Mohon tunggu...
Ary Aprianto
Ary Aprianto Mohon Tunggu... Diplomat - Saat ini adalah seorang pelajar

Ikan kecil di kolam besar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Beradu Nalar dengan "Cebong" dan "Kampret"

26 Juli 2019   16:25 Diperbarui: 26 Juli 2019   17:09 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walaupun Jokowi dan Prabowo sudah bertemu dan mengajak pendukung masing-masing untuk bersatu dan mengubur identitas 'cebong' dan 'kampret', saya duga polarisasi di masyarakat akan berlanjut hingga pilpres 2024. Pasca pilpres 2014, mereka berdua juga bertemu dan mengeluarkan ajakan yang sama. Kenyataannya polarisasi berlanjut - bahkan dipelihara kelompok-kelompok tertentu - hingga masa pilkada DKI 2017 dan pilpres 2019. Polarisasi juga kekal di DKI Jakarta, antara pro-Anies dan anti-Anies.

Sering saya mengakses medsos dan membaca pertentangan antara para fanatik ini. Jadi bingung, apa mereka tidak merasa lelah ber-fanatisme. Mungkin tidak ya, karena dari posting-nya saya duga mereka merasa menjalankan perintah agama: menyebarkan kebaikan yang dibawa tokoh tertentu dan mencegah keburukan yang diajarkan tokoh lainnya.

Tapi saya tetap gagal paham karena dalam tindakannya seringkali mereka berdebat tanpa dukungan fakta yang kuat. Tanpa nalar, hanya gunakan prasangka.

Polarisasi pandangan dan pilihan politik tentu merupakan esensi demokrasi. Kalau tidak ada perbedaan pandangan, pasti sulit membangun check and balance yang memadai. Tapi polarisasi yang terjadi di Indonesia ini sangat kelewatan. Banyak yang mengorbankan nalar demi politik sehingga sila ke tiga Pancasila menjadi taruhannya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 'nalar' adalah 'pertimbangan tentang baik buruk', atau dapat pula berarti 'aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis'.

Memang, polarisasi di masyarakat tidak hanya terjadi di Indonesia. Hal serupa juga terjadi di AS, misalnya. Saya sempat membaca hasil jajak pendapat Monmouth University di New Jersey, pasca pilpres AS tahun 2016, di mana sekitar 7% responden menyatakan kehilangan pertemanan. Jajak pendapat serupa pernah dilakukan di Indonesia oleh PolMark Indonesia, yang hasilnya sama-sama menunjukkan hubungan sosial yang retak akibat pilpres.

Menanggapi dinamika sosial-politik, masyarakat kita berimprovisasi, termasuk memilih mana yang prioritas - pertemanan atau politik. Jika perteman menjadi prioritas, diskusi politik pun dihindari. Daripada ribut atau terjerumus ke dalam perdebatan tak berujung, lebih baik diam.

Sikap seperti ini memang dapat menjaga hubungan pertemanan tapi, menurut saya, justru tidak baik bagi perkembangan nalar. Tanpa ada koreksi atau pendapat yang berbeda, kita menjadi tidak terbiasa dengan pluralisme ide, dan lebih tidak terbiasa lagi jika ide kita dikritik. Yang lebih buruk, tidak adanya koreksi dapat membuat kita merasa benar sendiri.

Fenomena di medsos, untuk post isu politik, banyak yang hanya saling menanggapi mereka yang kemungkinan berada di 'warna politik' yang sama. Isi tanggapannya pun senada: dukungan atas pandangan kita dan ledekan (kadang bahkan cercaan) buat mereka yang beda pandangan.

Nalar, kritik, dan pujian

Ajakan 'think before you post' masih sebatas slogan. Bahkan di Indonesia yang penduduk mayoritasnya beragama Islam ini pun perintah tabayyun nampaknya masih diterapkan secara selektif. Kalau sebuah post di medsos cocok dengan pandangan politik kita, tabayyun bisa dikebelakangkan.

Bagaimana dengan perintah iqra, yang menurut Quraish Shihab merupakan perintah untuk mencari ilmu seluas-luasnya? Ternyata masih banyak post yang dibuat dan disebarkan dengan maksud kritik, tapi sebenarnya out of context, berat sebelah, atau bahkan keliru. Ini terjadi karena pembuat dan penyebar sama-sama kurang memiliki ilmu, atau mungkin karena memang berniat untuk menyesatkan orang lain.

Banyak pula post yang memuji prestasi tokoh tertentu. Tapi kalau kita gunakan nalar dan mencari informasi lebih dalam, akan ketahuan bahwa, misalnya, di balik prestasi tersebut ada juga kontribusi pihak lain.  

Nampaknya memang banyak yang sudah enggan menggunakan nalar dalam dinamika politik. Atau mungkin penyebabnya seperti yang saya singgung di paragraf-paragraf atas -- tidak pernah ada yang menyampaikan koreksi atau pandangan berbeda sehingga kita terjerumus ke sikap merasa benar sendiri.

Nalar dan demokrasi

Nalar sangat penting dalam budaya demokrasi. Nalar akan membantu kita memilah mana yang baik untuk bersama dan mana yang tidak, mana yang feasible dilakukan dan mana yang tidak. Bagi rakyat sendiri, nalar akan membantu memilah dan mengevaluasi proses politik, serta menerapkan obyektivitas dalam menetapkan pilihan.

Banyak sejarawan berpandangan bahwa nalar adalah juga komponen penting dalam Masa Pencerahan di Eropa - masa di mana akal, nalar, dan rasionalitas membalikkan kejumudan berpikir ala abad kegelapan. 

Saya menggunakan nalar pertama kali pada pileg dan pilpres 2014. Dalam beberapa pileg dan pilpres sebelumnya, saya lebih banyak menggunakan politik identitas.

Pada pilpres 2019, paslon yang saya pilih bukanlah paslon yang memegang kunci surga, tapi paslon yang menurut saya mudharat-nya lebih sedikit. Pertimbangannya sederhana. Para paslon itu toh manusia juga, tidak akan lepas dari kesalahan atau kepentingan politik. Plus, di belakang masing-masing paslon mungkin ada pula kelompok yang terikat dengan budaya rente yang masih menghiasi politik Indonesia.

Saya akhirnya tidak mempersoalkan mereka yang berbeda pilihan politik. Dengan keterbatasan otak dan akses informasi yang saya miliki, sebagai manusia, saya hanya bisa berdoa agar Tuhan memberi petunjuk kepada siapapun yang memimpin bangsa.

Saya pun biasa saja dengan sejumlah perkembangan politik belakangan ini, seperti gonjang-ganjing koalisi 01, perubahan sikap parpol yang semula di kubu 02, rebutan jabatan, atau ancang-ancang menuju pemilu 2024. Namanya juga politik, ujung-ujungnya tidak akan jauh dari pembagian nasi bungkus kekuasaan. Saya yakin hal serupa akan terjadi jika kubu yang lain yang menang pemilu.

Demokrasi adalah sebuah proses. Buat Indonesia yang baru menerapkan demokrasi sejak 1998, mungkin kita masih dalam tahap konsolidasi demokrasi. Nalar atau rasionalitas menjadi keniscayaan agar demokrasi menjadi sehat, agar perdebatan publik didasarkan pada fakta, bukan prasangka.

Yah, menulis memang tidak terlalu sulit. Yang lebih menantang adalah menawarkan nalar kepada para 'cebong', 'kampret', atau kelompok lain yang fanatik. Sudah saya lakukan dan memang tidak mudah karena para fanatik ini banyak yang sudah terjebak jauh dalam kebutekan masing-masing. Tapi pentingnya nalar harus tetap disampaikan. Jangan berharap parpol atau elit politik akan menggugah nalar rakyat. Kalau kejumudan bisa mendatangkan suara, buat apa bersusah payah mengampanyekan nalar?

Dan kalau kebutekan makin luas menghiasi demokrasi kita, anak-cucu kita bakal makin sulit membayar hutang luar negeri .. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun