"Baru lulus SMA?" kejarku. Niken kembali mengangguk. Dagunya yang berbentuk surut terlihat naik dan turun dengan perlahan.
"Sekarang kamu hendak kemana?" usikku. Niken menatapku dengan pandangan kosong, matanya dalam bagai sumur tak berdasar. Seperti planet yang kehilangan orbit, tak tahu mesti kemana hendak berinduk.
Puluhan burung gereja bersebaran terbang terusik langkah-langkah para polisi yang mulai keluar kantor untuk menyambut istirahat siang.
"Waktunya makan siang, kamu membawa bekal?" tanyaku pada Niken.
"Aku tidak lapar," jawabnya.
"Janganlah begitu. Tubuhmu tadi kulihat lemah.. Makanlah! Ibuku membawakan bekal. Bisa kita makan berdua," tawarku. Niken tak bersuara..Ia menatapku ragu.
"Niken. Kamu ingin tahu siapa pembunuh ayahmu?" selidikku.
"Kamu?" balasnya. Dia memandangi telapak tanganku yang mengepal keras saat pertanyaannya itu ditujukan padaku.
"Aku...aku bahkan sama sekali tak ingin datang ke kantor ini. Biarlah ayah dan ibu pergi dengan caraNya. Bilapun aku tahu siapa pembunuh ayahku lalu untuk apa? Kesendirianku tak ingin kulukai dengan dendam pada siapapun. Akupun tak tahu dibagian bumi mana aku akan berpijak," sambung Niken.
Kepalan tanganku melunak, perlahan kugeser tubuh untuk berdiri dan berjalan mendekati si kelabu. Sebungkus benda kubus berlapis plastik coklat. Kulepaskan ikatannya dari belakang sepeda. Bekal masakan ibu selalu kunikmati bertahun-tahun. Tak ada satu warungpun yang kuhampiri selama sekolahdi Semarang karena aku tak ingin masakan ibu bersisa di kotak kubus  yang telah menemaniku bertahun-tahun.
"Kamu lapar?" tanya Niken ketika aku menghampirinya kembali.