"Biarkan mereka menjalankan apa yang mereka yakini, Tur. Cara mereka dan cara kita berbeda, tak perlu merasa bahwa jalan kita adalah yang paling benar dan mereka salah. Hidung kita diseluruh dunia tak ada satupun yang sama karena  Tuhan menguji setiap hambanya untuk mengakui keberadaannya lewat jalan berbeda yang ia sediakan. Ibu sendiri lebih baik menikmati harum wewangian itu," bisik ibu. Meskipun jarak rumah berjauhan, ibu dengan sopan tak ingin tetangga kami mendengar. Begitulah adab menghindari ketersinggungan.
"Kenapa ibu kesini?" usikku
"Tadi Pak Soleh bicara apa?" ibu menatap penuh ketidak tahuan. Para perempuan termasuk ibu sebagai tuan rumah memang sibuk menyiapkan konsumsi bagi peserta tahlil hingga melewatkan beberapa hal yang terjadi selama tahlilan berlangsung.
"Bu, apakah bapak pernah bercerita siapa musuhnya atau setidaknya siapa yang memusuhinya?"
"Ibu rasa bapak tak punya musuh, memulai memusuhi saja bapakmu tak pernah. Musuh satu-satunya adalah rokok kelobotnya yang ia buat sebagai teman terbaiknya, tak pernah lepas" ibu mengendurkan tubuhnya, bersandar pada dinding kamarku. Jengkerik sedikit terusik lalu berhenti berderik sejenak namun tak lama mereka berdendang lagi.
"Lalu siapa di desa ini yang ingin sekali menjadi Lurah?" tanyaku
"Kenapa pertanyaanmu kearah itu, Fatur?"
"Karena Pak Soleh bercerita ada seseorang yang meminta bapak untuk tak mencalonkan diri menjadi lurah, seprtinya pernah ada seseorang yang mengancamnya," lanjutku. Ibu mengernyitkan dahinya lalu menggeleng.
"Bapak tak pernah cerita soal itu," tanyaku lanjut. Ibu kembali menggeleng, giginya menggigit bibir mencoba mengingat lebih tajam tetapi ibu tetap menggeleng. Aku menghela nafas.
"Kamu sendiri bagaimana? Teman-teman bermainmu tak pernah ada yang cerita?" balas ibu bertanya.
"Kami anak-anak bu, tak pernah bicara soal seperti itu," Wangi dupa kembali melewati hidung kami. Wangi mawar  melintas kemudian disusul wangi melati.