"Sembilan puluh ribu deh Pak," jawab pedagang.
Ketika memegang kembali beberapa ekor kepiting itu, mendadak saya teringat bertahun sebelumnya, ketika kami menjelajah pasar Muara Angke dan mendapatkan kepiting sebesar yang saya genggam hari itu. Satu kilo dihargai delapan puluh lima ribu rupiah. Dan ketika kami membeli dua kilo, dua dari empat ekor di antaranya sudah dalam keadaan tidak hidup, padahal ketika kami memilihnya keempat kepiting masih hidup. Kemudian dua kepiting itu ditolak oleh warung yang kami pilih untuk mengolah kepiting kami dengan alasan dua dari empat kepiting yang kami bawa sudah dalam keadaan mati dan akan terasa busuk jika dimasak.
"Kalo mau beli kepiting selalu dalam keadaan hidup, Pak, itu mutlak!" pesan pengelola warung di Muara Angke. Saat itu kami merasa tertipu karena penjual kepiting memasukkan kepiting yang berbeda dan sudah mati pada kantong plastik kami, padahal harga yang kami bayar tetap sama.
--
"Jadi beli, Pak, berapa ekor?" pedagang tiba-tiba bertanya kepada saya tentang kepiting berwarna kuning dalam ember yang ingin saya beli.
"Wah..maaf pak, saya lupa ambil uang di ATM, ambil uang dulu ya kalau sempat nanti saya kembali!" saya berbohong untuk tidak jadi membeli kepiting dagangan orang tersebut.
Dalam kendaraan menuju kerumah kerabat yang tak jauh lagi, saya mengingat kembali warna-warna bumbu kuning dalam kepiting di ember-ember besar tadi yang beraroma kunyit kuning yang seolah sedang melawan kebusukan itu untuk menutupi indera penciuman para pembeli dengan diiming-imingi harga yang bahkan jauh lebih murah dari harga di Muara Angke. Perut saya mendadak mual mengingat kembali betapa busuknya bau kepiting mati ketika dibelah. Akhirnya saya lebih memilih membeli dua buah cempedak yang tergantung dijual di pinggir jalan untuk buah tangan. Kali ini kuningnya isi cempedak alami begitu menggoda.
Tiba di rumah kerabat, kami menyodorkan buah tangan dua untai cempedak yang disambut luar biasa gembira oleh tuan rumah. Sepanjang pagi menjelang makan siang obrolan seolah tanpa henti sampai kami diingatkan untuk makan siang.
"Hei..ayo makan siang ya, istriku sudah masakin khusus buat tamunya nih. Ayo ya makan!" tawaran tuan rumah yang menggugah selera kami sambut baik.
Di meja makan berderet nasi dan beberapa jenis kerupuk yang sudah tersedia disusul Si Nyonya Rumah yang membawa satu mangkok besar berisi masakan istimewa dengan asap yang masih mengepul dengan derasnya.
"Ayoo...saya tahu kalian sekeluarga suka sekali..ini ada menu special buat kalian. Besar-besar lhoo..ayo dimakan ya!" seru si tuan rumah dengan riangnya.
Asap mengepul itu mampir ke hidung saya, ketika mangkuk besar itu mendarat di meja makan, lima ekor kepiting besar-besar tampak tercelup dalam kuah berwarna kuning, aromanya begitu saya kenal, sangat saya kenal.
Detik itu juga saya mencari kata-kata, mencari pembenaran dengan kalimat yang sebisa-bisanya.