[caption id="attachment_348534" align="alignnone" width="595" caption="Hamparan bunga edelweiss di Pondok Saladah (Dok. Yani)"]
Pondok Saladah berada di ketinggian 2288 m dpl. Menurut sumber yang saya baca, dahulunya di blok ini banyak ditumbuhi tanaman edelweiss. Setelah letusan gunung di tahun 2012, edelweissnya banyak yang mati dan belum tumbuh lagi. Di sana juga dekat dengan Sungai Cisaladah, maka tak heran jika dijadikan area perkemahan sebelum mencapai hutan mati dan padang edelweiss di Tegal Alun. Di Tegal Alun sendiri tidak diperkenankan mendirikan tenda supaya habitat edelweissnya tetap terjaga.
Setelah puas berfoto di dekat edelweiss dan batang-batang cantigi, kami bergegas turun melewati jalur yang sama. Kami harus melewati jalan turun berdebu yang licin, agak serem. Mbak Ramdiyah bahkan sampai berjalan jongkok supaya tidak jatuh. Mbak Vey berpegangan pada caril di punggung pendaki lain supaya tidak terpeleset. Saya sendiri sempat juga terpeleset meski sudah melangkah sepelan mungkin. Dari arah yang berlawanan, lewatlah beberapa orang bapak-bapak dengan menenteng sepedanya. Katanya mereka hendak ke Pangalengan. Wah hebat ya mereka masih bisa membawa sepeda menaiki tanjakan, saya membawa diri aja capeknya bukan main hehe.
[caption id="attachment_348539" align="alignnone" width="602" caption="Berjalan jongkok (Dok. Yani)"]
Lewat jam 12.30, cahaya matahari perlahan meredup dan langit berawan. Untunglah bukan musim penghujan, jadi jalanan tidak becek. Saat melewati kawah, terlihat asapnya yang semakin tebal mengepul ke arah hutan mati. Kami sempat mampir sebentar di papan penunjuk arah ke hutan mati untuk berfoto-foto. Saya lihat dari arah berlawanan, tampak pendaki lain sedang menuruni punggung gunung. Jalanannya tampak mengerikan sehingga mereka sampai berpegangan antar satu dengan yang lain. Saat melihat peta lagi saya baru ngeh jalur trekking ke Papandayan. Jadi sebenarnya kami tadi berjalan memutar menuju Pondok Saladah. Padahal bisa juga langsung ke hutan mati dan Tegal Alun. Tak apalah, meski hanya melihat hutan mati dari kejauhan dan edelweiss yang kering di Pondok Saladah, sudah bisa memberikan gambaran keindahan Gunung Papandayan. Memang tidak mungkin mencapai semua lokasi di gunung ini dalam sehari, apalagi kalau berangkatnya kesiangan. Apalagi di sini banyak sekali spot bagus untuk memotret.
[caption id="attachment_348538" align="alignnone" width="602" caption="Para pendaki menuruni punggung gunung (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_348536" align="alignnone" width="580" caption="Pendaki hijaber (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_348537" align="alignnone" width="602" caption="Pulang (Dok. Yani)"]
“Eh, ngomong-ngomong kemana ya tiga anak kecil yang diajak berfoto tadi?? Jangan-jangan mereka sudah sampai di hutan mati, atau Tegal Alun? Aduh masih penasaran nih dengan Tanjakan Mamang sebelum ke Tegal Alun itu, kayak apa ya nanjaknya?” tanyaku pada Mbak Vey.
Akhirnya menjelang jam setengah 3, kami sampai lagi di area parkir. Setelah beristirahat dan sholat ashar, kami menumpang mobil bak terbuka bersamaan dengan pendaki lain menuju Cisurupan. Langit mulai memutih, terlihat kabut di puncak-puncak popehonan di atas bukit.
See you next time Papandayan!!