Hal ini menunjukkan ada pihak yang sangat diuntungkan, dan sebaliknya ada pihak yang sangat dirugikan. Padahal kedua pihak (penyimpan dan peminjam) sesungguhnya sama-sama telah berikhtiar dalam mengelola dana tersebut. Dengan demikian sedikitnya terdapat dua masalah yang disoroti Islam untuk menyeimbangkan prinsip “pertama” dalam interaksi ekonomi, yakni “ingin untung”. Pertama, transaksi berdasarkan suka sama suka (‘an taraadlin) sebagaimana firman Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (QS an-Nisa: 29).
Konsep ‘an taraadlin melahirkan sistem bagi hasil (profit sharing) di antara shahibul maal (penyimpan/bank) dengan mudharib (peminjam).[6] Dan kedua, instrumen bunga (riba) bertentangan dengan “zat” dana atau uang tersebut yang sesungguhnya berasal dan milik Allah SWT karena Dialah yang menciptakannya. Semua ciptaan Allah itu tunduk pada kehendak dan ketentuan-Nya (QS 5:120 dan 20:6).[7]
Umat Islam mengalami simalakama vis a vis lembaga keuangan konvensional; di satu sisi dibutuhkan, di sisi lain diharamkan. Namun, atas nama dan dengan keimanan yang kuat, sesungguhnya doktrin dan peradaban Islam telah mengajarkan bahwa ada lembaga keuangan yang sesuai dengan syariat (masyru’). Karena itu, harus dipahami dan dilakukan! Insya Allah...
Berikut uraian Drs. H. Ahmad Supardi Hasibuan, MA., Kepala Kantor Kemenag Riau, perihal lembaga-lembaga keuangan yang dimaksud.
- Badan Amil Zakat [BAZ] merupakan sebuah lembaga keagaamaan yang beregerak dalam bidang perekonomian yang salah satu tugas pokoknya adalah mengentaskan masyarakat khususnya umat Islam dari kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Pembentukan lembaga ini adalah didasarkan atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Badan Amil Zakat diharuskan dibentuk secara berjenjang mulai dari tingkat Pusat sampai dengan tingkat Kecamatan. Hal ini dimaksudkan agar potensi umat Islam dalam bentuk zakat, infaq dan shadaqah dapat diberdayakan secara maksimal sehingga berdaya guna dan berhasil guna. Hal ini dirasa sangat penting sebab zakat, infaq dan shadaqah merupkan potensi umat Islam yang dapat komplementer dengan pembangunan nasional, sebab potensi zakat, infaq dan shadaqah apabila dapat diberdayakan secara maksimal, maka akan mendatangkan dana yang cukup besar yang dapat dipergunakan untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa dan negara.
- Badan Perwakafan Nasional merupakan salah satu lembaga ekonomi Islam yang cukup dikenal di Indonesia, namun disayangkan lembaga ini belum memberikan kontribusi yang signifikan bagi keberlangsungan bangsa dan negara. Hal ini disebabkan karena wakaf sebagai aset berharga umat Islam dan sangat potensial, belum dimanfaatkan secara maksimal dan belum menghasilkan secara optimal. Potensi wakaf yang sangat besar tersebut kalaupun telah dikelola sebahagiannya, namun pengelolaan tersebut belum bersifat produktif, sehingga dengan demikian harta-harta wakaf itu dalam bentuk lahan tidur yang tidak dapat menghasilkan secara ekonomis. Karena itu, Pemerintah bersama DPR RI bersepakat menetapkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, sehingga pengelolaan wakaf secara berdayaguna dan berhasil guna mendapat pengakuan secara yuridis formal dari Pemerintah dan tidak ada lagi alasan untuk tidak melaksanakannya sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam dalam konteks kekinian dan kedisinian kita.
- Baitul Maal wa Tamwil [BMT] merupakan sebuah lembaga negara yang bergerak dalam bidang penampungan harta umat Islam dan negara, baik berupa pajak maupun dari yang lainnya. BMT ini semacam Kas Negara ataupun Departemen Keuangan pada zaman modern yang bertugas menyimpan dan mengelola keuangan Negara sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada publik secara transparan dan akuntabel.
- Bank Syariah, sebagaimana disebutkan Fuad Mohammad Fakhruddin adalah bank di mana kebanyakan pendirinya adalah orang yang beragama Islam dan seluruhnya atau sebahagian besar sahamnya kepunyaan orang Islam sehingga kekuasaan dan wewenang baik mengenai administrasi maupun mengenai yang lainnya terletak di tangan orang Islam; sedangkan menurut Karnaen A. Parwaatmadja, Bank Islam atau Bank Syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, yakni bank dengan tata cara dan operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam. Salah satu unsur yang harus dijauhi dalam muamalah Islam adalah praktik-praktik yang mengandung unsur riba. Dari definisi ini, maka disimpulkan bahwa Bank Islam ataupun Bank Syariah adalah bank yang mana seluruh atau sebahagian besar sahamnya milik orang Islam dan beroperasi dengan menggunakan ketentuan-ketentuan syariah Islam (Quran dan Sunnah) yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
- Bank Perkreditan Rakyat Syariah [BPRS] adalah bank perkreditan rakyat yang melakukan usaha berdasarkan prinsip syariah ataupun disebut juga bank perkreditan rakyat yang pola operasionalnya mengikuti prinsip-prinsip muamalah Islam. BPRS ini dapat dibentuk dengan badan hukum berupa Perseroan terbatas (PT), Koperasi dan Perusahaan Daerah. BPRS didirikan sebagai langkah aktif dalam rangka restrukturisasi perekonomian Indonesia yang dituangkan dalam berbagai paket kebijaksanaan keuangan, moneter, dan perbankan secara umum, dan secara khusus mengisi peluang terhadap kebijaksanaan bank dalam penetapan tingkat suku bunga (rate of interest) yang selanjutnya secara luas dikenal sebagai sistem perbankan bagi hasil atau sistem perbankan Islam. Pendirian BPRS bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam terutama masyarakat golongan ekonomi menengah, meningkatkan pendapatan per kapita, menambah lapangan kerja, mengurangi urbanisasi serta membina semangat ukhuwah Islamiyah melalui kegiatan ekonomi. BPRS ini merupakan aset berharga umat Islam yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan perekonomian umat Islam, namun sangat disayangkan dari 50 unit BPRS yang telah berdiri di Indonesia, yang sudah operasional barulah 17 unit. Hal inipun belum menunjukkan kinerja yang maksimal dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan umat Islam.
- Asuransi Syariah atau takaful yang berarti saling memikul risiko di antara sesama orang Islam, sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas risiko yang lainnya. Saling pikul risiko ini dilakukan atas dasar tolong-menolong dalam kebaikan di mana masing-masing mengeluarkan dana/sumbangan/derma (tabarruk) yang ditunjuk untuk menanggung resiko tersebut. Takaful dalam pengertian tersebut sesuai dengan QS al-Maidah/5: 2, Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
- Obligasi Syariah adalah suatu kontrak perjanjian tertulis yang bersifat jangka panjang untuk membayar kembali pada waktu tertentu seluruh kewajiban yang timbul akibat pembiayaan untuk kegiatan tertentu menurut syarat dan ketentuan tertentu serta membayar sejumlah manfaat secara priodik menurut akad. Perbedaan mendasar antara Obligai Syariah dan Obligasi Konvensional terletak pada penetapan bunga yang besarnya sudah ditentukan di awal transaksi jual beli, sedangkan pada Obligasi Syariah saat perjanjian jual beli tidak ditentukan besarnya bunga, yang ditentukan adalah berapa proporsi pembagian hasil apabila mendapatkan keuntungan di masa mendatang. Obligai Syariah dibagi kepada jenis-jenis obligasi berikut: (a) Obligasi Mudharabah, yaitu obligasi yang menggunakan akad mudharabah (akad kerjasama antara pemilik modal/shahibul maal/investor yang menyediakan dana penuh 100% dan tidak boleh aktif dalam pengelolaan usaha dan pengelola/mudharib/emiten mengelola harta secara penuh dan mandiri dengan persyaratan-persyaratan tertentu; dan (b) Obligasi Ijarah, yaitu obligasi berdasarkan akad ijarah (suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian), artinya pemilik harta memberikan hak untuk memanfaatkan objek dengan manfaat tertentu dan membayar imbalan kepada pemilik objek. Dalam akad ijarah disertai adanya perpindahan manfaat tetapi tidak perpindahan kepemilikan.
- Pegadaian Syariah atau rahn; secara bahasa berarti at-tsubut (tetap), al-dawam (kekal), dan al-habas (jaminan). Secara istilah, rahn berarti menjadikan sesuatu barang yang berharga sebagai jaminan utang dengan dasar bisa diambil kembali oleh orang yang berutang setelah dia mampu menebusnya. Pegadaian Syariah telah berdiri dan beroperasi di Indonesia pada 9 kantor wilayah, 22 pegadaian unit syariah, dan 10 kantor gadai syariah. Jumlah pegadaian tersebut masih jauh dari mencukupi dan memadai sebab jumlah itu baru 2,9% dari total 739 perum pegadaian cabang di seluruh Indonesia. Idealnya, di mana ada perum pegadaian, maka di situ pula ada perum pegadaian syariah, sehingga tersedia alternatif pilihan bagi masyarakat.
- Reksadana Syariah adalah reksadana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta dengan manajer investasi sebagai wakil shahibul maal, maupun antara manajer investasi sebagai wakil shahibul maal dengan pengguna investasi. Reksadana syariah dan reksadana konvensional sebenarnya hampir sama pengertian dan bentuknya, hanya saja berbeda dari sisi pengelolaan, kebijaksanaan investasi, akad, pelaksanaan investasi, dan pembagian keuntungan.
- Badan Arbitrase Syariah Nasional adalah suatu badan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas untuk menyelesaaikan perkara perbankan di luar pengadilan umum. Badan ini bertujuan: (a) Menyelesaikan perselisihan-perselisihan/sengketa-sengketa keperdataan dengan prinsip mengutamakan usaha-usaha perdamaian/ishlah sebagaimana yang dimaksud dalam QS al-Nisa: 128 dan al-Hujurat: 9; (b) Menyelesaikan sengketa bisnis yang operasionalnya mempergunakan hukum Islam; (c) Menyelesaikan kemungkinan adanya sengketa di antara bank-bank syariah; dan (d) Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa muamalah/perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, jasa, industri dan lain sebagainya.[8]
Kesepuluh lembaga keuangan Islam di atas menjadi kajian “fiqh muamalah” dalam arti sempit, sebagaimana pendapat Hendi Suhendi, yakni aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda.[9] Sedangkan menurut TM Hasbi Ash-Shiddqiey, secara historis (ashal), lembaga-lembaga keuangan itu bermula dari syakhsyiyyah thabi’iyyah, yakni setiap pribadi yang mempunyai hak dan kewajiban. Seiring perkembangannya, karena berinteraksi atau bermuamalah, menjadi seorang pribadi dalam arti dapat memiliki, dapat mempunyai, dan dipandang sebagai kepunyaan manusia bersama karena itu diperlukan lembaga-lembaga atau badan-badan yang mengurus kepentingan-kepentingan bersama tersebut.[10]
Apabila diperhatikan teks hukum yang ada dalam ketentuan syari’at Islam, beberapa lembaga dan instrumen keuangan itu secara garis besar dikelompokkan ke dalam: (1) Kegiatan Nonbank dan (2) Kegiatan Perbankan.
Kegiatan Nonbank, adalah: Lembaga Zakat, Ijarah (prinsip sewa), Kafalah/zaman (uang jaminan atau garansi), Rahn (penggadaian), Wada (simpanan/deposit), Pinjaman, Salam, Istishna’, Syirkah, Aqad, Waris, Qiradh, al-Muzara’ah, dan al-Musaqah. Adapun Kegiatan Perbankan adalah: Baitul Mal wa Tamwil (BMT), al-Wadi’ah (pinjaman), al-Mudharabah, Musyarakah, al-Bai’u Bithaman Ajil (BBA), Murabahah, Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), Bank Syariah, Asuransi Takaful, dan Koperasi.[11]
Dalam operasionalnya, Lembaga Keuangan Syariah berada dalam koridor-koridor atau prinsip-prinsip: (1) Keadilan, yakni berbagi keuntungan atas dasar penjualan riil sesuai kontribusi dan risiko masing-masing pihak; (2) Kemitraan, yang berarti posisi nasabah investor (penyimpan dana), dan pengguna dana, serta lembaga keuangan itu sendiri, sejajar sebagai mitra usaha yang saling bersinergi untuk memperoleh keuntungan; (3) Transparansi, lembaga keuangan syariah akan memberikan laporan keuangan secara terbuka dan berkesinambungan agar nasabah investor dapat mengetahui kondisi dananya; dan (4) Universal, artinya tidak membedakan suku, agama, ras, dan golongan dalam masyarakat sesuai dengan prinsip Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.[12]
Selanjutnya, perkembangan industri keuangan syariah di dunia terlihat begitu pesat. Sistem dan industri keuangan syariah tidak lagi menjadi isu lokal yang sifatnya terbatas ada di antara negara-negara muslim saja, tetapi juga telah menjadi trend global di mana negara-negara non-muslim sudah mengambil posisi dan inisiatif untuk mengadopsi serta mengembangkan sistem sekaligus industri keuangan syariah ini. Negara-negara yang memiliki industri keuangan terkemuka seperti Inggris, Prancis, Jepang, Hongkong, dan Singapura terlihat berlomba-lomba untuk menjadikan negara mereka sebagai pusat keuangan syariah, baik di dunia maupun di kawasan regional. Bahkan lembaga-lembaga keuangan dunia seperti World Bank dan International Monetary Fund (IMF) telah pula menyatakan bahwa pengembangan keuangan syariah telah menjadi salah satu program utama mereka.
Namun yang disayangkan perkembangan industri itu tidak diikuti dengan perkembangan sistem pendidikan yang memadai, yang pada akhirnya diharapkan mampu menyediakan SDM (sumber daya manusia) bagi industri. Ketiadaan SDM yang memadai pada semua aspek, seperti SDM di tingkat praktisi, regulator, pengawas syariah, hakim, auditor dan akademisi itu sendiri, membuat langkah-langkah pengembangan bisnis keuangan syariah menjadi relatif pragmatis. Upaya-upaya pemenuhan kebutuhan SDM secara instan membuat strategi pengembangan industri keuangan syariah terkesan mengabaikan prinsip-prinsip dasar syariah pada aspek operasional, produk, good governance dan sharia governance.
Selain itu, ketertinggalan sektor pendidikan dalam eksplorasi ilmu ekonomi dan keuangan syariah membuat lembaga pendidikan bergantung pada pengetahuan yang menjadi dasar penerapan oleh lembaga keuangan di dunia industri. Kecenderungan ini tentu tidak tepat dalam rangka mewujudkan industri keuangan syariah yang kuat dan sehat. Dengan kecenderungan seperti itu, akademisi tidak mampu memerankan fungsinya dalam menjaga dan memelihara sektor industri agar selalu in-line dengan substansi keilmuan yang diterapkan oleh industri, karena industri sudah memainkan peranan dominan dalam mengontrol perkembangan ilmu itu sendiri. Pada dasarnya akademisi dengan pengetahuannya yang memadai sepatutnya menjadi elemen pengontrol bagi perkembangan industri, agar industri selalu berada pada track ilmu yang benar yang bermuara pada sistem keuangan yang kuat yang memberikan manfaat maksimal bagi perekonomian. Pihak industri seharusnya menjadi mitra kalangan akademisi dalam memperkuat dan memperkaya ilmu, misalnya dalam memberikan masukan kelayakan praktik (practicability) dari ilmu-ilmu keuangan syariah.[13]
Fakta terakhir terbukti, misalnya Program Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun, Bogor, baru menyediakan Program Sudi Ekonomi Islam dengan 2 (dua) konsentrasi, yaitu konsentrasi Zakat dan Perbankan Syariah;[14] sedangkan UIN Bandung baru program studi Magister, belum Doktoral, dengan program studi Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah; dan menyediakan 4 (empat) peminatan: Ekonomi Pembangunan & Perencanaan, Ekonomi Keuangan dan Perbankan Syariah, Manajemen Syariah, serta Akuntansi Syariah.[15]
Karena itu, diperlukan keterlibatan semua pihak, terutama dari umat Islam Indonesia, untuk merealisasikan sekaligus mensosialisasikan lembaga keuangan Islam tersebut. Dalam hal ini, yang berkompeten sebagai regulator ialah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaran Haji Departemen Agama—sekarang: Kementerian Agama. Pada tahun 2004, salah satu programnya adalah program pembinaan lembaga-lembaga sosial dengan tujuan memberdayakan dan meningkatkan kapasitas serta kualitas lembaga sosial keagamaan. Di antara kegiatan pokok dari program tersebut adalah: (1) memberdayakan lembaga-lembaga sosial keagamaan seperti kelompok jamaah keagamaan, majlis taklim, organisasi keagamaan dan pemuda masjid, Baitul Mal wat-Tamwil, Badan Amil Zakat dan Nazir Wakaf; (2) meningkatkan kemampuan pengelola bagi lembaga sosial keagamaan; (3) mengembangkan sistem informasi lembaga sosial keagamaan; serta (4) melanjutkan upaya untuk melakukan kajian dan pengembangan dalam rangka meningkatkan mutu pembinaan lembaga-lembaga sosial keagamaan.[16]
Penutup
Dalam Islam, faktor ekonomi merupakan hal sangat penting dalam membangun kesejahteraan Umat Islam. Salah satu buktinya adalah eksistensi Bank Syari`ah dan mu`amalat di Indonesia. Keberadaannya sudah teruji dan terbukti ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi, maka bank ini tetap bertahan, sebab prinsip yang ditanamkan adalah bagi hasil (profit sharing) dan tidak ada yang dirugikan malah sebaliknya sama-sama untung.[17]
Abiaqsa, penulisa artikel online: “Peran Lembaga Keuangan Syariah dalam Pengembangan Ilmu Syariah, Hukum dan Ekonomi” memberi kesimpulan dan rekomendasi berikut: (1) Perkembangan aplikasi industri ekonomi dan keuangan Islam sejak awal sejalan dengan perkembangan keilmuannya, namun dua dekade terakhir ini perkembangan industri yang sangat pesat membuat pengembangan industri dan penyediaan SDM cenderung dilakukan dengan cara-cara yang instan, dan hal ini berisiki menimbulkan banyak masalah pada berbagai aspek, khususnya reputasi dan kemanfaatan industri bagi perekonomian; (2) Perkembangan industri ekonomi dan keuangan Islam tidak diikuti dengan perkembangan sistem pendidikan yang memadai, yang pada akhirnya terdapat kondisi kelangkaan jumlah SDM yang mumpuni bagi industri; (3) Diperlukan upaya lebih besar dalam eksplorasi keilmuan ekonomi dan keuangan Islam di tingkat lembaga pendidikan; (4) Diperlukan upaya riset yang lebih masif serta mencetak SDM yang kompeten dalam bidang ekonomi dan keuangan Islam; serta (5) Diperlukan dukungan semua pihak baik regulator, praktisi dan Kementerian Pendidikan Nasional dan Budaya serta Kementerian Agama dalam mempercepat upaya eksplorasi keilmuan ekonomi dan keuangan Islam.[18]
Penulis pribadi menyikapi lembaga keuangan Islam ini berpedoman pada dua kata kunci dalam interaksi ekonomi serta menjadi penutup tulisan ini adalah: (1) adil dan (2) tanggung jawab yang berdimensi duniawi dan ukhrawi.
Wa Allah a’lam.
Daftar Pustaka
Ali dkk, Lukman. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Ali, Mohammad Daud. 1988. Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI Press.
Anonim. 2004. Pedoman Pejabat Urusan Agama Islam. Edisi 2004. Jakarta: Departemen Agama.
Anonim. 2013/2014. Panduan Akademik Penulisan Tesis & Disertasi dan Kartu Rencana Studi. Bandung: Program Pascasarjana UIN.
Jambi, Abu Muhammad Dwiono Koesen al-. 2009. Selamat Tinggal Bank Konvensional: Haramnya Bank Konvensional dan Halalnya Bank Syariah. Jakarta: Tifa Publishing House.
Muhamad. 2001. Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah. Yogyakarta: UII Press.
Shiddqiey, TM Hasbi Ash-. 1997. Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.
Suhendi, Hendi. 1997. Fiqh Muamalah. Bandung: Gunung Djati Press.
Pustaka Online
Abdad, M. Zaidi. 2003. Lembaga Perekonomian Ummat di Dunia Islam. Bandung: Angkasa. Sumber: http://www.bukukita.com. akses: 19/03/2014.
Abiaqsa. “Peran Lembaga Keuangan Syariah dalam Pengembangan Ilmu Syariah, Hukum dan Ekonomi”. Sumber: http://abiaqsa.blogspot.com. Akses: 19/03/2014.
Alkadri. “Pranata Sosial dalam Islam”. Sumber: http://alkadri-stit.blogspot.com. Akses: 19/03/2014.
Anonim. “Lembaga-lembaga Ekonomi Sistem Ekonomi Islam Vs Lembaga Ekonomi Sistem Pasar”. Sumber: xa.yimg.com/, akses: 19/03/2014.
Anonim. “Program Sudi Ekonomi Islam”. Sumber: http://ppsuika.ac.id. Akses: 19/03/2014.
Anshorudin. “Lembaga Ekonomi Islam”. Sumber: http://anshorudin.blogspot.com. Akses: 19/03/2014.
Hasibuan, Ahmad Supardi. “Lembaga-lembaga Perekonomian dalam Islam”. Sumber: http://riau1.kemenag.go.id. Akses: 19/03/2014.
Pertama, Cahaya. “Studi Pranata Islam (MSI)”. Sumber: http://cahayapertama1.blogspot.com. Akses: 19/03/2014.
Zain, Amiruddin. “Lembaga Keuangan Syariah”. Sumber: http://amiruddinzain.wordpress.com. Akses: 19/03/2014.
[1] Lukman Ali dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h. 785-786 dan 958; etimologi “pranata” berasal dari bahasa Latin instituere yang berarti mendirikan. Kata bendanya adalah institution yang berarti pendirian. Dalam bahasa Indonesia institution diartikan institusi (pranata) dan institut atau lembaga. Institusi adalah sistem norma atau aturan yang ada. Institut adalah wujud nyata dari norma-norma, lihat Cahaya Pertama, “Studi Pranata Islam (MSI)”, Sumber: http://cahayapertama1.blogspot.com, akses: 19/03/2014.
[2] Lihat misalnya Ahmad Supardi Hasibuan, “Lembaga-lembaga Perekonomian dalam Islam”, Sumber: http://riau1.kemenag.go.id, akses: 19/03/2014.
[3] M. Zaidi Abdad, Lembaga Perekonomian Ummat di Dunia Islam (Bandung: Angkasa, 2003), Sumber: http://www.bukukita.com, akses: 19/03/2014.
[4] Lihat misalnya Abu Muhammad Dwiono Koesen al-Jambi, Selamat Tinggal Bank Konvensional: Haramnya Bank Konvensional dan Halalnya Bank Syariah (Jakarta: Tifa Publishing House, 2009), h. 23-24, yang menyebutkan bahwa meski secara institusional belum berdiri, namun secara fungsional, bank sudah ada pada saat itu, yaitu dilakukan secara sendiri-sendiri oleh Rasulullah dan para sahabat.
[5] Anshorudin, “Lembaga Ekonomi Islam”, Sumber: http://anshorudin.blogspot.com, akses: 19/03/2014.
[6] Lihat Muhamad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah (Yogyakarta: UII Press, 2001), h. 23-24.
[7] Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf (Jakarta: UI Press, 1988), h. 5-6.
[8] M. Zaidi Abdad, loc.cit.
[9] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Bandung: Gunung Djati Press, 1997), h. 2.
[10] TM Hasbi Ash-Shiddqiey, Pengantar Hukum Islam (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 177-179.
[11] Anshorudin, loc.cit.
[12] Amiruddin Zain, “Lembaga Keuangan Syariah”, Sumber: http://amiruddinzain.wordpress.com, akses: 19/03/2014.
[13] Abiaqsa, “Peran Lembaga Keuangan Syariah dalam Pengembangan Ilmu Syariah, Hukum dan Ekonomi”, Sumber: http://abiaqsa.blogspot.com, akses: 19/03/2014.
[14] Anonim, “Program Sudi Ekonomi Islam”, Sumber: http://ppsuika.ac.id, akses: 19/03/2014.
[15] Anonim, Panduan Akademik Penulisan Tesis & Disertasi dan Kartu Rencana Studi (Bandung: Program Pascasarjana UIN, 2013/2014), h. 8 dan 33.
[16] Anonim, Pedoman Pejabat Urusan Agama Islam, Edisi 2004 (Jakarta: Departemen Agama, 2004), h. 13-14.
[17] Alkadri, “Pranata Sosial dalam Islam”, Sumber: http://alkadri-stit.blogspot.com, akses: 19/03/2014.
[18] Abiaqsa, loc.cit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H