Lekas kubuang pikiran buruk itu termasuk pikiran tentang betapa mengagumkan kecantikankannya. Tak pantas menghakimi seseorang dari apa yang ia alami tanpa tahu bagaimana isi hati dan kepribadiannya, lagi pula siapa orangnya yang bisa memilih lahir dari rahim dan benih siapa.
"Hmmm...nasibmu tidak beda dengan nasibku," cetusku. Kalimat itu cukup untuk membuatnya sedikit terkejut.
"Maksudmu? apa yang kamu lakukan dikantor polisi ini?" gadis itu balik bertanya masih dalam senggukan tangis yang ditahannya.
"Oh iya, namaku Fatur. Siapa namamu?" kusodorkan tanganku yang kotor oleh debu. Kutepuk kedua telapak tangan mengusir debu-debu yang menempel diatasnya.
"Namaku, Niken," balasnya.
"Sudahlah, aku tak ingin bercerita tentang apa yang kualami."
"Kamu juga kehilangan seseorang?" tanyanya yang kubalas dengan anggukan. Niken perlahan menegakkan tubuhnya yang semula bersandar pada pohon Mahoni.
"Aku kesini untuk bertanya tentang hasil penyelidikan?" kini aku yang menyandarkan tubuh ke batang pohon Mahoni yang kokoh. Urat pohon  berulir terasa memijit urat-urat punggungku  yang mungkin lelah karena mengayuh sepeda dengan kuatnya tadi pagi.
"Siapa? ibu atau bapakmu yang terbunuh?"
"Bapakku. Entah oleh siapa. Tak ada titik terang siapa yang melakukannya. Aku tak meyakini itu dilakukan oleh pencuri biasa,"
"Kapan kejadiannhya?"
"Hari rabu lalu," sahutku. Bau wangi lavender kembali merebak ketika tubuh Niken bergerak menepis semut kecil yang merangkak di lengan kirinya.
"Belum lagi seminggu, kamu harus tahu betapa sulitnya proses mereka menyelidiki,"
"Ya, aku mengerti. Besok mungkin ada titik terang karena penyidik akan datang ke rumahku untuk lebih mendalami kasus ini,"
"Bapakmu punya banyak musuh?" tanya Niken cepat. Aku menggeleng.
"Akan sulit menemukannya. Jauh lebih mudah menemukan siapa pembunuh ayahku," gadis itu menatap matahari yang bersembunyi dirindangnya daun Mahoni.
"Kenapa?" kejarku.
"Karena ayahku punya banyak musuh, dan mudah ditelusuri,"
"Jadi ayahmu itu..orang yang..?"
"Rentenir maksudmu?"
"Ooh bukan..maksudku..,"
"Ya, ayahku Rentenir. Begitu orang menyebutnya. Aku satu-satunya orang yang dia miliki setelah ibuku meninggal karena muntah darah yang tak berhenti  lima tahun lalu," urai Niken.
"Aku tak bermaksud..,"
"Tak mengapa. Aku mengerti. Semua orang bersikap begitu,...bahkan polisi-polisi didalam sana pun kurasa bersikap sama. Ayahku memang bukan orang baik. Berulangkali aku menentangnya tetapi ia berkata hanya itu yang bisa ia lakukan untuk hidupnya. Tak ada kebisaannya yang lain. Aku tak setuju bahkan semenjak ibu tak ada dan aku mulai tahu bahwa apa yang dilakukan ayahku adalah salah,, aku sempat tak mau melanjutkan sekolah," matanya kini berani menatapku. Niken seperti tengah  mencoba meyakinkan bahwa apa yang dilakukan ayahnya bukan pula kemauannya.
"Sudahlah jangan bicara itu lagi!" aku seperti hakim yang tengah melucuti toganya sendiri dan meletakkan palu vonis yang kubawa-bawa sedari tadi.
"Lalu apa rencanamu sekarang?" sambungku. Niken menggeleng. Wajahnya berubah ragu.
"Aku sendiri tak tahu. Bahkan untuk kembali ke rumah saja aku ragu,"
"Mengapa begitu. Dirumah ayahmu tinggal dengan siapa?"
"Ibu tiriku," Niken menatapku. Wajahnya mencerminkan kesendirian. Hidungnya memerah bergerak seperti buah strawberry yang tertiup angin.
"Kamu anak tunggal?" tanyaku. Gadis itu mengangguk.
"Begitu juga ayah dan juga ibuku,"
"Lalu dengan siapa kamu tinggal di Yogya?"
"Sendiri, Indekost. Sekarang sekolahku usai,"
"Baru lulus SMA?" kejarku. Niken kembali mengangguk. Dagunya yang berbentuk surut terlihat naik dan turun dengan perlahan.
"Sekarang kamu hendak kemana?" usikku. Niken menatapku dengan pandangan kosong, matanya dalam bagai sumur tak berdasar. Seperti planet yang kehilangan orbit, tak tahu mesti kemana hendak berinduk.
Puluhan burung gereja bersebaran terbang terusik langkah-langkah para polisi yang mulai keluar kantor untuk menyambut istirahat siang.
"Waktunya makan siang, kamu membawa bekal?" tanyaku pada Niken.
"Aku tidak lapar," jawabnya.
"Janganlah begitu. Tubuhmu tadi kulihat lemah.. Makanlah! Ibuku membawakan bekal. Bisa kita makan berdua," tawarku. Niken tak bersuara..Ia menatapku ragu.
"Niken. Kamu ingin tahu siapa pembunuh ayahmu?" selidikku.
"Kamu?" balasnya. Dia memandangi telapak tanganku yang mengepal keras saat pertanyaannya itu ditujukan padaku.
"Aku...aku bahkan sama sekali tak ingin datang ke kantor ini. Biarlah ayah dan ibu pergi dengan caraNya. Bilapun aku tahu siapa pembunuh ayahku lalu untuk apa? Kesendirianku tak ingin kulukai dengan dendam pada siapapun. Akupun tak tahu dibagian bumi mana aku akan berpijak," sambung Niken.
Kepalan tanganku melunak, perlahan kugeser tubuh untuk berdiri dan berjalan mendekati si kelabu. Sebungkus benda kubus berlapis plastik coklat. Kulepaskan ikatannya dari belakang sepeda. Bekal masakan ibu selalu kunikmati bertahun-tahun. Tak ada satu warungpun yang kuhampiri selama sekolahdi Semarang karena aku tak ingin masakan ibu bersisa di kotak kubus  yang telah menemaniku bertahun-tahun.
"Kamu lapar?" tanya Niken ketika aku menghampirinya kembali.
"Ya. Selapar keinginanku untuk melumat siapa orang yang membunuh bapakku!"
Niken memandangi tutup kotak yang mulai terbuka. Bau masakan ibu merebak seperti keluar dari atas tungku. Panas mentari menghangatkannya.
-Bersambung Part 11-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H