Mohon tunggu...
Asad Kholilurrahman
Asad Kholilurrahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Dan Bercita Menjadi Dosen

Membaca dan menulis adalah hobiku tapi, boong. Jangan Mati sebelum bekarya.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Brandingkan Skill Dalam Mewujudkan Mimpi

16 Januari 2025   23:36 Diperbarui: 16 Januari 2025   23:36 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keterampilan ilustrasi, Sumber: istockphoto.com

Sejak kecil kita sudah ditanya apa cita-cita kita, dan di antara kita menjawabnya dengan beragam cita-cita, ada yang bilang ingin menjadi seorang guru, tentara, polisi, dokter, dan banyak lagi. Jawaban yang kita berikan penuh dengan keyakinan bahwa cita-cita itu akan terwujud tanpa melihat bagaimana proses dari mencapainya, jalan lika-likunya, serta halangan dan rintangan yang menjadi penghambat. Tapi tetap, sejak kecil hingga kita dewasa yang berumur 20 tahunan ini, harapan yang sudah dibangun sejak dulu itu tetap akan diwujudkan. Jadi, semua orang tanpa mengklasifikasi umur, semua punya cita-cita.

Tantangan Cita-Cita Era Sekarang

Dari banyaknya cita-cita yang disebutkan, tentunya kita sudah mempersiapkan bagaimana persyaratan dan apa yang harus dipenuhi bila kita bercita-cita, misalnya guru. Menjadi seorang guru, apa yang harus diasah? Tentu pengetahuan yang banyak, tulisan yang menjadi sumbangsih, dan komunikasi sebagai kemampuan untuk menjelaskan dan mengutarakan ilmu yang akan diajari.

Tapi, ternyata cita-cita yang kita bangun sejak kecil, setelah kita dewasa ternyata tidak gampang sebagaimana kita bayangkan pada masa kecil untuk mewujudkannya. Susah sekali. Kita masih membutuhkan uang, dan orang dalam (ordal). Sepertinya untuk mewujudkan cita-cita perlu uang dan bullsit jika ada yang mengatakan tidak butuh sama sekali uang. Uang bisa melakukan apa saja, bahkan cita-cita bisa dibeli oleh orang yang tak kompeten. Atau juga orang yang tidak kompeten ini bisa mewujudkannya dengan orang dalam, relasi keluarga, dan teman.

Sudah banyak terjadi dalam kehidupan kita ini. Entah apakah hanya di Indonesia berlaku suap-menyuap, atau juga di negara lain. Kenapa harus menyuap? Mengapa tidak bertarung dengan sehat seperti mengandalkan kemampuan? Kenapa masih menggunakan cara curang “kau beli cita-cita itu dengan uangmu” padahal dirimu tidak begitu ahli dan kompeten! Seharusnya aku yang cocok mendapatkan tempat tersebut. Tapi ternyata aku kalah, aku tidak punya uang untuk bisa menyogok panitia penyelenggara cita-cita itu.

Branding Skill Bukan Gaya

Tapi jangan menyerah, kendati tidak punya uang dan orang dalam, setidaknya masih punya satu andalan yaitu skill. Skill adalah kemampuan dan keahlian yang didapatkan melalui pendidikan, pelatihan, dan pengalaman kerja. Skill inilah yang dapat mengenalkan dirimu kepada orang lain bahwa kamu bisa diajak bekerja sama lantaran kemampuanmu itu. Jadi, tampakkan kemampuan ataupun keterampilan yang kamu punya, inilah yang aku sebut dengan “branding skill.” Sederhananya dari istilah tersebut adalah tampakkan keahlianmu pada orang-orang bahwa kamu bisa ini, bisa itu.

Tanpa branding skill kita tidak bisa menawarkan pada orang-orang kehebatan kita. Orang tidak tahu apa kemampuan kita. Setidaknya dengan branding skill seperti kemampuan menulis, harus ditampakkan dengan dibuktikan adanya buku, adanya penelitian yang telah dipublikasikan, dan hal lainnya. Jadi, meskipun kita tidak punya uang untuk membuat cita-cita itu terwujud atau membeli cita-cita dengan cara menyogok, dan tidak punya orang dalam, maka maksimalkan skill. Tawarkan pada orang-orang bahwa inilah kemampuan diriku, mari bekerja sama.

Orang akan mau bekerja sama bila saling menguntungkan. Rasa-rasanya tidak akan ada orang yang mau diajak bekerja sama bila tidak saling menguntungkan, malah menyusahkan kehidupan orang lain saja. Jadi, kemampuanmu itulah yang membuat orang akan tertarik pada kita, dan kita sebagai orang yang ingin mendapatkan keuntungan pasti akan mau tawaran tersebut. Inilah pentingnya branding skill daripada branding ganteng. Untuk apa ganteng, cantik, tapi tidak punya skill atau kemampuan yang bisa diandalkan dan ditawarkan.

Skill Dan Produktivitas Berjalan Bersama

Perlu diketahui bahwa skill tidak bisa diperoleh melalui renungan, ia berbentuk aksi. Jadi, untuk mengembangkan kemampuan, perlulah yang namanya asah, perlu juga didikan, dan yang tidak kalah penting lagi yaitu produktivitas. Produktivitas ini berupa keistiqamahan dalam mendalami apa yang akan menjadi kemampuan kita. Contohnya seperti menulis, atau penelitian, hal semacam ini perlu kemauan untuk belajar metodenya. Karena jika tidak, maka selamanya kita tidak akan mengerti bagaimana menulis dan meneliti.

Maka dari itu, bila kita seorang mahasiswa maka bacalah jurnal-jurnal, cobalah membuat penelitian seperti jurnal ataupun tesis, jauhkan dulu ponsel dari hadapan kita. Karena ponsel lah yang sering kali mengalihkan fokus kita. Dapat dilihat betapa banyak mahasiswa di warung kopi yang tidak produktif oleh kecanduan game online. Atau hanya sekadar nongkrong ngobrol tidak jelas arah. Jadi, sulit mengembangkan skill atau kemampuan itu tanpa dibarengi dengan aktivitas produktif.

Produktif itu bisa dipahami dengan suatu penghasilan yang bermanfaat dari “kefokusan-energi-waktu.” Bila kamu fokus terhadap sesuatu yang kamu sukai, kemudian dengan energi yang selalu tinggi kamu dengan rasa semangatmu selalu senang melakukannya, hingga waktu sempat yang kamu gunakan dengan baik akan memberikan manfaat baik pula pada kita dan orang lain.

Banyak orang bisa fokus, energinya bagus, tapi ia selalu sibuk, maka sulit sekali ia akan produktif. Pun juga sama, bila ia punya waktu, dan bisa fokus, tapi badan kurang fit, maka sulit sekali bisa produktif. Maka memang produktivitas ini harus memenuhi komponen tiga di atas, dengan begitu gunakan sebaik mungkin selagi belum datang masa sakit, masa sibuk, dan masa yang menyebabkan kecamuk pikiran hingga tidak fokus.

Konsekuensi Skill

Yang harus disadari pula adalah mengenai konsekuensi dari skill yang kamu tawarkan pada orang-orang. Bahwa kita harus siap bertanggung jawab atas apa yang menjadi tugas yang diamanahkan pada kita, dan kita harus berlapang dada bila skill yang kita punya tidak bisa memberikan ekspektasi tinggi sebagaimana bayangan-bayangan kita sebelum bergabung dengan lapisan sosial tersebut. Dan karena hidup ini dinamis, maka konsekuensinya lagi adalah kita harus dituntut dan bisa mengembangkan dengan belajar dari kemampuan kita itu.

Jadi, dari sekarang mulailah membangun skill, kita baca dengan cepat apa yang menjadi kemampuan kita, bila ditemukan maka lakukanlah pendalaman dengan berlatih, atau dengan cara apa pun yang sekiranya kita ahli betul dengan apa yang kita suka tersebut. Jadilah versi terbaik dengan orang-orang yang sudah mulai dari awal, bersainglah dengan memberikan yang terbaik. Maka, dengan versi terbaikmu, skillmu akan terlihat oleh orang-orang bahwa dirimulah yang pantas, bukan dia yang tidak kompeten itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun