Sejak kecil kita sudah ditanya apa cita-cita kita, dan di antara kita menjawabnya dengan beragam cita-cita, ada yang bilang ingin menjadi seorang guru, tentara, polisi, dokter, dan banyak lagi. Jawaban yang kita berikan penuh dengan keyakinan bahwa cita-cita itu akan terwujud tanpa melihat bagaimana proses dari mencapainya, jalan lika-likunya, serta halangan dan rintangan yang menjadi penghambat. Tapi tetap, sejak kecil hingga kita dewasa yang berumur 20 tahunan ini, harapan yang sudah dibangun sejak dulu itu tetap akan diwujudkan. Jadi, semua orang tanpa mengklasifikasi umur, semua punya cita-cita.
Tantangan Cita-Cita Era Sekarang
Dari banyaknya cita-cita yang disebutkan, tentunya kita sudah mempersiapkan bagaimana persyaratan dan apa yang harus dipenuhi bila kita bercita-cita, misalnya guru. Menjadi seorang guru, apa yang harus diasah? Tentu pengetahuan yang banyak, tulisan yang menjadi sumbangsih, dan komunikasi sebagai kemampuan untuk menjelaskan dan mengutarakan ilmu yang akan diajari.
Tapi, ternyata cita-cita yang kita bangun sejak kecil, setelah kita dewasa ternyata tidak gampang sebagaimana kita bayangkan pada masa kecil untuk mewujudkannya. Susah sekali. Kita masih membutuhkan uang, dan orang dalam (ordal). Sepertinya untuk mewujudkan cita-cita perlu uang dan bullsit jika ada yang mengatakan tidak butuh sama sekali uang. Uang bisa melakukan apa saja, bahkan cita-cita bisa dibeli oleh orang yang tak kompeten. Atau juga orang yang tidak kompeten ini bisa mewujudkannya dengan orang dalam, relasi keluarga, dan teman.
Sudah banyak terjadi dalam kehidupan kita ini. Entah apakah hanya di Indonesia berlaku suap-menyuap, atau juga di negara lain. Kenapa harus menyuap? Mengapa tidak bertarung dengan sehat seperti mengandalkan kemampuan? Kenapa masih menggunakan cara curang “kau beli cita-cita itu dengan uangmu” padahal dirimu tidak begitu ahli dan kompeten! Seharusnya aku yang cocok mendapatkan tempat tersebut. Tapi ternyata aku kalah, aku tidak punya uang untuk bisa menyogok panitia penyelenggara cita-cita itu.
Branding Skill Bukan Gaya
Tapi jangan menyerah, kendati tidak punya uang dan orang dalam, setidaknya masih punya satu andalan yaitu skill. Skill adalah kemampuan dan keahlian yang didapatkan melalui pendidikan, pelatihan, dan pengalaman kerja. Skill inilah yang dapat mengenalkan dirimu kepada orang lain bahwa kamu bisa diajak bekerja sama lantaran kemampuanmu itu. Jadi, tampakkan kemampuan ataupun keterampilan yang kamu punya, inilah yang aku sebut dengan “branding skill.” Sederhananya dari istilah tersebut adalah tampakkan keahlianmu pada orang-orang bahwa kamu bisa ini, bisa itu.
Tanpa branding skill kita tidak bisa menawarkan pada orang-orang kehebatan kita. Orang tidak tahu apa kemampuan kita. Setidaknya dengan branding skill seperti kemampuan menulis, harus ditampakkan dengan dibuktikan adanya buku, adanya penelitian yang telah dipublikasikan, dan hal lainnya. Jadi, meskipun kita tidak punya uang untuk membuat cita-cita itu terwujud atau membeli cita-cita dengan cara menyogok, dan tidak punya orang dalam, maka maksimalkan skill. Tawarkan pada orang-orang bahwa inilah kemampuan diriku, mari bekerja sama.
Orang akan mau bekerja sama bila saling menguntungkan. Rasa-rasanya tidak akan ada orang yang mau diajak bekerja sama bila tidak saling menguntungkan, malah menyusahkan kehidupan orang lain saja. Jadi, kemampuanmu itulah yang membuat orang akan tertarik pada kita, dan kita sebagai orang yang ingin mendapatkan keuntungan pasti akan mau tawaran tersebut. Inilah pentingnya branding skill daripada branding ganteng. Untuk apa ganteng, cantik, tapi tidak punya skill atau kemampuan yang bisa diandalkan dan ditawarkan.
Skill Dan Produktivitas Berjalan Bersama