Mohon tunggu...
Aryanto Wijaya
Aryanto Wijaya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Bekerja sebagai Editor | Jatuh cinta pada Yogyakarta Ikuti perjalanan saya selengkapnya di Jalancerita.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Ganja di Tanah Syariat

2 Mei 2017   14:47 Diperbarui: 3 Mei 2017   09:00 2451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga sekitar Ketambe berpose senyum ketika lensa kamera membidik mereka

Perjumpaan dengan Ganja

11 Juli 2015, kami harus segera mengejar angkutan yang akan berangkat menuju Medan via Berastagi. Berdasarkan informasi dari pemilik pondok tempat kami menginap, angkutan akan berangkat dari terminal Kutacane paling siang jam 09:30. Setelah mengemas barang, kami menanti angkutan umum yang akan membawa kami ke terminal. Sekitar lima belas menit menanti, barulah sebuah mobil bak terbuka Isuzu Panther datang menghampiri, dan inilah angkutan umum itu.

Perjalanan menuju pusat kota Kutacane dengan menaiki Labi-labi
Perjalanan menuju pusat kota Kutacane dengan menaiki Labi-labi
Masyarakat sekitar menyebut nama “angkot” ini dengan sebutan Labi-labi, entah apa yang mendasari mereka memberi nama seperti itu. Buku travel-guide yang kami pegang mengatakan ongkos perjalanan dari Ketambe ke Kutacane itu seharga Rp 5.000,- tapi hari itu kami harus membayar Rp 15.000,- per orang karena tidak ada penumpang lain yang ikut naik.

“Bang, tambahlah sepuluh ribu, gak ada penumpang ini,” pinta si sopir. Awalnya aku menolak, tapi kemudian aku membayangkan jika diturunkan di tengah hutan, bisa bahaya. Akhirnya aku menurut dan sekitar satu jam kami tiba tepat di terminal Kutacane.

Tinggal satu mobil lagi yang tersisa, kernet berteriak lantang “Tagi,tagi, Medan!” Kami membayar Rp 60.000,- per orang dan mendapatkan tempat duduk di kursi paling belakang. Kondisi kendaraan kali ini yang kami naiki jauh lebih buruk daripada kendaraan dari Takengon ke Kutacane. Panas dari mesin di bawah terasa sampai ke bagian kabin penumpang, belum lagi asap rokok, dan sekali lagi, musik dangdut yang diputar membuat suasana semakin menjemukan.

Mobil yang mengantar kami dari Kutacane menuju Berastagi
Mobil yang mengantar kami dari Kutacane menuju Berastagi
Baru sepuluh menit melaju, ada tiga orang penumpang lainnya yang naik, sepertinya mereka adalah nenek, anak, dan cucu. Ketiganya adalah perempuan dan mengenakan hijab di kepala mereka. Sang nenek duduk persis di sebelahku, dia membawa satu ember besar berisi sayur-mayur dan sebuah tas jinjing.

Kami sempat berbicara beberapa patah kata, kemudian aku terlelap tidur. Tiba-tiba saat aku terbangun, mobil kami telah berhenti dan seluruh barang-barang dikeluarkan dari bagasi mobil, termasuk kedua ransel kami. “Bang KTPmu mana, paspor teman bule-mu itu juga!” pinta seorang lelaki kekar. Belakangan aku tahu bahwa lelaki itu adalah polisi berpakaian preman.

Saat aku melihat sekeliling, ternyata kami telah tiba di pos perbatasan Nanggroe Aceh Darussalam – Sumatra Utara. Setiap mobil yang datang dari Aceh akan diberhentikan dan diperiksa sebelum bisa melanjutkan perjalanan ke Sumatra Utara.

Dari hasil penggeledahan itu, ternyata nenek tua yang duduk di sebelahku kedapatan membawa ganja dengan berat total 10 Kilogram. Mataku terbelalak tatkala melihat si nenek itu digiring keluar dari mobil sambil meronta-ronta. Ketika polisi menarik hijabnya, terburailah daun-daun kering ganja. “Gila!” pikirku, si nenek itu membawa barang terlarang di siang bolong, bahkan menyembunyikan sebagiannya di dalam penutup kepalanya. Beberapa barang bukti pun disita oleh polisi, termasuk sebuah ember yang awalnya kupikir sayur-mayur, tetapi ternyata berisi ganja kering.

Hari itu adalah hari pertama aku digiring masuk ke dalam kantor polisi dan dimintai keterangan. “Kenal ibu ini? Tadi dia naik dari mana?” pertanyaan itu diajukan karena aku adalah penumpang yang duduk di sebelah ibu tadi. Aku menjawab seadanya, lebih banyak menggeleng kepala. Kemudian polisi itu membongkar seluruh isi ranselku dan temanku, namun karena tidak ditemukan adanya ganja atau benda terlarang lainnya, kami diperbolehkan untuk kembali ke mobil.

Selama dua jam kami habiskan di pos pemeriksaan. Ada rasa takut, bingung, heran, sekaligus sedih melihat si nenek itu harus berurusan dengan polisi. “Gila ya itu orang, bawa ganja siang-siang demi duit dua juta,” kata sopir mobil yang kutumpangi. Menurut pengakuannya, si nenek ternyata membawa ganja dari Blangkejeren untuk dikirim ke Medan dengan iming-iming uang tunai 10 juta rupiah. Namun, baru setengah jalan, impian si nenek malang itu untuk memegang uang tunai harus pupus. Setelah mobil kami melanjutkan perjalanan, aku tak tahu bagaimana nasib si nenek itu. Apakah dia bisa dibebaskan, atau dia mendekam di penjara, itu masih menjadi misteri. Namun, dalam pemikiranku, nenek itu tentu hanyalah korban. Ya, dia adalah korban dari kemiskinan yang dijadikan alat oleh pelaku kriminal untuk melanggengkan perbuatannya. Jika nenek itu memiliki uang yang cukup, aku pikir membawa ganja tidak akan masuk ke dalam pilihannya. Tapi, ketika kantong menjerit, bukan tidak mungkin segala cara akan dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun