Mohon tunggu...
Denox
Denox Mohon Tunggu... Mahasiswa - juru tulis serabutan

menulis untuk menyampaikan perasaan yang sulit diungkapkan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Indonesia sebagai Mediator Ancaman Nuklir di Semenanjung Korea

16 September 2024   01:21 Diperbarui: 16 September 2024   01:36 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Depositphotos

Baku tembak spontan berhenti di musim panas pada pukul 10:00 pagi, hari Minggu, 27 Juli 1953. Perjanjian gencatan senjata yang berlangsung di Panmunjom menandakan berakhirnya konflik bersimbah darah yang berlangsung selama 3 tahun penuh. Tetapi itu hanya tulisan di atas kertas, adapun luka-luka masih tersimpan di dalam jiwa masing-masing kubu. Peperangan yang secara de facto telah selesai, lantas tetap tidak bisa terhindar dari atmosfer balas dendam dan perselisihan mendalam yang terus mempengaruhi dinamika hubungan antara Korut (Korea Utara) dan Korsel (Korea Selatan) selama bertahun-tahun setelahnya. Konflik yang berawal dari ketegangan regional berekspansi menjadi masalah global yang melibatkan banyak pihak.

Pasca-perang, kedua Korea mulai membangun struktur pemerintahannya masing-masing dan menjalin aliansi dengan mitra yang berbeda. Korsel semakin akrab dengan Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara barat, sementara Korut semakin mantap dengan rekan-rekan komunisnya. Ketika Korsel merayakan keajaiban kapitalisme dengan gedung pencakar langit yang megah dan K-pop yang mendunia, Korut mempunyai cara lain untuk memanifestasikan ideologi yang dianutnya. Yakni dengan "berlatih melempar kembang api berhulu ledak nuklir" secara rutin. Tidak mengherankan karena nuklir adalah komoditas dagang sekaligus "mainan" provokasi Korut untuk mempertahankan kedaulatannya di kancah internasional.

Sejak awal 2000-an, Korut di bawah dinasti Kim telah mengembangkan program nuklir yang ambisius nan kontroversial. Berdasarkan laporan International Atomic Energy Agency (IAEA), Korut pertama kali menguji coba senjata nuklirnya pada tahun 2006. Pada tahun 2017, negara tersebut bahkan mengklaim telah berhasil menguji bom hidrogen, senjata yang jauh lebih kuat daripada nuklir konvensional. Pengembangan kemampuan nuklir Korut menjadi ancaman serius bagi negara-negara di sekitarnya, mengingat rekam jejak negara tersebut di masa lampau.

Tindakan Korut juga memicu kekhawatiran internasional, terutama ketika uji coba rudal balistiknya menyasar wilayah negara tetangga. Contohnya, pada tahun 2017, rudal balistik yang diluncurkan Korut melintasi perbatasan Jepang sebelum jatuh di Samudera Pasifik. Hal serupa terjadi lagi pada Agustus 2019, ketika rudal balistik Korut jatuh di zona ekonomi eksklusif Korsel. Konon motifnya untuk demonstrasi kekuatan dan eksperimen senjata, tetapi, jika diteruskan, insiden-insiden ini berpotensi memicu respons militer yang serius dan konflik terbuka.

Di saat geopolitik dunia yang kian memanas, ancaman nuklir Korut dapat menambah kompleksitas dan ketidakpastian global, memperbesar risiko konflik berskala makro. Untuk mengatasi situasi ini, PBB sebagai organisasi internasional yang mempromosikan perdamaian dan keamanan global, wajib memperkuat upaya diplomatiknya untuk menyambung kembali hubungan internasional yang terputus-putus.

Namun, kolaborasi yang intens antara negara-negara besar saja tidak cukup untuk menengahi konflik panas yang sedang berlangsung. Formula ini terbukti beberapa kali gagal dalam menangani kasus serupa yang pernah terjadi, salah satunya Perang Rusia-Ukraina. Mengapa perang itu bisa meletus sedangkan PBB tampak membeku dalam kebuntuan? Konspirasi yang beredar menunjukkan bahwa berbagai kepentingan yang berbenturan di dalamnya, terutama antara Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok, telah menciptakan sebuah labirin politik yang rumit. Alhasil, sirkulasi dialog di dalam PBB, selaku pihak yang bertanggung jawab, tidak mengalir leluasa, melainkan tersendat-sendat oleh kepentingan khusus dan lobi-lobi dari "orang dalam".

Tentu berbicara soal geopolitik tidak bisa lepas dari hegemoni kekuasaan. Setiap negara, apalagi negara adidaya, tentu ingin mempunyai pijakan yang kuat di setiap wilayah supaya ia tetap menjadi major government di atas komunitas global. Dan Amerika Serikat adalah negara yang masih aktif menyandang gelar itu. Menurut Kishore Mahbubani, eks Presiden Dewan Keamanan PBB, dalam sebuah podcast yang dipandu oleh Gita Wiryawan, ia menjelaskan bahwa sudah saatnya Amerika Serikat untuk mengambil jalur tengah dan politik praktis demi menjaga stabilitas geopolitik dunia di masa depan. Artinya, untuk menghadapi ketegangan di wilayah rawan konflik seperti Semenanjung Korea, Amerika Serikat harus meredam egonya dan memisahkan kepentingan mereka sendiri dengan mengajak negara-negara oposisi seperti Korut, Tiongkok, dan Rusia untuk berdiskusi bersama.

Pertanyaannya, apakah Amerika Serikat sebagai aktor utama dalam pentas politik global mau membaurkan dirinya begitu saja dengan "para pemain figuran"? Berkaca pada sifat manusia saja, apakah iya, seseorang yang mempunyai kekuasaan tinggi mau berkoalisi dengan oposisi politiknya demi kesejahteraan bersama? Mungkin sejarah bisa menawarkan jawabannya, satu kata yang pasti adalah tidak. Kita pernah menyaksikan drama nuklir antara Uni Soviet dan Amerika Serikat di era Perang Dingin, sebelumnya juga kita pernah menyaksikan Inggrs dan Jerman yang beberapa kali terjerat oleh konflik kepentingan yang tak kalah intens. Itu adalah bukti bahwa negara superpower tidak akan pernah mau berkompromi dengan lawan mainnya.

Dalam bukunya, "The Non-Aligned Movement and the Cold War: Delhi--Bandung--Belgrade", Vojin Sekularac menjelaskan bahwa neraga-negara berkembang harus vokal dalam menanggapi problematika geopolitik global. Negara-negara berkembang yang dimaksud adalah negara-negara post-kolonial. Sebagai satu diantara mantan negara jajahan, Vojin menyebut Indonesia sebagai salah satu pion yang memegang peran penting dalam percaturan politik internasional.

Bentuk konkretnya adalah ketika Konferensi Asia-Afrika digelar di Bandung pada 1955. Sebagai warisan dari Orde Lama, konferensi tersebut menjadi simbol sekaligus platform bagi negara-negara berkembang untuk mengartikulasikan aspirasi mereka dalam konteks geopolitik yang terpolarisasi. Dengan DNA "cinta damai" dan "netralisme", sumber daya alam yang kaya, serta ekonomi yang kuat, Indonesia mempunyai modal yang cukup untuk turun sebagai mediator konflik internasional, terkhususnya eskalasi di Semenanjung Korea.

Dalam jurnal "Global Governance sebagai Agenda Penelitian dalam Studi Hubungan Internasional" yang diterbitkan oleh Universitas Gadjah Mada, penulis menekankan pentingnya relasi internasional yang melibatkan seluruh aktor politik dalam menghadapi isu-isu global. Terutama ketika menghadapi konflik regional, peran serta dari negara lain dapat memberikan signifikansi hasil. Jurnal ini juga menggarisbawahi pentingnya keterlibatan aktif dari negara-negara berkembang dan lembaga internasional untuk menjembatani komunikasi antara sesama negara maju maupun antara negara maju dengan negara berkembang guna mengantisipasi konflik kepentingan.

Maka dari itu, sebagai katalisator Gerakan Non-Blok dan salah satu negara dengan ekonomi terkuat saat ini, Indonesia harus mereaktfikan kembali jiwa dan raga pasifisme-nya di kancah internasional. Indonesia harus berperan lebih dari sekedar penonton dalam drama yang sedang berlangsung di Semenanjung Korea. Melansir dari website Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), berbagai kerja sama bilateral dengan kedua negara Korea di lintas sektor sudah dilakukan sejak lama oleh Indonesia. Melihat kronologi hubungan internasional yang baik, ini menjadi bonus modal bagi Indonesia untuk merekonsiliasi konflik di Semenanjung Korea.

Namun, satu yang menjadi perhatian adalah kedaulatan Indonesia di pentas internasional. Sudah lama sekali tampaknya nama Indonesia tidak begitu dikenal oleh masyarakat dunia. Pun beberapa kali TKI yang hijrah ke mancanegara dilaporkan merengek-rengek atas dugaan perilaku amoral dari majikan. Berdasarkan data dari Crisis Center Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), telah menumpuk sekitar 500-an aduan dari para pahlawan devisa kepada KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) pada tahun 2023 kemarin. Ini menunjukkan bahwa eksistensi masyarakat kita masih rawan dilecehkan oleh komunitas global.

Bagaimana mau bersuara, kalau masyarakat masih diinjak-injak, sedangkan pemerintah abai dan bergeming? Untuk itu, kedaulatan kita harus diupayakan melalui soft power. Menurut Joseph Nye, soft power adalah kemampuan suatu negara dalam menginfluensi negara lain melalui daya tarik budaya, nilai-nilai politik, dan ideologi, tanpa adanya paksaan atau intervensi militer. Dan industri kreatif adalah salah satu sektor yang sangat potensial untuk dikembangbiakkan, terutama kuliner.

Contohnya saja, Jepang yang terkenal dengan restoran-restorannya yang futuristik dan menjunjung tinggi etika kebersihan. Ketika orang-orang memikirkan Jepang, citra yang terlintas di benak mereka adalah ramah dan pekerja keras. Meskipun itu bersifat cacat logika, tetapi dalam kajian budaya, ada yang disebut dengan stereotip. Ketika seseorang berhadapan dengan elemen dari budaya lain, mereka biasanya akan menggambarkan budaya atau bangsa tersebut berdasarkan potret yang mereka ambil.

Fenomena ini juga berlaku dalam lingkup geopolitik. Jika sebuah negara dikenal memiliki sikap ramah dan menarik, maka negara tersebut sering kali mendapatkan perlakuan yang lebih baik dari komunitas internasional. Ini menunjukkan bahwa citra positif dan daya tarik budaya dapat memberikan keuntungan diplomatik yang signifikan. Itulah yang masih belum dimiliki oleh Indonesia.

Maka, pemerintah harus gencar-gencarnya mendorong pertumbuhan 17 sub-sektor ekonomi kreatif agar dapat menyentuh kawasan-kawasan potensial di mancanegara. Dengan memiliki soft power, tentunya Indonesia akan lebih bisa berbicara banyak di berbagai forum baik itu regional maupun internasional. Indonesia juga akan lebih percaya diri untuk menyelenggarakan kembali diskusi akbar internasional yang mempromosikan prinsip-prinsip non-blok dan perdamaian.

Dalam konteks eskalasi di Semenanjung Korea, dengan mempunyai soft power yang kuat di kedua negara (Korsel dan Korut), Indonesia akan lebih mudah untuk berperan sebagai pengundang senyum di tengah ketegangan. Karena sudah saatnya bagi Gerakan Non-Blok untuk pulang kembali ke "kampung halaman" dan memainkan peran aktif dalam mengatasi konflik global.

Referensi

Wicaksono, M. (2020). Perang Korea. Elex Media Komputindo.

Sekularac, V. (2017). The Non-Aligned Movement and the Cold War: Delhi--Bandung--Belgrade. Routledge. 

Gomichon, M. (2013, 8 Maret). Joseph Nye on Soft Power diakses pada 10 September 2024, dari E-International Relations https://www.e-ir.info ... Joseph Nye on Soft Power

CNN Indonesia. (2022, 12 Agustus). Apakah Indonesia dan Korea Utara Berhubungan Baik? diakses pada 10 September 2024, dari CNN Indonesia https://www.cnnindonesia.com a... Apakah Indonesia dan Korea Utara Berhubungan Baik?

BBC News. (2017, 15 September). Korea Utara kembali menembakkan rudal lintasi Jepang diakses pada 9 September 2024, dari BBC https://www.bbc.com indonesia Korea Utara kembali menembakkan rudal lintasi Jepang

Kompas.id. (2019, 7 Agustus). Rudal Korut Kian Berbahaya diakses pada 9 September 2024, dari Kompas.id https://www.kompas.id lain-lain Rudal Korut Kian Berbahaya

Hatia Putri, A. M. (2023, 24 Mei). Masalah Pekerja Migran, Sudah Ada 592 Aduan Sepanjang 2023 diakses pada 11 September 2024, dari https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=https://www.cnbcindonesia.com/research/20230524073648-128-439992/masalah-pekerja-migran-sudah-ada-592-aduan-sepanjang-2023%23:~:text%3DBerdasarkan%2520data%2520pengaduan%2520Crisis%2520Center,kekerasan%2520dari%2520majikan%252C%2520depresi%2520atau&ved=2ahUKEwiuwKWNk8WIAxWITWwGHSsHHvUQFnoECCsQBQ&usg=AOvVaw1d602nNl_FCRuXF6I6qAtG

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. (2024, 22 Mei). Memasuki Dekade Kelima, Hubungan Bilateral Indonesia - Korea Selatan Terus Ditingkatkan Khususnya di Bidang Industri, Perdagangan, dan Transisi Energi diakses pada 13 September 2024, dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian https://www.ekon.go.id detail m... Memasuki Dekade Kelima, Hubungan Bilateral Indonesia

Sugiono, M. Global Governance sebagai Agenda Penelitian dalam Studi Hubungan Internasional. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 8(2), 197-212.

Stoessinger, John G. "The International Atomic Energy Agency: The First Phase." International Organization 13.3 (1959): 394--411.

Roehrlich, Elisabeth. Inspectors for peace: A history of the International Atomic Energy Agency (JHU Press, 2022).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun