Mohon tunggu...
Ary Aprianto
Ary Aprianto Mohon Tunggu... Diplomat - Saat ini adalah seorang pelajar

Ikan kecil di kolam besar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Beradu Nalar dengan "Cebong" dan "Kampret"

26 Juli 2019   16:25 Diperbarui: 26 Juli 2019   17:09 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana dengan perintah iqra, yang menurut Quraish Shihab merupakan perintah untuk mencari ilmu seluas-luasnya? Ternyata masih banyak post yang dibuat dan disebarkan dengan maksud kritik, tapi sebenarnya out of context, berat sebelah, atau bahkan keliru. Ini terjadi karena pembuat dan penyebar sama-sama kurang memiliki ilmu, atau mungkin karena memang berniat untuk menyesatkan orang lain.

Banyak pula post yang memuji prestasi tokoh tertentu. Tapi kalau kita gunakan nalar dan mencari informasi lebih dalam, akan ketahuan bahwa, misalnya, di balik prestasi tersebut ada juga kontribusi pihak lain.  

Nampaknya memang banyak yang sudah enggan menggunakan nalar dalam dinamika politik. Atau mungkin penyebabnya seperti yang saya singgung di paragraf-paragraf atas -- tidak pernah ada yang menyampaikan koreksi atau pandangan berbeda sehingga kita terjerumus ke sikap merasa benar sendiri.

Nalar dan demokrasi

Nalar sangat penting dalam budaya demokrasi. Nalar akan membantu kita memilah mana yang baik untuk bersama dan mana yang tidak, mana yang feasible dilakukan dan mana yang tidak. Bagi rakyat sendiri, nalar akan membantu memilah dan mengevaluasi proses politik, serta menerapkan obyektivitas dalam menetapkan pilihan.

Banyak sejarawan berpandangan bahwa nalar adalah juga komponen penting dalam Masa Pencerahan di Eropa - masa di mana akal, nalar, dan rasionalitas membalikkan kejumudan berpikir ala abad kegelapan. 

Saya menggunakan nalar pertama kali pada pileg dan pilpres 2014. Dalam beberapa pileg dan pilpres sebelumnya, saya lebih banyak menggunakan politik identitas.

Pada pilpres 2019, paslon yang saya pilih bukanlah paslon yang memegang kunci surga, tapi paslon yang menurut saya mudharat-nya lebih sedikit. Pertimbangannya sederhana. Para paslon itu toh manusia juga, tidak akan lepas dari kesalahan atau kepentingan politik. Plus, di belakang masing-masing paslon mungkin ada pula kelompok yang terikat dengan budaya rente yang masih menghiasi politik Indonesia.

Saya akhirnya tidak mempersoalkan mereka yang berbeda pilihan politik. Dengan keterbatasan otak dan akses informasi yang saya miliki, sebagai manusia, saya hanya bisa berdoa agar Tuhan memberi petunjuk kepada siapapun yang memimpin bangsa.

Saya pun biasa saja dengan sejumlah perkembangan politik belakangan ini, seperti gonjang-ganjing koalisi 01, perubahan sikap parpol yang semula di kubu 02, rebutan jabatan, atau ancang-ancang menuju pemilu 2024. Namanya juga politik, ujung-ujungnya tidak akan jauh dari pembagian nasi bungkus kekuasaan. Saya yakin hal serupa akan terjadi jika kubu yang lain yang menang pemilu.

Demokrasi adalah sebuah proses. Buat Indonesia yang baru menerapkan demokrasi sejak 1998, mungkin kita masih dalam tahap konsolidasi demokrasi. Nalar atau rasionalitas menjadi keniscayaan agar demokrasi menjadi sehat, agar perdebatan publik didasarkan pada fakta, bukan prasangka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun