Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | (Catatan Tepi) Virus Kembang Desa

5 Maret 2020   13:08 Diperbarui: 5 Maret 2020   13:06 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyukai kembang desa anak kepala pasar rupanya perlu nyali yang besar. Itulah mengapa Sumantri yang 'naksir' si Lola anak kepala pasar di Cileungsi, daerah yang diawal tahun sembilan puluhan masih belum terhubung dengan daerah cibubur, sekali waktu teramat sangat ingin menghabiskan malam minggunya di rumah Lola. Ia tak berani sendiri dan mengajak saya untuk menempuh perjalanan yang dulu terasa teramat jauh.

Gadis cileungsi ini memang manis, berkulit kuning langsat dengan mata yang bundar. Dalam perjalanan diatas bus Kosub menuju kuliahnya di satu akademi bahasa asing di Cikini, disitulah Lola berkenalan dengan Sumantri. Sejak itu Sumantri tak henti mengagumi Lola, ia kerap bercerita bagaimana gadis idamannya itu seolah membuat hidupnya berwarna begitu indah.

"Sudah lama kenal Lola, kok ngebet banget mau ngajak kerumahnya?" tanya saya ketika ia meminta saya menemaninya ke Cileungsi malam minggu lusa.

"Hehehe..baru tiga kali sih ketemu di bus. Tapi dia sudah kasih ancer-ancer alamatnya di cileungsi untuk datang, rumahnya cat warna hijau tiga ratus meter dari perempatan Cileungsi" tukas Sumantri.

"Hah mbelgedes, ketemu di bus, ngasih alamatnya segitu aja? Kesana sendiri aja kenapa sih!"

"Temenin lah, sudah dua minggu ini saya nggak ketemu dia. Katanya bapaknya kepala pasar," sumantri menyeringai.

Malam minggu kamipun berangkat, saya mencoba membayangkan ke rumah sang kepala pasar, tentulah harus punya nyali cadangan seandainya bertemu bapaknya Lola yang biasa menghadapi preman-preman pasar.

Rumah itu memang berwarna hijau, berdiri megah diatas sebidang tanah lebih dari lima ratus meter persegi dengan dua pohon rambutan dan satu mangga di halaman depannya. Seorang tukang parkir membenarkan itu rumah kepala pasar yang kami cari.

"Silahkan masuk, maaf neng  Lola lagi sakit. Nanti saya panggilkan," seorang perempuan paruh baya menghampiri ketika kami berdua mengucapkan salam.

"Sakit apa bu?" tanya Sumantri.

"Cacar air," jawab perempuan itu yang mengaku sebagai bibinya.

Sumantri melontarkan pandangannya pada saya. Ia nampak ragu untuk masuk keruang tamu dan memilih duduk di depan teras sambil menunggu.

"Ayo masuuk..disini saja. Nanti saya panggilkan Lola!" suara sang bibi meminta kami masuk.

Sumantri tak beringsut, ia memilih menunggu diluar sedang saya memilih untuk melintas pintu ruang tamu dan duduk di sofa rotan rumah Lola. Sederet foto masa ke masa ayah Lola dengan seragam serta kumis baplangnya cukup menciutkan hati.

Gadis cantik itu muncul dari balik tirai ruang belakang, dengan langkahnya yang sedikit lambat namun tetap anggun. Beberapa titik merah dan hitam menghias wajahnya namun tak bisa menyembunyikan kecantikan wajahnya.

"Kamu siapa?"

Sejenak saya lupa bahwa saya memang tak pernah bertemu dengannya apalagi mengenalnya. Matanya yang bulat indah menelisik gerak-gerik saya.

"Eeeh...saya temannya Sumantri. Katanya sering ketemu dia di bus kalo mau kuliah," saya menyodorkan tangan untuk bersalaman.

"Lhoo...Sumantrinya mana?"

"Ada diluar, di teras. Katanya nggak enak ganggu Lola lagi sakit?"

"Oh nggak apa-apa sih diluar. Bagusnya begitu, daripada menular. Saya juga gak bisa menemani diluar, angin malam nggak enak untuk kulit saya yang sedang kena cacar ini. Kamu juga kalo takut tertular di teras aja. Nanti saya sediakan minum kok!" senyum Lola mengembang.  Bintik-bintik cacar justru membuat rajahan indah ditangan dan wajahnya seolah tengah menjelang persuntingan pengantin adat.

Saya memanggil Sumantri diluar, ia nampak masygul dan mengatakan bahwa dirinya belum pernah kena cacar air dan akan mudah tertular jika menemui Lola. Sebetulnya saya juga belum pernah terjangkit cacar air seumur hidup. Beruntung Lola mengerti situasi itu namun saya memilih untuk tetap menemuinya di ruang tamu, didalam.

Dua jam kami berbincang dengan sesekali Sumantri menyahuti pembicaraaan kami dari teras. Suatu kondisi yang agak aneh, tetapi kebaikan hati Lola tak membuatnya nampak tersinggung.

Pukul sembilan kami pamit dari rumah Lola. Saya melirik minuman dan penganan di meja yang tak disentuh Sumantri sama sekali. Lola, gadis mahasiswi bahasa asing ini tak mencerminkan anak kepala pasar yang menakutkan. Ia melepas kami dengan senyum bahagia dan saya menyalaminya dengan menggenggam  erat tangannya. Namun tidak demikian dengan Sumantri. Ia tetap menjaga jarak sambil tak bisa menyembunyikan kekagumannya pada kecantikan Lola.

"Takut ketularan yaa, Sumantri?" Lola menggoda yang disambut Sumantri dengan senyum tersipu.

"Maaf ya Lola,"  balas Sumantri. Malam itu bus kosub kembali menembus malam menuju kota Bekasi. Sebelumnya saya mampir ke sebuah Mushola untuk membasuh habis tangan dan kaki saya.

"Dua jam saya bisa memandangi wajah Lola yang cantik lho Sumantri, kamu menyia-nyiakan  kesempatan," goda saya pada Sumantri.

Dua hari kemudian sumantri tak terdengar kabarnya. Di tempat kosnya saya menemuinya tengah meringkuk mendekap dadanya. Panasnya tinggi dan ia berusaha melawannya dengan tidur. Sehari kemudian saya kembali mendatanginya dan mendapatkan kulitnya mulai ditumbuhi bintik-bintik merah. Gatal luar biasa katanya.

"Jangan-jangan kamu...?"

"Iya..saya kena cacar air!" Sumantri mendesah pasrah.

Saya terbahak, bagaimana mungkin saya yang bersalaman dengan gadis pujaan Sumantri, meminum teh hangat dari gelas di ruang tamu dan menyantap tiga buah gandasturi di meja dihadapan Lola tak tersentuh cacar sama sekali.

--

Dua minggu sumantri berjuang dengan cacar air dan mengembalikan kulitnya dari bercak bekas cacar air. Setelah sembuh ia beberapa kali bercerita telah berkunjung kerumah Lola kembali namun Lola tak pernah mau menemui dengan berbagai alasan.

Sumantri yang penasaran meminta saya untuk menemui Lola ke rumahnya tanpa dirinya. Dan ketika dua kali saya mencoba hal itu, gadis cantik Lola selalu muncul dengan anggunnya. Memberi penganan kampung  dan teh hangat manis untuk saya sambil bicara ngalor-ngidul menghabiskan waktu.

"Sumantri..andai dia bukan gadis idaman kamu, mungkin saya sudah berusaha untuk juga mendapatkannya. Saya gak pernah akan melakukan itu, nggak akan.. atas nama etika persahabatan. Datanglah kesana, untuk minta maaf. Saya sudah yakinkan Lola untuk malam minggu besok jangan kemana-mana!"

Minggu besoknya Sumantri datang ke rumah kepala pasar itu, namun sang bibi mengabarkan bahwa Lola tak di rumah dan dipersilahkan untuk menitipkan salam.

Betapa kecewanya Sumantri.

Sejatinya cinta memang haruslah diperjuangkan. Bukan Virus Varicella Zoster yang mengalahkannya, tetapi ketakutanlah yang mengkandaskan cintanya.

Kasihan Sumantri..

-From the desk of Aryadi Noersaid-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun