Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Catatan Tepi, "Blank Spot"

19 April 2018   09:00 Diperbarui: 19 April 2018   09:12 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

 Begitu menjejakkan kaki di stasiun Gosford, matahari baru saja  menggelincir di ufuk barat hingga langit kota Gosford berangsur gelap  digantikan lampu-lampu fluorescent yang tak mampu menyinari seluruh  lorong yang saya lalui menuju gate kedatangan. Perjalanan dari Brisbane  dengan kereta api menyisakan lelah yang bercampur dengan rasa lapar yang  menyergap sejak melewati stasiun New Castle hingga tiba di tujuan.

 Hanya dua penumpang turun di stasiun yang berada di kota industri  pesisir timur Australia itu. Mungkin itulah yang membuat tak satupun  taksi menunggu penumpang di halaman stasiun yang tak seberapa luas. Saya  menyeberangi lapangan parkir lalu menyusuri jalan kecil 'Burns Cress'  dan berharap tiba di jalan yang lebih besar 'Mann Street' agar bisa  mendapatkan taksi.

 Tas punggung hitam rapat berada dibelakang dan  mengayun-ayun pada punggung  bersamaan dengan langkah cepat saya menuju  Mann street. Angin musim panas bertiup dari selatan menyerap uap-uap  air yang merubahnya menjadi terpaan hawa dingin menembus jaket parasit  yang saya kenakan. 

 Mendekati taman yang memisahkan jalan Mann  Street dan Stasiun kereta segerombolan pemuda tanggung sedang  memperhatikan langkah saya yang kian mendekat menuju Mann street sampai  dua pemuda diantara mereka menyongsong kedatangan saya. Desir khawatir  menerpa, dan saya tak bisa lagi berhenti apalagi membalikkan arah.

 "Hai, Apa kabar. How ya goin?" sapa saya tegas mendahului mereka berdua  dengan bahasa slang Aussie. Saya tak tahu niat mereka dan mungkin saja  mereka tengah bersiap dengan kalimat ancaman sebelum mendapatkan sapaan  saya yang dibuat seakrab mungkin.

 "G'day mate, baru turun kereta ya?" mereka bertanya dan saya mengiakan.

 "Pasti ada sisa uang untuk membeli beberapa botol bir kami ya?" lalu ia  menunjukkan kerumunan temannya yang lain yang genap berjumlah enam  orang. Bunyi denting botol bir bersahutan menumbur dasar trotoar tempat  mereka mengokupasi jalur jalan.

 Saya ingin mengatakan bahwa saat  itu uang yang tersisa hanya cukup untuk membayar ongkos Taksi dan  menyatakan bahwa tak ada uang yang banyak tersisa dikantong, tetapi naas  ketika saya menepuk kantong celana gemerincing uang logam beradu satu  sama lain dalam sesaknya mereka didalam kantong celana.

 "Nah, itu  suara  menandakan kamu punya uang banyak!" lalu mereka tertawa sambil  menunjuk kantong saya. Saya berusaha tertawa dan merubah keterangan  dengan menyatakan uang receh itulah yang akan saya pakai untuk membayar  taksi. Saya membayangkan jika mereka menjelajah dompet saya dan  menemukan beberapa ratus dollar didalamnya.

 Saya mengeluarkan  satu persatu uang logam dari kantong dan menghitungnya didepan mereka.  Ada Sembilan belas dollar tujuh puluh sen. Saya menghela nafas sambil  tersenyum dan mengajak mereka berjalan menuju kerumunan temannya yang  tengah menunggu. Ditengah kerumunan saya menyalami mereka satu persatu  lalu mengenalkan diri. Bau bir menyeruak dari mulut mereka, sebagian  menatap saya dengan pandangan khas pemabuk yang tak lagi berkonsentrasi.

 "Ada yang tahu ongkos taksi dari sini ke Terrigal?" tanya saya.

 "Kenapa tanya itu ke kami?" sela salah satu diantara mereka.

 "Karena saya ingin menyisihkan sisanya untuk kalian membeli bir,"  mereka saling berpandangan ketika mendengar jawaban saya tersebut.  Beberapa dari mereka mengeluarkan perkiraan.

 "Eleven dollar maybe, or twelve,"

 "No, it's more. It's around Fifteen,"

 Mereka sibuk berdebat hingga salah satu diantara mereka menyarankan  untuk satu diantara mereka memanggil Taksi di Mann street yang tak  seberapa jauh dari lokasi mereka berkumpul itu. Sayapun menunggu ketika  seorang dari mereka berjalan kearah tenggara dan tak lama satu Taksi  datang dengan kerlap lampu putih diatasnya.

 "Sir, berapa tarifmu dari sini ke Terrigal?" tanya seorang dari mereka.

 Supir taksi mengernyitkan dahinya dan bertanya jalan apa yang akan dituju.

 "Whiting Avenue," sahut saya.

 "Ooh..tidak akan lebih dari  delapan belas dolar!' sahut si supir taksi.

 "Shiiiiiiit, sisanya sedikit banget dong," wajah mereka kecewa  mendapatkan sisa yang akan mereka terima hanya sejumlah satu dollar  tujuh puluh sen. Lalu mereka memandang saya dan menunjukkan wajah  kecewa. Sejatinya mereka ingin mengambil semua uang receh yang saya  tunjukkan mungkin dengan paksa tapi situasi sudah mulai berubah.

  "Kalian lupa, ini uang yang berbunyi. Saya pasti menyisihkan uang tak  berbunyi di kantong baju saya, for emergency" lalu saya memperlihatkan  selembar uang lima dollar pada mereka sambil tersenyum.

 Mereka  bersorak sorai dan mengangkat tingi-tinggi botol bir mereka. Saya  serahkan uang pada mereka sejumlah enam dollar tujuh puluh sen.

 "Saya pegang delapan belas dollar ya, untuk bayar Cab!" seru saya pada mereka.

 "Sir, pastikan nggak lebih dari delapan dollar ya!" tukas mereka pada supir taksi.

 "Ha..ha..ha..saya hitung itu sudah include tips buat saya kok,"

 Gerombolan itu  lalu mengangkat tinggi-tinggi lagi botol bir. Dan saya  melaju bersama supir taksi yang menggeleng-gelengkan kepalanya.

 "Jadi berapa uang yang mereka rampas dari kamu?" tanya supir taksi.

 "Nggak ada, saya kasih mereka sukarela, mereka yang carikan taksi untuk  saya!' jawab saya lalu supir taksi menyarankan lain kali jangan  melewati jalan itu jika jalan sendiri karena terkenal tidak aman.  Baiknya menunggu taksi dengan menelpon perusahaan taksi dari dalam  stasiun.

 "It's a Blank Spot Area. Tak ada warga yang tinggal disitu dan polisi juga tak selalu ada disana. Hati-hati!" nasehatnya.

 Saya tiba dengan selamat setelah taksi fare meter menunjukkan angka  empat belas dollar dua puluh sen lalu saya serahkan uang delapan dollar  kepada supir taksi.

 "Keep the Change, sir!"

 "Thanks, Mate,"

 Dua hari kemudian berita cetak yang saya beli menunjukkan headline yang cukup besar dihalaman depannya.

 "SATU ORANG PRIA KETURUNAN INDIA DITEMUKAN TERTUSUK DIPUNGGUNGNYA DI DEPAN STASIUN GOSFORD"

 Saya melipat Koran itu dan membayangkan dua malam sebelumnya itu bisa terjadi pada saya. 

 Alhamdulillah Saya berhasil menyalakan signal di blank spot area itu, sebuah Signal Persahabatan yang menyelamatkan.

 Seperti yang setiap hari beberapa kali saya baca "Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang"

 Persahabatan dalam Rahman dan Rahim kepada siapapun juga.

 'Thanks Mate'

 -From the Desk of Aryadi Noersaid-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun