Sumantri melontarkan pandangannya pada saya. Ia nampak ragu untuk masuk keruang tamu dan memilih duduk di depan teras sambil menunggu.
"Ayo masuuk..disini saja. Nanti saya panggilkan Lola!" suara sang bibi meminta kami masuk.
Sumantri tak beringsut, ia memilih menunggu diluar sedang saya memilih untuk melintas pintu ruang tamu dan duduk di sofa rotan rumah Lola. Sederet foto masa ke masa ayah Lola dengan seragam serta kumis baplangnya cukup menciutkan hati.
Gadis cantik itu muncul dari balik tirai ruang belakang, dengan langkahnya yang sedikit lambat namun tetap anggun. Beberapa titik merah dan hitam menghias wajahnya namun tak bisa menyembunyikan kecantikan wajahnya.
"Kamu siapa?"
Sejenak saya lupa bahwa saya memang tak pernah bertemu dengannya apalagi mengenalnya. Matanya yang bulat indah menelisik gerak-gerik saya.
"Eeeh...saya temannya Sumantri. Katanya sering ketemu dia di bus kalo mau kuliah," saya menyodorkan tangan untuk bersalaman.
"Lhoo...Sumantrinya mana?"
"Ada diluar, di teras. Katanya nggak enak ganggu Lola lagi sakit?"
"Oh nggak apa-apa sih diluar. Bagusnya begitu, daripada menular. Saya juga gak bisa menemani diluar, angin malam nggak enak untuk kulit saya yang sedang kena cacar ini. Kamu juga kalo takut tertular di teras aja. Nanti saya sediakan minum kok!" senyum Lola mengembang. Â Bintik-bintik cacar justru membuat rajahan indah ditangan dan wajahnya seolah tengah menjelang persuntingan pengantin adat.
Saya memanggil Sumantri diluar, ia nampak masygul dan mengatakan bahwa dirinya belum pernah kena cacar air dan akan mudah tertular jika menemui Lola. Sebetulnya saya juga belum pernah terjangkit cacar air seumur hidup. Beruntung Lola mengerti situasi itu namun saya memilih untuk tetap menemuinya di ruang tamu, didalam.