Mohon tunggu...
Aryanto Wijaya
Aryanto Wijaya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Bekerja sebagai Editor | Jatuh cinta pada Yogyakarta Ikuti perjalanan saya selengkapnya di Jalancerita.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Ganja di Tanah Syariat

2 Mei 2017   14:47 Diperbarui: 3 Mei 2017   09:00 2451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga sekitar Ketambe berpose senyum ketika lensa kamera membidik mereka

Sebuah baliho besar bertuliskan “Anda Memasuki Kawasan Syariat Islam” terpampang besar tatkala angkutan yang kami naiki bersiap memasuki kota Takengon. Sebelumnya kami berangkat dari Banda Aceh dan membutuhkan waktu nyaris sepuluh jam untuk tiba di Takengon. Berhubung waktu itu adalah bulan Ramadhan, hampir di tiap jam kendaraan kami selalu singgah di masjid-masjid kecil.

Waktu itu langit sudah gelap dan turun hujan, jam sudah menunjukkan pukul 19:00 lewat. Bagiku yang besar di Jawa, Takengon lebih mirip seperti Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah. Udaranya begitu dingin, satu lapis sweater yang kukenakan tak cukup hangat untuk mengusir dingin malam itu. Singkatnya kami bermalam di sebuah asrama polisi karena kebetulan aku memiliki teman yang kedua orangtuanya tinggal dan bekerja di Takengon.

“Jadi, nanti kamu mau ke Toba lewat mana? Kalau lewat jalan utama lebih gampang. Tapi, kalau mau petualangan, saran saya sih kamu lewat jalur Kutacane saja,” ucap Bapak Manullang, seorang polisi yang rumahnya jadi tempat persinggahan kami. Ide Pak Manullang sepertinya terdengar menarik. Seketika aku membayangkan berkendara di antara lebatnya hutan Leuseur, tentu menyenangkan. Akhirnya dipilihlah opsi itu dan kami pun bertolak dari Takengon dua hari setelahnya.

Perjalanan kami selanjutnya adalah menuju Berastagi, tapi melewati pegunungan Aceh Tengah mulai dari Takengon, Blangkejeren, hingga Kutacane. Pukul 08:30 kami bertolak dari Takengon menaiki angkutan umum mobil colt Mitsubishi L-300 yang harganya sangat mahal, yaitu Rp 180.000,- per orang. Entah kami ditipu atau tidak, tapi yang jelas pilihan satu-satunya untuk menuju Kutacane adalah menaiki angkutan itu.

img-3414-jpg-59083762127b618646516591.jpg
img-3414-jpg-59083762127b618646516591.jpg
Dua jam pertama, mobil melintasi jalanan berbatu di pinggiran danau Lut Tawar. Tak perlu pendingin udara karena angin semilir begitu sejuk. Sebetulnya mobil kami tidak penuh, hanya diisi oleh aku dan temanku, lalu tiga orang ibu-ibu dan seorang pemuda di kursi depan. Perjalanan semakin semarak ketika sopir mulai memutar lagu-lagu dangdut yang liriknya membahas problema seputa selangkangan manusia. Dentuman lagu dangdut itu cukup nyaman, tapi jika liriknya kudengar dengan serius, lama-lama membuatku mual.

Jalanan di Aceh Tengah memang luar biasa, lubang-lubang besar dibiarkan terbuka, sepertinya lubang itu cukup apabila seekor kerbau atau buaya berkubang di sana. Perjalanan terasa semakin ekstrem karena di jalan yang tak beraspal itu, sebelah kiri adalah tebing, dan di sebelah kanan adalah jurang dengan sungai mengalir di bawahnya.

Perjalanan nan panjang itu kami habiskan hanya dengan melihat ke luar jendela tanpa banyak mengobrol. Sebenarnya ingin mengobrol dengan penumpang di sebelahku, tapi sepertinya dia lelah dan memilih untuk tidur sepanjang jalan.

Perjalanan ini membuatku berpikir keras. Indonesia memang luas, namun sesungguhnya pembangunan masih sangat terpusat di Jawa. Beberapa kali aku sempat menonton televisi, di suatu wilayah Jawa Barat yang jalannya berlubang, warga melakukan protes kepada Pemda setempat, dan berita itu disiarkan di televisi nasional. Lah, jika lubang di jalan yang tak sebesar kolam renang itu menjadi heboh, lantas bagaimana dengan lubang sebesar kubangan buaya yang baru saja aku temui?

“Ah sudahlah,” tenang pikiran dalam kepalaku. Mungkin saat ini belum saatnya pemerintah serius menggarap wilayah di luar Jawa, toh, suara terbesar dalam tiap pemilihan umum ada di Jawa, bukan di Sumatra, Kalimantan, Nusa Tenggara, atau Papua sana. Lagipula, masyarakat di metropolitan sepertinya lebih sibuk mengurusi urusan perut, atau jika lebih kritis sedikit mereka akan mengusik keyakinan orang lain. Tapi, sekali lagi, mungkin itu hanya persepsiku pribadi.

Mengusir rasa jenuh dengan swafoto
Mengusir rasa jenuh dengan swafoto
Hari sudah keburu gelap dan kendaraan kami tidak mampu mencapai Kutacane, akhirnya kami harus berhenti di kabupaten Blangkejeren, Aceh Tengah. Kota ini terlihat semerawut di antara pegunungan yang tinggi menjulang. Namun kami tidak bermalam di tengah kota, kami memilih untuk beranjak lagi beberapa kilometer ke sebuah gerbang masuk Taman Nasional Gunung Leuser, yaitu Ketambe.

Berdasarkan travel-guide yang kami bawa, di daerah Ketambe terdapat penginapan hutan ala kadarnya dengan tarif Rp 50.000,- per malam. Setibanya di sana, kami hanya mendapatkan dua penginapan. Awalnya pemilik penginapan itu memasang tarif Rp 150,000 untuk kami berdua. Dia beralasan bahwa harga itu adalah harga wajar untuk turis bule. “Tapi, aku kan bukan bule bu, kasih lah kami harga 50,” pintaku memelas. Setelah bernegosiasi selama 15 menit, mungkin ibu itu iba dan diberikannyalah kami kunci sebuah pondok kayu, dengan harga yang sudah kami setujui yaitu Rp 50.000,- per malam.

Perjumpaan dengan Ganja

11 Juli 2015, kami harus segera mengejar angkutan yang akan berangkat menuju Medan via Berastagi. Berdasarkan informasi dari pemilik pondok tempat kami menginap, angkutan akan berangkat dari terminal Kutacane paling siang jam 09:30. Setelah mengemas barang, kami menanti angkutan umum yang akan membawa kami ke terminal. Sekitar lima belas menit menanti, barulah sebuah mobil bak terbuka Isuzu Panther datang menghampiri, dan inilah angkutan umum itu.

Perjalanan menuju pusat kota Kutacane dengan menaiki Labi-labi
Perjalanan menuju pusat kota Kutacane dengan menaiki Labi-labi
Masyarakat sekitar menyebut nama “angkot” ini dengan sebutan Labi-labi, entah apa yang mendasari mereka memberi nama seperti itu. Buku travel-guide yang kami pegang mengatakan ongkos perjalanan dari Ketambe ke Kutacane itu seharga Rp 5.000,- tapi hari itu kami harus membayar Rp 15.000,- per orang karena tidak ada penumpang lain yang ikut naik.

“Bang, tambahlah sepuluh ribu, gak ada penumpang ini,” pinta si sopir. Awalnya aku menolak, tapi kemudian aku membayangkan jika diturunkan di tengah hutan, bisa bahaya. Akhirnya aku menurut dan sekitar satu jam kami tiba tepat di terminal Kutacane.

Tinggal satu mobil lagi yang tersisa, kernet berteriak lantang “Tagi,tagi, Medan!” Kami membayar Rp 60.000,- per orang dan mendapatkan tempat duduk di kursi paling belakang. Kondisi kendaraan kali ini yang kami naiki jauh lebih buruk daripada kendaraan dari Takengon ke Kutacane. Panas dari mesin di bawah terasa sampai ke bagian kabin penumpang, belum lagi asap rokok, dan sekali lagi, musik dangdut yang diputar membuat suasana semakin menjemukan.

Mobil yang mengantar kami dari Kutacane menuju Berastagi
Mobil yang mengantar kami dari Kutacane menuju Berastagi
Baru sepuluh menit melaju, ada tiga orang penumpang lainnya yang naik, sepertinya mereka adalah nenek, anak, dan cucu. Ketiganya adalah perempuan dan mengenakan hijab di kepala mereka. Sang nenek duduk persis di sebelahku, dia membawa satu ember besar berisi sayur-mayur dan sebuah tas jinjing.

Kami sempat berbicara beberapa patah kata, kemudian aku terlelap tidur. Tiba-tiba saat aku terbangun, mobil kami telah berhenti dan seluruh barang-barang dikeluarkan dari bagasi mobil, termasuk kedua ransel kami. “Bang KTPmu mana, paspor teman bule-mu itu juga!” pinta seorang lelaki kekar. Belakangan aku tahu bahwa lelaki itu adalah polisi berpakaian preman.

Saat aku melihat sekeliling, ternyata kami telah tiba di pos perbatasan Nanggroe Aceh Darussalam – Sumatra Utara. Setiap mobil yang datang dari Aceh akan diberhentikan dan diperiksa sebelum bisa melanjutkan perjalanan ke Sumatra Utara.

Dari hasil penggeledahan itu, ternyata nenek tua yang duduk di sebelahku kedapatan membawa ganja dengan berat total 10 Kilogram. Mataku terbelalak tatkala melihat si nenek itu digiring keluar dari mobil sambil meronta-ronta. Ketika polisi menarik hijabnya, terburailah daun-daun kering ganja. “Gila!” pikirku, si nenek itu membawa barang terlarang di siang bolong, bahkan menyembunyikan sebagiannya di dalam penutup kepalanya. Beberapa barang bukti pun disita oleh polisi, termasuk sebuah ember yang awalnya kupikir sayur-mayur, tetapi ternyata berisi ganja kering.

Hari itu adalah hari pertama aku digiring masuk ke dalam kantor polisi dan dimintai keterangan. “Kenal ibu ini? Tadi dia naik dari mana?” pertanyaan itu diajukan karena aku adalah penumpang yang duduk di sebelah ibu tadi. Aku menjawab seadanya, lebih banyak menggeleng kepala. Kemudian polisi itu membongkar seluruh isi ranselku dan temanku, namun karena tidak ditemukan adanya ganja atau benda terlarang lainnya, kami diperbolehkan untuk kembali ke mobil.

Selama dua jam kami habiskan di pos pemeriksaan. Ada rasa takut, bingung, heran, sekaligus sedih melihat si nenek itu harus berurusan dengan polisi. “Gila ya itu orang, bawa ganja siang-siang demi duit dua juta,” kata sopir mobil yang kutumpangi. Menurut pengakuannya, si nenek ternyata membawa ganja dari Blangkejeren untuk dikirim ke Medan dengan iming-iming uang tunai 10 juta rupiah. Namun, baru setengah jalan, impian si nenek malang itu untuk memegang uang tunai harus pupus. Setelah mobil kami melanjutkan perjalanan, aku tak tahu bagaimana nasib si nenek itu. Apakah dia bisa dibebaskan, atau dia mendekam di penjara, itu masih menjadi misteri. Namun, dalam pemikiranku, nenek itu tentu hanyalah korban. Ya, dia adalah korban dari kemiskinan yang dijadikan alat oleh pelaku kriminal untuk melanggengkan perbuatannya. Jika nenek itu memiliki uang yang cukup, aku pikir membawa ganja tidak akan masuk ke dalam pilihannya. Tapi, ketika kantong menjerit, bukan tidak mungkin segala cara akan dilakukan.

Fenomena ganja ini bukanlah sesuatu yang baru. Kasak-kusuk penumpang di dekatku mengatakan bahwa memang daerah Aceh Tengah masih menjadi ladang yang subur untuk ditanami ganja. Bahkan, seorang pemandu hutan saat kami di Ketambe pernah mengatakan bahwa ada ladang ganja besar di balik lebatnya hutan Leuseur, namun tidak ada seorangpun yang tahu di mana itu persisnya.

Pengalaman berurusan dengan polisi karena ganja ini menarik bagiku. Aceh adalah provinsi pertama di Indonesia yang menerapkan hukum Syariat Islam di dalamnya. Aku tak terlalu paham tentang agama, juga tidak mau membahas sampai ke titik itu. Tapi, melihat seorang ibu ditangkap polisi karena memilih untuk menjadi kurir ganja di tanah syariat, menyisakan sebuah perenungan yang mendalam untukku.

“Apakah beragama memang menghindarkan kita dari dosa?”

Biarlah hati kita masing-masing yang menjawabnya.

 

Tanah Karo, 15 Juli 2015

Ditulis kembali menjadi kepingan kisah di Jakarta, 28 April 2017

#SumatraOverlandJourney

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun