Perjumpaan dengan Ganja
11 Juli 2015, kami harus segera mengejar angkutan yang akan berangkat menuju Medan via Berastagi. Berdasarkan informasi dari pemilik pondok tempat kami menginap, angkutan akan berangkat dari terminal Kutacane paling siang jam 09:30. Setelah mengemas barang, kami menanti angkutan umum yang akan membawa kami ke terminal. Sekitar lima belas menit menanti, barulah sebuah mobil bak terbuka Isuzu Panther datang menghampiri, dan inilah angkutan umum itu.
“Bang, tambahlah sepuluh ribu, gak ada penumpang ini,” pinta si sopir. Awalnya aku menolak, tapi kemudian aku membayangkan jika diturunkan di tengah hutan, bisa bahaya. Akhirnya aku menurut dan sekitar satu jam kami tiba tepat di terminal Kutacane.
Tinggal satu mobil lagi yang tersisa, kernet berteriak lantang “Tagi,tagi, Medan!” Kami membayar Rp 60.000,- per orang dan mendapatkan tempat duduk di kursi paling belakang. Kondisi kendaraan kali ini yang kami naiki jauh lebih buruk daripada kendaraan dari Takengon ke Kutacane. Panas dari mesin di bawah terasa sampai ke bagian kabin penumpang, belum lagi asap rokok, dan sekali lagi, musik dangdut yang diputar membuat suasana semakin menjemukan.
Kami sempat berbicara beberapa patah kata, kemudian aku terlelap tidur. Tiba-tiba saat aku terbangun, mobil kami telah berhenti dan seluruh barang-barang dikeluarkan dari bagasi mobil, termasuk kedua ransel kami. “Bang KTPmu mana, paspor teman bule-mu itu juga!” pinta seorang lelaki kekar. Belakangan aku tahu bahwa lelaki itu adalah polisi berpakaian preman.
Saat aku melihat sekeliling, ternyata kami telah tiba di pos perbatasan Nanggroe Aceh Darussalam – Sumatra Utara. Setiap mobil yang datang dari Aceh akan diberhentikan dan diperiksa sebelum bisa melanjutkan perjalanan ke Sumatra Utara.
Dari hasil penggeledahan itu, ternyata nenek tua yang duduk di sebelahku kedapatan membawa ganja dengan berat total 10 Kilogram. Mataku terbelalak tatkala melihat si nenek itu digiring keluar dari mobil sambil meronta-ronta. Ketika polisi menarik hijabnya, terburailah daun-daun kering ganja. “Gila!” pikirku, si nenek itu membawa barang terlarang di siang bolong, bahkan menyembunyikan sebagiannya di dalam penutup kepalanya. Beberapa barang bukti pun disita oleh polisi, termasuk sebuah ember yang awalnya kupikir sayur-mayur, tetapi ternyata berisi ganja kering.
Hari itu adalah hari pertama aku digiring masuk ke dalam kantor polisi dan dimintai keterangan. “Kenal ibu ini? Tadi dia naik dari mana?” pertanyaan itu diajukan karena aku adalah penumpang yang duduk di sebelah ibu tadi. Aku menjawab seadanya, lebih banyak menggeleng kepala. Kemudian polisi itu membongkar seluruh isi ranselku dan temanku, namun karena tidak ditemukan adanya ganja atau benda terlarang lainnya, kami diperbolehkan untuk kembali ke mobil.
Selama dua jam kami habiskan di pos pemeriksaan. Ada rasa takut, bingung, heran, sekaligus sedih melihat si nenek itu harus berurusan dengan polisi. “Gila ya itu orang, bawa ganja siang-siang demi duit dua juta,” kata sopir mobil yang kutumpangi. Menurut pengakuannya, si nenek ternyata membawa ganja dari Blangkejeren untuk dikirim ke Medan dengan iming-iming uang tunai 10 juta rupiah. Namun, baru setengah jalan, impian si nenek malang itu untuk memegang uang tunai harus pupus. Setelah mobil kami melanjutkan perjalanan, aku tak tahu bagaimana nasib si nenek itu. Apakah dia bisa dibebaskan, atau dia mendekam di penjara, itu masih menjadi misteri. Namun, dalam pemikiranku, nenek itu tentu hanyalah korban. Ya, dia adalah korban dari kemiskinan yang dijadikan alat oleh pelaku kriminal untuk melanggengkan perbuatannya. Jika nenek itu memiliki uang yang cukup, aku pikir membawa ganja tidak akan masuk ke dalam pilihannya. Tapi, ketika kantong menjerit, bukan tidak mungkin segala cara akan dilakukan.