Mohon tunggu...
Denox
Denox Mohon Tunggu... Mahasiswa - juru tulis serabutan

verba volant, scripta manent

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Indonesia sebagai Mediator Konflik di Semenanjung Korea

16 September 2024   01:21 Diperbarui: 16 Oktober 2024   07:27 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Depositphotos

Bentuk konkretnya adalah ketika Konferensi Asia-Afrika digelar di Bandung pada 1955. Sebagai warisan dari Orde Lama, konferensi tersebut menjadi simbol sekaligus platform bagi negara-negara berkembang untuk mengartikulasikan aspirasi mereka dalam konteks geopolitik yang terpolarisasi. Dengan DNA "cinta damai" dan "netralisme", sumber daya alam yang kaya, serta ekonomi yang kuat, Indonesia mempunyai modal yang cukup untuk turun sebagai mediator konflik internasional, terkhususnya eskalasi di Semenanjung Korea. 

Dalam jurnal "Global Governance sebagai Agenda Penelitian dalam Studi Hubungan Internasional" yang diterbitkan oleh Universitas Gadjah Mada, penulis menekankan pentingnya relasi internasional yang melibatkan seluruh aktor politik dalam menghadapi isu-isu global. Terutama ketika menghadapi konflik regional, peran serta dari negara lain dapat memberikan signifikansi hasil. Jurnal ini juga menggarisbawahi pentingnya keterlibatan aktif dari negara-negara berkembang untuk menjembatani komunikasi antar negara guna mengantisipasi konflik kepentingan. Karena negara-negara besar biasanya terjebak dalam kepentingan mereka yang rumit di berbagai belahan dunia, negara berkembang sering kali lepas dari beban tersebut. Dengan begitu, keputusan yang mereka buat bisa jadi lebih objektif dan netral, tanpa terlalu terikat pada agenda tersembunyi.

Maka dari itu, sebagai katalisator Gerakan Non-Blok dan salah satu negara berkembang dengan potensi ekonomi yang besar, Indonesia harus mereaktfikan kembali jiwa dan raga pasifisme-nya di kancah internasional. Indonesia harus berperan lebih dari sekedar penonton dalam drama yang sedang berlangsung di Semenanjung Korea. Melansir dari website Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), berbagai kerja sama bilateral dengan kedua negara Korea di lintas sektor sudah dilakukan sejak lama oleh Indonesia. Melihat kronologi hubungan internasional yang baik, ini menjadi bonus modal bagi Indonesia untuk merekonsiliasi konflik di Semenanjung Korea.

Namun, satu yang menjadi perhatian adalah kedaulatan Indonesia di pentas internasional. Sudah lama sekali tampaknya nama Indonesia tidak begitu dikenal oleh masyarakat dunia. Pun beberapa kali TKI yang hijrah ke mancanegara dilaporkan merengek-rengek atas dugaan perilaku amoral dari majikan. Berdasarkan data dari Crisis Center Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), telah menumpuk sekitar 500-an aduan dari para pahlawan devisa kepada KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) pada tahun 2023 kemarin. Ini menunjukkan bahwa eksistensi masyarakat kita masih rawan dilecehkan di mata publik global.

Bagaimana mau bersuara, kalau masyarakat masih diinjak-injak, sedangkan pemerintah abai dan bergeming? Untuk itu, kedaulatan kita harus diupayakan melalui soft power. Menurut Joseph Nye, soft power adalah kemampuan suatu negara dalam menginfluensi negara lain melalui daya tarik budaya, nilai-nilai politik, dan ideologi, tanpa adanya paksaan atau intervensi militer. Dan industri kreatif adalah salah satu sektor yang sangat potensial untuk dikembangbiakkan, terutama kuliner.

Contohnya saja, Jepang yang terkenal dengan restoran-restorannya yang futuristik dan menjunjung tinggi etika kebersihan. Ketika orang-orang memikirkan Jepang, citra yang terlintas di benak mereka adalah ramah dan pekerja keras. Meskipun itu bersifat cacat logika, tetapi dalam kajian budaya, ada yang disebut dengan stereotip. Ketika seseorang berhadapan dengan elemen dari budaya lain, mereka biasanya akan menggambarkan budaya atau bangsa tersebut berdasarkan potret yang diambil.

Fenomena ini juga berlaku dalam lingkup geopolitik. Jika sebuah negara dikenal memiliki sikap ramah dan menarik, maka negara tersebut sering kali mendapatkan perlakuan yang lebih baik dari komunitas internasional. Ini menunjukkan bahwa citra positif dan daya tarik budaya dapat memberikan keuntungan diplomatik yang signifikan. Itulah yang masih belum dimiliki oleh Indonesia.

Maka, pemerintah harus gencar-gencarnya mendorong pertumbuhan 17 sub-sektor ekonomi kreatif agar dapat menyentuh kawasan-kawasan potensial di mancanegara. Dengan memiliki soft power, tentunya Indonesia akan lebih bisa berbicara banyak di berbagai forum baik itu regional maupun internasional. Indonesia juga akan lebih percaya diri untuk menyelenggarakan kembali diskusi akbar internasional yang mempromosikan prinsip-prinsip non-blok dan perdamaian.

Dalam konteks eskalasi di Semenanjung Korea, soft power yang kuat di kedua negara (Korsel dan Korut) adalah bekal bagi Indonesia untuk terjun sebagai pengundang damai di tengah ketegangan. Karena sudah saatnya bagi Gerakan Non-Blok untuk pulang kembali ke "kampung halaman" dan memainkan peran aktif dalam mengatasi konflik global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun