KEKUATAN LUMBUNG KOPERASI YANG DIBANGUN
MULAI DARI TATAR RT DAN RW
Oleh: Aryandi Yogaswara
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
Ada istilah 7 lapis langit. Itu diantaranya bisa ditafsirkan sebagai 7 lapis sistem pemerintahan atau kepemimpinan. Lihat ini:
1. RT
2. RW
3. Lurah
4. Camat
5. Bupati/Walikota
6. Gubernur
7. Presiden
Lapis langit Pemerintahan yang dimulai dari level RT/RW bisa kita lihat sebagai sebuah struktur hirarki Abdi Negara atau Bhayangkari Negeri. Para Abdi Negara yang berfungsi sebagai Abdi dari Tuhan yang Maha Kuasa dalam menjalankan pemerintahan negeri untuk memungkinkan terwujudnya masyarakat adil, makmur, dan sejahtera.
Sementara 7 lapis di TNI, bisa kita ibaratkan seperti 7 lapis bumi:
1. Kopral
2. Sersan
3. Letnan
4. Kapten
5. Mayor
6. Kolonel
7. Jendral
Bercermin dari tanda kepangkatan di atas, Ketua RT itu ibarat posisi Kopral, di bawah Kopral ada Prajurit klas 1 dan Prajurit klas 2.
Apabila RT adalah ketua bagi setidaknya 40 KK, maka Prajurit klas 1 adalah kepala regu dari setiap dasa wisma atau 10 rumah yang berdekatan. Sementara Prajurit klas 2 adalah setiap KK atau Kepala Keluarga yang memimpin keluarganya masing-masing.
Dari sini, gagasannya adalah  RT benar-benar difungsikan sebagai ujung tombak tatanan pemerintahan, sebagai lapis pertama dalam struktur kepemimpinan atau kepemerintahan masyarakat kita.
RW adalah lapis kedua, sebagai lapis koordinator antar wilayah pertama tatanan masyarakat, dalam wilayah RW bisa mulai dibangun aktifitas bersama atau usaha swadaya masyarakat seperti PKK, Majelis Agama, Posyandu, Badan Zakat, Karang Taruna, Siskamling, Lumbung Koperasi, dll sebelum diteruskan ke wilayah Desa/Kelurahan.
Khusus mengenai Lumbung Koperasi, mari kita bahas lebih jauh, yaitu tentang sistem yang bisa mengganti tatanan riba dengan tatanan yang lebih memberdayakan dan berkesesuaian dengan nilai kemanusiaan.
Dalam pembahasan, mari kita lihat Koperasi atau Lumbung sebagai tatanan yang dimaksud, disebutkan dalam UUD 45 sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan.
Perhatikan bahwa 1 RT itu berdasarkan UU berkekuatan minimal 40 KK (Kepala Keluarga), berarti 1 RW yang minimal terdiri dari 3 RT atau lebih, berkekuatan setidaknya 120 KK.
Dengan minimal 120 KK, maka lumbung atau koperasi bisa dihidupkan karena kuantitas yang mencukupi untuk membeli bahan-bahan kebutuhan dengan jumlah besar.
Misalkan difokuskan terlebih dahulu untuk kebutuhan Sembako. Dengan adanya konsep lumbung, masyarakat bisa membeli Sembako bersama-sama untuk keperluan 1 bulan, sehingga dengan membeli dalam kuantitas besar bisa didapatkan selisih keuntungan rabat.
Misal beras, yang kebutuhan 1 KK rata-rata katakanlah 20 kg perbulan. Maka kebutuhan 120 KK dalam 1 bulan adalah 2,4 ton.
Dengan langsung beli ke petani atau pabrik, maka membeli langsung 2,4 ton bisa mendapat potongan rabat semisal 20-30%.
20-30% ini bisa langsung dijadikan potongan harga beli beras terhadap warga sehingga warga bisa membeli beras dengan harga lebih murah, atau dikumpulkan di lumbung koperasi untuk diputar lagi maupun digunakan untuk suatu kemanfaatan yang dibutuhkan dalam usaha-usaha swadaya RT/RW baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Itu dari beras saja, bagaimana kalau sudah menyentuh semua kebutuhan sembako? Berapa dana yang bisa tersimpan di lumbung koperasi dalan sebulan? Katakanlah, lumayan nilainya.
Maka ada peralihan aliran uang, yang sebelumnya dikuasai sedikit orang di masyarakat, pindah ke lumbung bersama masyarakat atau koperasi warga.
Kalau ini diperluas ke unit Desa, maka kekuatannya bisa sampai 2000 sampai 3000an KK, kekuatan perekonomian seperti apa yang bisa dihimpun? Besar sekali.
Tarik lagi ke wilayah kecamatan, maka kekuatan daya perekonomiannya bisa mencapai 10 ribuan KK. Ini berarti bahkan Pom Bensin dengan modal awal Rp 5 Milyar pun bisa dimiliki oleh satu unit kecamatan. Bahkan 1 kecamatan bisa punya 2 pom bensin di wilayah kota, bukankah untuk mengumpulkan dana 5 milyar dari 10 ribu KK dibutuhkan dana swadaya per KK sekitar Rp 500 ribu? Yang berarti pengumpulan dana gotong royong dalam setahun hanya membutuhkan kurang dari Rp 50 ribu per KK setiap bulannya.
Terjadilah perpindahan dana dari orang-orang yang kaya karena modal yang dikuasainya (kapital), berpindah ke lumbung masyarakat atau koperasi. Tentu ini bisa terjadi apabila penduduk sekecamatan bisa benar-benar guyub.
Lebih lanjut, apabila konsep Zakat sebagai instrumen negara dalam mengumpulkan dana bersama dikuasakan kepada RT, dalam pengawasan dan koordinasi RW, yaitu ketua RT menjadi bagian dari instrumen sistem perzakatan negara, maka bila pajak diteruskan ke Pusat sebagai hak pemerintah pusat, akan ada Zakat yang bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan warga.
Misalkan, bilamana warga sepakat untuk berzakat sesuai kemampuan, sebesar 5 sd 10% dari penghasilan bulanan, maka akan terkumpul dana di lumbung koperasi.
Dana ini apabila dipakai untuk dana Simpan-Pinjam, kita bisa memberikan pinjaman 'tanpa bunga'. Hal ini bisa dilakukan apabila masyarakat sepakat dan memahami bahwa usaha sosial ini dibutuhkan dan dilakukan untuk kebaikan warga baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Seluruh warga menyadari bahwa setiap usaha yang berhasil dari seorang warga yang meminjam dari lumbung dilihat sebagai keberhasilan bersama, dan lumbung diyakini bukan sebagai tempat mencari keuntungan pribadi saja atau bersifat individualis, tetapi adalah sesuatu yang berhubungan dengan kemaslahatan bersama.
Apabila persyaratan nilai Ketuhanan dan Kemanusiaannya terpenuhi, selain pinjaman tanpa bunga, Lumbung bahkan bisa memberikan bantuan 5 sd 10% dari pinjaman sebagai tambahan untuk pemberdayaan bagi peminjam, semisal dalam bantuan laporan keuangan, perencanaan dan pelatihan bisnis, pembangunan jaringan, teknologi informasi, dll, atau sekedar sebagai bantuan tambahan agar dana yang dipinjam untuk usaha bisa benar-benar berhasil serta menghasilkan keuntungan. Bayangkan, sudah tanpa bunga, dapat tambahan bantuan 5-10% pula!
Inilah kebalikan dari sistem Riba, ketika bunga yang diberikan oleh Lumbung Koperasi menjadi negatif dibandingkan bunga yang biasa ditarik oleh Bank atau Badan Pengkreditan.
Bank-bank swasta dengan sistem riba kapitalis yang mengandalkan keuntungan dari penyaluran uang kredit atau pinjaman dengan bunga akan gulung tikar secara alamiah atau mengubah dirinya menjadi badan peminjam yang menggunakan sistem bagi hasil yang adil.
Yang diperlukan untuk kebutuhan penyimpanan rekening hanya Bank milik Negara dengan fungsi pendukung hal perihal finansial atau keuangan, yaitu membantu memfasilitasi proses perdagangan dan perekonomian warga.
Sampai disini kita akan menyadari bahwa hanya dibutuhkan satu bank sentral milik negara untuk semua rekening rakyat Indonesia. Dengan tanpa menarik bunga, keuntungan Bank milik Negara akan diperoleh dari jasa memberikan fasilitas yang berhubungan dengan jasa keuangan, seperti jasa penyimpanan uang, transfer dana, dan jasa-jasa teknologi informasi lainnya. Bank akan menjadi pendukung aktifitas lumbung koperasi, berbagai perusahaan dan usaha dagang tanpa perlu menjalankan usaha simpan pinjam dengan menarik bunga dari peminjam.
Mari perhatikan, sebetulnya Lumbung pun tidak akan rugi dengan memberikan pinjaman tanpa bunga, bahkan dengan mengeluarkan tambahan bantuan 5-10% tetap tidak akan rugi.
Mengapa?
Karena uang yang dipinjamkan untuk usaha perekonomian akan menghasilkan keuntungan bulanan bagi peminjam, maka peminjam sesuai kesepakatan yang didasarkan pada kesadaran kepada Tuhan YMK dan rasa sukarela untuk berbagi, setiap bulannya selain mencicil pengembalian pinjaman akan mengeluarkan zakat 5%-10% dari keuntungan bersih kepada lumbung RT/RW.
Uang lumbung akan semakin banyak, dan bisa terus diputar.
Roda perekonomian akan terus berkembang di negara kita bila konsep RT dan RW padu seperti yang dijelaskan di atas sampai ke tingkat Desa atau Kelurahan dan seterusnya ke atas.
Bayangkan kekuatan perekonomian Indonesia yang akan terus menguat secara dahsyat karena dimulai dari akar rumput dalam sektor ekonomi riil.
Efek besarnya kepada bangsa Indonesia adalah bisa menjadi contoh sebuah bangsa berdikari yang dibangun melalui pondasi Ketuhanan Yang Maha Esa sehingga menghasilkan etos bangsa yang menjunjung tinggi nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab, rasa Persatuan dan persaudaraan antar manusia, serta tumbuhnya nilai Kepemimpinan yang dibangun berdasarkan Hikmat Kebijaksanaan.
Terciptalah Keadilan Sosial, sebuah kondisi negeri yang adil, makmur, dan sejahtera, yang diyakini sebagai Rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa sehingga memunculkan rasa syukur yang besar.
Negeri yang adil dan makmur menjadi harapan dari rakyat berbagai bangsa dan negara, sehingga akhirnya setelah berbagai peristiwa, perlahan atau boleh jadi dengan cepat, posisi Indonesia bisa naik menjadi negeri yang besar, sebagai contoh bagi segala bangsa dalam membangun ulang peri kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Indonesia akan menjadi bangsa pemenang, hakikatnya adalah negeri yang bisa memberikan keadilan dan kemakmuran pada rakyatnya, sebagaimana janji Tuhan bagi negeri yang mau sungguh-sungguh mengikuti Petunjuk Nya.
Semua itu tidak akan terjadi, sebelum nilai-nilai dari Pancasila dijadikan jalan hidup atau way of life, yang diyakini bersama sebagai sebuah sirotol mustaqim (jalan yang lurus) yang berasal dari Tuhan YMK
-----
Tulisan di atas sebagaimana yang tertulis dalam Buku Hikmat - Membangkitkan Ruh Pancasila.
Untuk membaca keseluruhan isi buku dan 10 artikel lainnya, silakan kunjungi blog:
http://bukuhikmat.blogspot.co.idÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H